⚽ TIGA PULUH TUJUH ⚽

2.3K 206 0
                                    

Setiap kita berada dalam gelap, benar, selalu ada cahaya meski hanya kecil pun jauh. Seperti malam yang selalu diterangi oleh purnama juga bintang yang ada jauh di sana, di atas langit diantara indahnya angkasa. Maka dalam gelapnya hidup para pejuang nama baik bangsa, mereka juga punya cahaya kecil untuk terus memberi pengharapan indah pada hidup mereka. Cahaya kecil itu, berupa cinta pada negara dan ibunya. Semua ibu punya cahaya indah yang akan selalu menerangi kehidupan anaknya. Bahkan sekalipun, beliau telah pergi.

Cahaya itu kini membentuk senyum-senyum sabit indah di bibir para pemain Timnas, terutama yang paling murung tadinya. Mereka sekarang lebih siap untuk diajak berdiskusi. Tentang ini itu tak lagi baper kalau istilah anak zaman sekarang.

"Bow, dari tadi kamu tidak begitu peduli dengan cemoohan orang, tidak merasa sakit hati kah? Dibilang pemain titipan padahal skill kamu bahkan di atas rata-rata," kata Andy Setyo di salah satu barisan membentuk pola lingkaran. 

Gambarannya, sekarang para pemain tengah melingkar dalam posisi berbaring di halaman belakang villa dengan tikar-tikar tebal yang dibentangkan untuk melindungi tubuh dari dinginnya tanah bumi Pertiwi. Kepala mereka beda di lingkar dalam sementara kaki-kaki mereka berada di lingkar luar. Sementara di tengah lingkaran itu, Alma tengah berbaring di dalam sleeping bag-nya.

Mereka tengah menikmati indahnya langit bumi Pertiwi sambil sesekali berbicara ini itu. Banyak hal, tertawa, berbicara mengandung faedah, dan lebih banyaknya unfaedah.

Febri yang berada di sisi lain, jauh dari Andy tapi suara mereka cukup terdengar jelas, Bandung dari atas sini tak bising.

Alma hanya diam dan mendengarkan. 

"Aku marah sebenarnya, tapi kalian bilang, aku harus selalu tersenyum untuk Alma. Marah, murung dan bersedih, membuat Alma membagi pikirannya untukku dan untuknya sendiri. Tapi jika aku tersenyum, bahagia, biasa saja, seperti yang kalian usulkan selama ini, Alma tak perlu banyak membagi pikirannya untukku. Apa aku salah?"

"Benar, Bosku," sahut Ricky Fajrin dengan nada khas Jawanya.

"Dik Alma nggak mau jawab?" Tanya David yang dekat dengan Bagas.

"Menanggapi maksudnya, Pid," sahut Bagas.

David menyenggol kaki kanan Bagas. "Maksudku itu, Gas."

Alma tersenyum lagi. "Mau protes Kak Febri harusnya lebih memikirkan dirinya sendiri daripada Alma, kok Alma juga sering memikirkan Kak Febri sampai lupa dengan kesehatan Alma. Alma mau bilang agar Kak Febri bisa mengekspresikan suasana hatinya, jangan karena menjaga perasaan orang lain jadi berbohong tapi Alma, untuk membuat perasaan Kak Febri tenang, Alma selalu bohong tentang keadaan Alma sendiri. Jadi tidak ada yang perlu ditanggapi, hehehe."

Evan tersenyum tipis. "Sebelum menanggapi, sebelum mengoreksi, memang akan lebih baik ketika kita menilai diri sendiri dulu. Jika sendirinya masih kurang, pantaskah mengoreksi orang lain."

"Benar, Pak Ustadz," lagi-lagi Ricky Fejrin.

Andy tersenyum juga. "Malu rasanya terlalu murung karena manusia yang banyak dosa mengatakan ini itu tentangku sampai bilang anjing, menyalahi kodrat Tuhan. Ibuku bahkan tak pernah murung untuk anaknya kala tetangga berbicara pedas ini itu yang lebih menyakitkan. Terimakasih, Dik Alma. Aku ketemu Ibu dengan rasa rindu saja, bukan pulang untuk mengeluh."

"Iya, aku juga. Semoga apa yang mereka sampaikan saat ini, bisa menjadi bahan kita lebih baik ke depannya. Masalah blunder, masalah tangkapan kurang tepat, aku akan belajar tentang itu, ambil sisi baiknya bukan kata anjing dan gobloknya," sahut Satria Tama.

Semua orang mengangguk, termasuk Gian Zola yang matanya sudah kurang dari 5 Watt. Dia sudah cukup mengantuk padahal dingin semakin merasuk.

Suasana dingin dan hening,perpaduan yang pas selama beberapa menit.

Sayap GarudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang