HOUSE OF CARDS
Haechan memegang sebuah satu kartu dengan gambar queen berwarna merah dengan symbol heart itu dalam genggaman tangan kecilnya. Matanya menatap penuh ingin tahu pada kartu–kartu bridge milik daddy-nya yang berantakan dimeja kerjanya. Kaki kecil berbalut dengan sandal lantai dengan karakter kepala babi yang menggemaskan pada ujungnya itu melangkah pasti menuju meja kerja milik daddy-nya.
Haechan tak paham digunakan untuk apa kartu-kartu yang berserakan pada meja itu. Ada banyak kartu yang ada disana. Haechan pernah bertanya pada Taeil, kepala pelayan yang ada dirumahnya tentang cara bermain kartu tersebut.
“Tuan harus pintar berhitung untuk bermain kartu itu, seperti daddy.”
Haechan sudah berusia sepuluh tahun, ia sudah menghafal perkalian sampai sepuluh di sekolah. Bahkan, wali kelasnya memujinya karena hafalan perkaliannya itu. Berarti ia sudah pandai berhitung ‘kan?
Haechan memang bocah dengan isi kepala penuh keingintahuan, keras kepalanya mengalahkan segalanya. Seharusnya Haechan tidak berada disini, di ruang kerja milik daddy-nya. Haechan bisa saja dihukum, tapi ia sungguh benar-benar penasaran dengan permainan kartu bridge itu.
Tubuhnya berusaha duduk dikursi kebesaran milik daddy-nya. Tangannya memunguti kartu-kartu yang sering dimainkan daddy-nya saat malam hari bersama dengan paman-paman yang tidak Haechan ketahui namanya. Haechan menatap bingung pada tumpukan kartu bridge itu, jumlahnya lima puluh dua, tadi ia sudah menghitung sembari menatanya.
Tangan kecilnya menata kartu-kartu itu menjadi rumah kartu yang sering ia lihat pada tayangan video dichannel youtube langganannya. Meskipun dilarang melihat video tersebut oleh daddy-nya, Haechan tetap melakukannya diam-diam. Bahkan, ia rela membayar uang pada pelayan yang menjaganya agar tak mengadukan kegiatannya pada daddy-nya.
Ini sudah tengah malam, terlalu larut untuk anak seumuran Haechan terjaga dijam-jam seperti ini. Waktunya istirahat, tapi kini tangannya sibuk menata kartu-kartu itu menjadi bagian-bagian yang rumit. Semuanya tertata menjadi satu kesatuan yang utuh. Susunan kartu-kartu itu sudah terlihat menjadi susunan rumah, meskipun bentuknya masih abstrak dan tidak jelas. Ditangannya tersisa satu kartu bridge yang bergambar king heart.
Kriett
Suara pintu terbuka menyadarkan Haechan, tangannya menata bagian terakhir kartu yang ada digenggamannya untuk dijadikan sebagai sentuhan akhir house of cards miliknya.
Sebuah rumah dari kartu itu runtuh dan hancur karena Haechan salah menatanya.Cahaya vignette dari ruangan menyorot wajah daddy-nya yang terlihat datar dan tenang. Tubuh kecilnya turun mendekati daddy-nya, mengabaikan runtuhnya kartu yang sudah ditatanya selama berjam-jam.
“Welcome home, daddy~” Haechan mengatakan ucapan selamat datang pada daddy-nya dengan manja. Sudah menjadi kebiasaannya menyambut daddy-nya sepulang pria itu pulang dari kerja.
“Baby seharusnya tidur dijam seperti ini,” ucapnya sambil mengangkat tubuh berisi anak laki-laki manis berusia sepuluh tahun itu. Membawanya menuju kursi yang tadinya diduduki oleh Haechan, sang daddy—atau sebut saja Mark—memangku tubuh Haechan.
“Apa baby lupa? Baby tidak seharusnya disini dan memainkan kartu milik daddy,” Haechan meringkuk dalam pelukan Mark. Nadanya tenang, namun Haechan tau ada sarat ancaman yang terdengar disana.
“Baby suka, baby hanya ingin tahu permainan yang membuat daddy melupakan baby,” bibir berbentuk hati itu mencebik, ucapannya jujur. Ia hanya ingin tahu permainan apa yang membuat daddy-nya melupakannya begitu saja.
Pria dewasa yang berusia tiga puluh lima itu terkekeh, kemudian tangannya merengkuh tubuh berisi bayinya. Bibir tipisnya menyunggingkan sebuah senyum tipis yang hampir tidak terlihat. Wajahnya masih terlihat arrogant walaupun perlakuannya terlihat hangat dan manis pada Haechan, bayinya.
“Baby terlalu berharga untuk daddy. Baby tidak boleh menyentuh benda seperti itu, tidak baik untuk baby. Baby mengerti ‘kan?” ucapan lembut itu mengalun rendah pada telinga Haechan yang membuat tubuhnya meremang.
“Andwaeyo~” Haechan adalah sosok yang sangat keras kepala, segala keinginannya hampir harus dituruti.
Haechan merasakan dadanya berdebar kencang, ketakutan melandanya kala merasakan lengan kokoh yang melingkar diperutnya semakin erat dan hampir membuatnya sesak.
“Kehidupan kita layaknya house of cards yang baby buat tadi. Kita berada di dalamnya, tapi baby tadi membuat kesalahan ‘kan?” tanyanya yang langsung diangguki oleh bayinya.
Mark menghela nafas berat, “Semuanya gelap, berbahaya, bertahan lebih sulit. Melarikan diri bukan solusi yang baik. Mengakhiri semuanya juga bukan sesuatu yang terdengar mudah. Daddy adalah the suicide king,” katanya sambil menunjukkan sebuah kartu king heart pada Haechan.
Haechan adalah anak yang cerdas, seluruh ucapan daddy-nya dapat ditangkap dengan baik oleh nalarnya. Namun, ia sedikit kebingungan kala mendengar kata suicide keluar dari mulut daddy-nya. Ada ketakutan yang besar menyelubungi anak manis itu. Tangannya merengkuh tubuh kekar daddy-nya yang masih akan melanjutkan ucapannya.
“Ketika daddy tidak menata segalanya dengan baik, kehidupan kita akan runtuh dalam satu kedipan mata. Seperti rumah kartu yang baby hancurkan tadi ‘kan?” Haechan mengangguk mengiyakan ucapan daddy-nya. Ia memang menghancurkan rumah kartu yang dibuatnya sendiri.
“Baby adalah satu-satunya alasan daddy masih menginjakkan kaki disini. Baby harus patuh pada perintah daddy, baby tidak ingin daddy mati ‘kan?”
“No! I’m sorry, dad! I won't play card again! Promise!” Haechan menautkan kelingking gemuknya pada jari kelingking panjang daddy-nya. Mark hanya terkekeh pelan, sungguh beruntung memiliki bocah manis nan polos ini.
Mark memberi kecupan pada seluruh permukaan wajah Haechan. Haechan hanya sanggup terkekeh menerima shower kiss yang diberikan oleh daddy-nya.
Sejak saat itu Haechan berhenti. Tumpukan kartu bridge tidak lagi menarik atensinya, meskipun dalam hati selalu ingin menyusun kartu-kartu itu menjadi bagian yang utuh. Haechan tidak ingin lagi, ia tidak ingin kehilangan daddy-nya. Kartu bridge tidak ada artinya lagi dibanding daddy-nya.
Ketika mata bulatnya menatap daddy-nya bermain serius pada kartu-kartu brigde itu dengan ia yang berada dipangkuannya. Haechan hanya menemani. Hanya menemani daddy-nya bermain kartu dengan paman-paman yang selalu memakai pakaian formal dengan ditemani oleh wanita-wanita yang berpakaian terbuka, Haechan tidak menyukainya.
Haechan sungguh tak ingin tahu, ia hanya ingin dekat dengan daddy-nya. Pendidikan formal Haechan tinggalkan, ia hanya tidak suka berinteraksi dengan orang asing. Orang asing itu berbahaya kata daddy-nya. Semua kehidupan Haechan terletak pada poros Mark. Hidup dan matinya sudah tergantung pada Mark. Jika Mark mati, tentu saja ia akan ikut mati. Semuanya sudah terjadi otomatis. Haechan hanya menjalani sisa hidupnya dalam kungkungan kuasa Mark.
Hello, gua kambekk!!!
Ada yg kangen kaga? Yaudah kalo gaada😂
Jangan lupa vote dan komen yaa!!!
See you next part!
KAMU SEDANG MEMBACA
Markhyuck Short Stories✔
RandomHanya cerita pendek-pendek aja :v Markhyuck in your area!!!