Setelah melakukan penerbangan Jakarta-Padang. Hampir saja membuat Naina jantungan,berakhir sudah. Ia telah sampai di rumahnya sekitar setengah jam yang lalu,diantarkan taksi yang tadi membawa Dimas juga bersamanya. Iya,Naina kembali kerumah orang tuanya. Naina masuk kedalam rumah dengan kunci cadangan yang ia punya. Hal pertama saat Naina masuk kedalan rumah adalah,keadaan yang sepi tanpa ada seorang pun disini. Naina menghela nafas,lagi dan lagi,seperti sudah menjadi tradisi,dalam keluarga ini. Naina menyusuri rumah megah milik orang tuanya tersebut,berjalan menuju lantai atas dengan tujuan kamarnya.
Dengan ayah seorang pengusaha,dan ibu seorang designer ternama,dari luar keluarga itu terlihat sangat bahagia,bahkan terbilang sempurna. Tapi tak ada yang tau bagaimana kisah sebenarnya,yang selama ini Naina rasa. Orang tuanya sibuk dengan pekerjaan,dan mengacuhkan Naina,anak semata wayang mereka. Naina melakukan apapun sendiri. Orang tuanya hanya tau dengan mengisi kartu debit milik naina sebagai pemenuhan kebutuhan katanya. Bahkan naina rasa,ia sudah lupa kapan terakhir kali ia memakan masakan ibunya,bercanda gurau dan bermanja dengan ayahnya. Menceritakan berbagai hal pada kedua orang tuanya. Terlebih lagi ayah naina,ia ada dalam satu rumah,tapi naina seakan sulit untuk berbicara,bahkan hanya sekedar menyapa dan bertanya. Rasa itu lebih sakit ketimbang tidak punya ayah sama sekali. Naina berjalan menuju meja rias yang ada di kamarnya. Mengambil sebuah frame dengan foto yang selalu ada diatas meja rias itu. Memandang gambar yang ada di dalam sana. Foto itu diambil tepat 10 tahun yang lalu,saat itu naina baru menjadi murid sekolah dasar kelas 1. Digambar itu memang terlihat senyum kebahagiaan yang bukan senyum terpaksa yang naina berikan saat melakukan foto bersama karena suatu hal kepentingan usaha ayah dan ibunya. Sebulir air mata dengan lancangnya mengalir dipipi naina,diikuti bulir-bulir selanjutnya hingga menimbulkan jejak bak sungai yang dilalui airmata dipipinya. Naina tak butuh kartu-kartu berisi jutaan uang itu diberikan padanya,ia hanya ingin ayah dan ibunya ada saat itu ingin berbagi cerita. Bukan gila kerja. Semenjak SMP naina terus menguatkan hatinya saat melihat orang tua dari teman-temannya datang ke sekolah untuk mengambil raport anak-anaknya,atau datang untuk memenuhi undangan rapat dari sekolah. Sementara orang tua naina,jangankan untuk rapat dengan pihak sekolah,mengambil raportnya yang hanya sekali dalam satu semester saja sangat sulit rasanya.
Naina menghapus airmatanya,naina tak ingin lagi menangisi hal ini,yang terpenting kini ayah dan ibunya sehat dan bahagia,itu saja sudah cukup baginya. Jika naina mau,dalam keadaan yang brokenhome seperti itu,ia bisa saja berbuat semena-mena melakukan apapun yang ia inginkan,tanpa memikirkan dampaknya. Akan tetapi naina cukup tau diri,ayah ibunya jarang bersua dengannya karena mencari nafkah untuk menghidupinya,lalu ia dengan tak berperasaannya menghancurkan nama baik keluarganya. Jika semua anak brokenhome memiliki pemikiran seperti naina,pasti tidak akan ada berandalan-berandalan yang selalu terkena sumpah serapah oleh warga diluar sana.****
Pukul 11 malam naina terbangun dari tidurnya,karena haus yang melanda,matanya masih sembab,hidungnya masih memerah dan pipinya masih lembab karena menangis tadi sore,hingga membuatnya masuk kedunia mimpi. Saat menapakkan kaki di anak tanggak terakhir naina melihat ibunya baru saja memasuki rumah lewat pintu utama." Bun,ayah mana ?" naina bersuara seraya menyalim tangan wanita yang dipanggilnya bunda tersebut .
" masih ada urusan Dikantor mungkin " bundanya bersuara dingin,melewati naina menuju kearah dapur,meneguk segelas air yang ia tuangkan dari botol yang ia ambil dari dalam kulkas ke dalam sebuah gelas.
" Bunda,naina mau cerita " naina mengekori sang bunda yang keluar dari dapur,berjalan menuju kamarnya.
" Udah malam nai " bunda naina bersuara dengan terus berjalan mendahului naina. Tepat disebelah meja makan naina berdiri,memandang nanar kearah bundanya.
" Kenapa sih bunda gak pernah mau dengerin naina lagi?" pertahanan naina runtuh,airmatanya kembali keluar tanpa diperintahkan. Dengan isakan yang ia coba tahan. Dihadapan naina sekitar jarak 2 meteran sang bunda juga berhenti berjalan,akan tetapi tak berbalik walau hanya untuk sekedar memandang sebentar putri semata wayangnya.
" Bunda Capek nai " sang bunda bersuara dengan kepala yang sedikit ia tolehkan kesamping.
" Sekali ini aja bunda ngertiin naina, bun " isakan tak lagi dapat ditahan oleh naina,ia sudah tidak tahan lagi,bertahun-tahun ia menahan rasa untuk sekedar menyuarakan isi hatinya yang kurang suka dengan tingkah orang tuanya.
" Kami selalu mengerti kamu nai,tapi apa balasan kamu,kamu bikin malu keluarga ini naina " Bundanya naina berbalik menghadap kearahnya,dengan tas yang tadi ia teteng ditangannya sudah berada di sebelah kakinya. Naina tersentak karena suara keras bundanya. Bundanya tak pernah semarah ini apalagi sampai membentak,sebelumnya.
" Apa yang kurang naina,setiap bulan kami tidak pernah kurang memberikan uang padamu,untuk membelikan apa yang kamu inginkan,lalu kenapa kamu harus berlaku tidak wajar diluar sana (!)?" bundanya berjalan menuju arah naina.
" Naina nggak ngelakuin apa-apa sama bang dimas,kalau itu yang bunda maksud,ini hanya salah paham bun " naina mencoba memberikan penjelasan pada bundanya.
" Salah paham katamu " bunda naina tertawa sumbang .
" Kamu gak bakal dinikahkan kalau itu hanya sebuah salah paham naina "
" Tapi naina gak bohong bunda,naina gak punya niatan buat bikin bunda sama ayah malu " naina mencoba menggapai tangan bundanya,mencoba meyakinkan wanita yang telah susah payah melahirkannya kedunia.
" Iya kamu gak punya niatan,tapi kamu lakukan,apalagi yang kurang kami berikan naina ?(!)" Bunda naina juga meneteskan air mata ketika bicara dengan naina. Ia merasa ia sudah salah dalam mendidik dan membesarkan naina. Naina menghapus air matanya dengan kasar sebelum berkata.
" Kasih sayang,yang bunda sama ayah kasih itu kurang,naina gak butuh banyak uang,yang naina butuh ayah sama bunda,karena naina gak dapetin itu makanya naina cari diluar sana. Dan mungkin bukan cuma bang dimas yang udah ngapa- "
' Plak ' sebelum naina selesai dengan kata-katanya,sebuah tamparan mengenai pipi kirinya,cukup kuat sehingga membuat ia terhuyung kesebelah kanan,dengan rambut terurainya menutupi wajahnya. Naina kembali berdiri dihadapan bundanya,merapikan rambutnya,dan memegang pipi kirinya yang kini terasa panas. Naina tersenyum kearah bundanya.
" Itu yang kamu bilang salah paham,bukan hanya dimas yang sudah bersama kamukan ?" bunda naina berkata dengan nafas yang memburu,fikirannya kini sudah buntu,hingga ia kalut menampar naina tanpa rasa bersalah.
" Naina jelaskan pun bunda gak bakalan percaya" naina berujar dengan senyuman terlukis dibibirnya.
" Bahkan ini pertama kalinya bunda nampar naina,tapi asalkan bunda tau,sampai kapanpun naina gak bakalan pernah punya niatan untuk bikin keluarga kita malu,buat ayah dan bunda kecewa,naina sayang ayah sama bunda " setelah berkata dengan senyuman manisnya yang mencubit hati sang bunda,naina kembali kekamarnya,mengurungkan niat utama saat turun kebewah sana,melepas dahaga. Pandangan sang bunda mengikuti langkah Naina hingga hilang diputaran anak tangga teratas,ia menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan,duduk dikursi meja makan,sendirian. Kepalanya berdenyut,siapa yang harus ia percayai,putrinya atau bukti-bukti yang ada.
------------------------------------------------------
Padang,21 Maret 2018.
Nurul Fazira.
~My Senior ~
© 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior
Teen Fiction" Aku bersyukur, bahwa ketidak sengajaan takdirku adalah kamu. "