"Sudahlah, besok saja. Dia pasti tidak ada dirumah."
"Mobilnya ada. Jangan membohongiku."
Aku mendesis tak suka mendengar ucapan dustanya. Kulihat ia mendengus kesal.
"Kita akan baik-baik saja."
Aku berucap menenangkannya. Memberinya ciuman dikening agar ia lebih tenang.
"Aku takut, hyung!" Aku menghela nafas mendengar pekikannya.
Tanpa banyak kata aku menariknya menuju pintu coklat kayu itu. Menekan belnya dan menemui pemilik rumah.
"Aku akan menikah."
Aku menoleh kearah Haechan yang kini menatap datar pria paruh baya yang sedang menghisap cerutunya. Kami berada diruang kerja minim pencahayaan milik ayah Haechan.
"Apa yang kau bicarakan? Anak kecil sepertimu tau apa tentang pernikahan?"
Kulihat Haechan mengepalkan tangannya emosi mendengar ucapan ayahnya.
"Kami benar akan menikah pada akhir musim dingin nanti, ahjussi." Aku mencoba menjelaskan padanya dengan baik-baik.
"Aku tidak menyetujuinya. Kau bahkan belum lulus dari pendidikanmu."
Penolakan langsung kami terima. Aku bisa memakluminya, tapi Haechan tidak. Ia berdiri menatap berang kearah ayahnya. Aku menariknya kembali untuk duduk. Tapi dia menghempas tanganku begitu saja.
"Aku tidak butuh tanggapanmu. Aku hanya ingin memberitahumu! Kau datang atau tidak, terserah padamu!"
Teriak Haechan pada ayahnya. Membuatku merasa bersalah pada sosok pria paruh baya yang masih mengepulkan asap dimulutnya.
Tapi, aku tidak ingin membela siapapun.
"Kami harap kau akan datang di pernikahan kami nanti." Ujarku.
"Apa pekerjaan ayahmu?"
"Yang jelas bukan pemabuk sepertimu!"
Aku menghela nafas menatap Haechan dengan pandangan lelah. Aku tidak suka ia berkata kasar pada seseorang yang lebih tua. Terlebih itu ayahnya. Aku merasa bersalah.
Aku mengerti bagaimana pemikiran ayahnya tentang kami. Beliau hanya ingin kami tidak gagal dalam membina rumah tangga. Aku mengerti dibalik sikap dingin dan arogan itu ada kasih sayang yang besar untuk anak satu-satunya, Haechan.
"Ayahku seorang pengusaha dibidang real estate yang berada disalah satu resor Jepang."
"Siapa namanya?"
Aku tertegun. Haruskah aku menyebutkan namanya? Aku merasa tidak nyaman ketika mendengarnya keluar dari mulutku.
"Lee Youngho. Biasa disebut Johnny Lee."
Haechan yang menjawabnya.
Kurasa, hatinya benar-benar campur aduk saat ini. Aku menggenggam tangannya yang berada dipangkuannya. Aku tidak ingin gagal hari ini.
"Hyuckie?"
Kurasakan tubuhnya menegang mendengar panggilan itu keluar dari mulut ayahnya. Ia melengos enggan menatap sosok yang kini menatapnya sendu.
"Kau harus memberitahu ibumu, nak."
Kudengar nada yang sendu dari mulut pria arogan itu. Aku menghela nafas menepuk paha Haechan beberapa kali untuk memerintahnya memberi respon.
Aku tau dia tidak baik saat ini.
"Aku tidak ingin menemuinya."
"Kalau begitu jangan pernah menikah!"
Ucapan mutlak yang terdengar dari bibir yang masih penuh dengan asap itu. Aku hendak menjawab perkataannya. Namun, Haechan lebih dulu berdiri menatapnya nyalang.
Aku tau dia tidak sopan.
Segala tindakan yang dilakukan harus berdasar, bukan?
Dia bukan tanpa alasan memiliki benci seperti ini.
"Aku tidak peduli apa ucapanmu! Kau memang tidak pernah membiarkanku hidup bahagia!" Jeritnya yang terdengar frustasi.
Aku menariknya mundur, memberinya usapan pada punggung yang bergetar itu. Kali ini, aku tidak akan melihat ayahnya menyakitinya.
"Aku akan berusaha memenuhi kebutuhannya. Aku paham, ahjussi. Haechan tidak akan kenyang jika hanya mengandalkan cinta dariku. Aku akan mengutamakan kebahagiaannya. Percayalah padaku."
"Aku tidak ingin kehilangannya dan menyerahkannya padamu!"
Bogem mentah kuterima dirahangku. Kurasakan tubuhku sedikit terdorong dari posisi awal.
"Kau sudah kehilanganku sejak kau memilih meninggalkanku seorang diri demi jalang yang lain."
Ucapan dingin terdengar dari mulut yang biasanya mengeluarkan rengekan manja. Ada sarat kesakitan dari ucapannya. Ia menarikku keluar dari ruangan yang kuyakini menyakitinya.
"Aku hanya ingin kau memberitahu ibumu."
Samar-samar kudengar ucapan itu. Aku paham hubungan Haechan dengan ibunya. Bisa dikatakan sangat buruk. Seperti aku dan orangtuaku. Rumit sekali.
Aku memandang bagaimana raut wajahnya yang tersakiti. Airmata yang terus membasahi pipinya. Wajah yang merah, dengan mata sembab.
Dia terlihat buruk.
"Kau tetap menikahiku 'kan?"
Tanpa menjawabnya, aku menarik tubuh bergetar itu dalam rengkuhanku. Membiarkan isakan pilu keluar dari mulutnya.
Aku sakit melihatnya seperti ini.
"Jangan pernah tinggalkan aku."
Kurasakan tubuh Haechan sangat lemas. Ia terpejam dengan nafas yang tidak teratur.
Dia tidak sadarkan diri.
Aku mencoba tidak panik dan membawanya pergi dari halte tempat kami menunggu bus.
"Aku tidak pernah meninggalkanmu."
Kurasa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Markhyuck Short Stories✔
RandomHanya cerita pendek-pendek aja :v Markhyuck in your area!!!