⚽ EMPAT PULUH DUA ⚽

2.2K 213 86
                                    

Pemanggilan pemain timnas sudah dilaksanakan, semua pemain sore ini diwajibkan datang ke Bali dan langsung menuju salah satu hotel di Denpasar, Bali. Sayangnya ada satu dispensasi untuk Febri. Dia tak bisa langsung bergabung, dia harus menemani Alma menjalani transplantasi sumsum tulang belakang. Dia tak mau meninggalkan meski sudah pasti ada Mama, Papa, Pak Ujung dan Mbok Nanik yang selalu setia. Tetap saja, hatinya akan selalu gelisah dia berangkat training camp sekarang. Toh pihak Timnas sudah mengizinkan.

Alma tersenyum manis, dia seperti mengatakan sesuatu lewat senyum itu tapi tidak ada yang mengerti. Febri hanya tahu, senyum Alma lebih ikhlas dari biasanya. Dia benar-benar tak membuat orang lain khawatir dengan kehilangan senyumnya. Tangan kanannya juga tak pernah lepas menggenggam tangan kanan Febri, sementara tangan kirinya selalu menggenggam tangan Mama. Dia benar-benar sedang menyampaikan sesuatu lewat senyum dan genggaman tangannya.

"Semuanya akan berjalan dengan baik, Dik. Ingat bahwa Kakak selalu menunggumu di depan pintu," ucap Febri menahan tangisnya.

Sekali lagi Alma hanya tersenyum.

Oh iya, dia ingat tentang selembar kertas lagi yang tersisa. Itu untuk Febri, jika dihitung, sudah ada 3 kertas yang tersebar. 1 ada di Milan, 2 lagi ada di Febri.

"Kembalilah tepat dimana Alma terakhir kali melihat Kakak bertanding jika Alma tak kembali ke depan pintu," kata Alma tetap tersenyum tanpa wajah takut.

Febri justru membuang kertas yang Alma berikan. "Kertas laknat itu tidak akan berguna sebab Dik Alma pasti kembali lagi ke sini. Kakak akan selalu menunggu, Kakak pastikan itu."

Alma mengangguk. "Alma pasti kembali."

"Adik nggak boleh ngomong gitu ya? Adik pasti kuat, adik pasti kembali sehat, Mama selalu ada buat adik, Mama janji lepas semua pekerjaan setelah adik operasi."

"Ma, Pa, jangan banyak bekerja ya? Alma nggak mau Mama dan Papa kelelahan lagi. Maaf sudah merepotkan Mama dan Papa selama ini."

Papa dan Mama menggeleng.

"Papa tidak pernah merasa direpotkan sama Dik Alma, Papa tidak pernah merasa lelah karena Dik Alma. Kan Papanya Dik Alma kuat," sambil mengangkat tangan seperti seorang binaragawan menunjukkan otot trisep dan bisepnya.

Alma tertawa kecil.

"Mama juga kan wonder woman-nya Alma, tidak pernah ada kata lelah untuk seorang superhero."

Sekali lagi Alma tertawa kecil.

"Pak Ujang, Mbok Nanik," panggilnya lemah. Keduanya langsung mendekat. "Terimakasih sudah mau menjaga Alma selama ini, sudah mau jadi teman berbagi Alma."

"Iya, Teh. Teteh harus sembuh, nanti Pak Ujang ajak jalan-jalan sampai bisa ketemu Kang Emil," canda Pak Ujang semakin membuat Alma tersenyum.

"Iya, Mbak Alma. Mbak harus kuat, nanti Mbok Nanik masakin makanan yang enak-enak terus."

"Hehehe," sekali lagi Alma tertawa kecil. "Maaf sudah merepotkan Pak Ujang dan Mbok Nanik."

Mereka berdua kompak menjawab dengan gelengan. Alma tak pernah merepotkan banyak orang, justru semua orang selalu bahagia di sekitar Alma. Dengan semua canda tawa, senyum, semangatnya, hingga terkadang kata-katanya membuat orang begitu rindu akan kehadirannya.

Lambat laun ranjang pesakitannya masuk ke dalam ruang operasi, tak ada lagi yang bisa berbicara dengannya kecuali perawat dan dokter yang terlibat. Itu artinya banyak jantung yang tidak berdetak tenang. Salah satunya, Febri, dia bahkan serasa ingin membuang jantungnya sendiri.

Sementara kertas yang dibuang itu masih tergeletak di lantai, sesekali dipandangi Febri dengan berat. Yang ditakutkan pertama adalah itu surat terakhir Alma, yang kedua isinya tentang pamitan, beberapa hari ini Alma memang seolah menyampaikan kata pamit pada siapapun. Bahkan grup Almanisty sempat geger dibuatnya.

Sayap GarudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang