⚽ EMPAT PULUH TIGA ⚽

2.2K 191 10
                                    

Malam ini tidak seperti biasanya, langit tak menampakkan bintang, anginpun tak bertiup sempurna. Kawasan Gedebage cukup pilu, satu dua suporter masih berada di rumah Febri untuk mengucapkan belasungkawa atas berpulangnya Alma. Sementara Febri memilih berbaring di tempat tidur Alma. Ditatapnya langit-langit kamar yang kosong, tapi seolah menggambarkan Alma tengah tersenyum di sana.

Kamar Alma nampak rapi meski berhari-hari tak tersentuh siapapun, semua orang sibuk menunggui Alma di rumah sakit. Bahkan Mbok Nanik dan anaknya pun mau menunggui Alma di sela-sela sibuk kuliahnya. Terakhir kali ya Alma sendiri yang merapikan kamarnya.

Berulang kali titikan air mata dari Febri membasahi tempat tidur Alma. Baru berapa jam dia ditinggalkan tapi sudah sangat merindukan kehadiran Alma. Rasanya semangat hidup berkurang, dia tak lagi bermimpi kencang, hancur sudah semua hal yang dia bangun dengan Alma.

Melihat satu dua kertas di tempat sampah Alma, Febri teringat ada satu kertas yang dititipkan Alma padanya. Bahkan sampai berpesan agar Andy Setyo mengingatkannya untuk membuka jika suatu saat terjadi sesuatu dengan Alma.

Mungkin benar, dia sudah merasakan akan pergi sehingga dia menulis banyak hal dan memberinya dua kertas. Sayang, satu kertas itu dibuangnya di rumah sakit. Baginya terlalu laknat menerima kertas-kertas perpisahan dari Alma.

Diambilnya kertas itu di kamar, kamar yang tak jauh dari kamar Alma. Melewati beberapa Bobotoh yang tengah membacakan doa-doa untuk Alma. Rasa terimakasih dari Febri kepada semua Bobotoh yang telah mendukungnya baik dari media sosial maupun secara langsung datang ke rumah.

Papa juga ada di depan, menemui beberapa Bobotoh yang menyampaikan rasa duka, bersama Pak Ujang dan Mbok Nanik. Sementara Mama, beliau masih meratap kepergian Alma yang begitu cepat. Meski beliau tahu semacam ini cepat atau lambat akan terjadi, tetapi tetap saja Mama adalah seorang Ibu yang melahirkan Alma, tak mudah baginya menerima.

Di kamar, Febri terisak membaca isi surat dari Alma. Cukup menyakitkan bagi Febri, meski surat itu tak ditujukan padanya.

Febri keluar dari kamarnya, mendekati salah satu Bobotoh yang baru saja duduk. "Pesan terakhir Alma, tolong sampaikan ke yang lain," katanya dengan suara parau.

"Siap, A!" Jawab sang Bobotoh langsung membuka selembar kertas lusuh dengan tulisan tangan yang sederhana, khas anak SMA yang jarang masuk karena harus berobat.

Bobotoh itu terdiam, berulang kali menelan ludahnya dan diakhiri dengan menitikkan air mata. Dia meminta waktu kepada Bobotoh yang lain, dia minta semua membaca dengan hati yang bersih.

Salam dari Alma untuk semua suporter di Indonesia

Saya adalah gadis kecil yang selalu memimpikan persatuan di dalam gelora
Saya bermimpi menyatukan banyak perbedaan
Tapi agaknya mimpi itu sulit diwujudkan
Bahkan hingga saya bersiap menuju liang lahat
Satu dua orang masih bersitegang
Bukan perkara dukungan politik di tahun politik
Melainkan perbedaan warna di dalam gelora
Saya pergi dengan duka mendalam atas kehilangan
Baku hantam yang memakan korban
Orange dan Biru tak bersatu ditambah lagi Hijau dan Biru
Semua saling memburu jika bertemu
Terjadi hingga saya pergi
Nanti dalam liang lahat sempit menunggu bangkit
Saya mendekap mimpi-mimpi itu erat
Mimpi yang tak pernah terwujudkan hingga akhir hayat
Tentang gelora yang membahana bukan karena timnas tengah berlaga
Tapi tentang persatuan dalam perbedaan warna
Dalam liang lahat
Saya masih dengan harap
Harapan semua orang mau mewujudkan apa yang saya dekap
Bahwasannya 90 menit berlaga tak lebih berharga daripada saudara
Jika tak ada yang bisa mewujudkan
Maka biarkan mimpi-mimpi itu pergi
Biarkan pula mimpi-mimpi itu terpendam bersamaku di tanah Ibu Pertiwi

Sayap GarudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang