" Nai! Bangun dong, gak capek tidur mulu? " Dimas makin mengeratkan genggamannya pada jari jemari Naina. Ini merupakan bulan kelima Naina tidak kunjung sadarkan diri. Bahkan, detak jantungnya sempat melemah beberapa hari lalu. Naina juga sudah dipindahkan ke rumah sakit yang ada di Jakarta. Terlalu banyak alat yang Dimas tak mengerti apa itu, terpasang ditubuh istri kecilnya itu. Dimas juga sudah terlanjur frustasi dibuatnya, ia bahkan selalu mengajak Naina berbicara seperti yang dokter sarankan padanya, tapi tetap saja tak ada balasan yang ia harapkan dari Naina. Orang tua Naina bahkan sudah pasrah, jika bukan Dimas yang menahan mungkin alat-alat yang terpasang ditubuh Naina pasti sudah dicabut jaih-jauh hari. Melepaskan Naina lebih baik dari pada terus-terusan melihat Naina tersiksa seperti ini, begitu kata orang tua Naina dua hari lalu.
" Gak kasian liat gue kayak gini huh? " Dimas berdiri dari duduknya, walau sedikit tercengkit karena kakinya yang masih sakit. Dimas mencium dahi Naina, menyalurkan apa yang ia rasakan. Berharap Naina bisa merasakan dan sadarkan diri secepatnya. Dimas juga tidak tau, perasaan apa sebenarnya yang sedang menghinggapi hatinya, yang jelas ia ingin Naina kembali berada disisinya. Dimas sendiri tak terlihat seperti Dimas yang biasanya, ia begitu kacau. Bahkan kini wajahnya sudah mulai di tumbuhi rambut-rambut halus yang tak pernah ia perhatikan. Titik fokusnya kini sudah beraloh, hanya pada Naina. Tanpa ia sadari, Dimas sudah menggantungkan hidupnya pada sosok yang hingga kini masih terbaring tak berdaya itu.
**
" Dimas, makan dulu. " Suara lembut itu dari Mamanya Dimas." Gak deh Ma, Dimas belum lapar " Dimas masih berada di sisi brankar tempat Naina menghabiskan hari-harinya. Menenggelamkan wajah di sisi kasur kosong sebelah Naina, dan terus fokus menatap wajah yang makin hari makin tirus itu, tak lupa dengan alat-alat medis yang melewati hidung Naina.
" Jangan sampai pas Naina sadar, kamu yang jatuh sakit Dim! " Mama Dimas meninggikan suaranya. Anaknya itu terlalu keras kepala.
" Mama suapin ya! " perkataan Mamanya kali ini lebih cocok dikatakan sebagai perintah daripada pertanyaan. Dimas hanya menganggukan kepala. Benar juga kata Mamanya, bisa-bisa Dimas jatuh sakit jika terus-terusan menyiksa diri sendiri seperti ini.
Mentari sudah kembali keperaduannya, menyisakan bulan yang kini tengah memenuhi kewajibannya. Ruangan serba putih itu kini hanya didiami oleh Dimas dan Naina saja. Dimas tertidur dikursi dan kepalanya ia tenggelamkan pada sisi kosong sebelah Naina. Setelah bangun nanti Dimas paati merasakan sakit yang lumayan pada pinggangnya. Tapi, tak ia hiraukan, Dimas menikmati saat-saat seperti ini. Saat-saat ia menanti kembalinya sang istri.
Elusan di kepalanya membuat nyawa Dimas perlahan kembali ke jiwanya. Mata Dimas perlahan terbuka, bayang Naina tersenyum padanya langsung memenuhi indra penglihatannya. Dimas masih merasa ini adalah mimpi. Sebegitu besar rasa rindunya pada Naina. Dimas mengucrk-ngucek matanya, memastikan bahwasannya ini bukan mimpi. Setelah sadar sepenuhnya barulah Dimas merengkuh tubuh yang sudah berbulan-bulan terbaring lemah itu. Naina terkekeh dan haru mendapat perlakuan sedemikian rupa dari Dimas." Bang Dimas kurusan sekarang. " Naina berucap masih dengan lemahnya, tapi kerena sedang dalam pelukan Dimas, posisi bibir Naina dengan telinga Dimas yang lumayan dekat membuat Dimas dapat mendengar dengan jelas apa yang Naina ucapkan.
" Kamu juga! " Dimas tidak lagi dapat membendung rasa bahagianya, air mata Dimas sempat jatuh dan langsung ia hapus.
" Aku kira kamu udah mati, tau gak! " Naina lagi-lagi terkekeh, sejak kapan Dimas menggunakan aku-kamu ketika bicara dengannya.
" Gue itu udah anggap Lo kayak adek kandung gue sendiri, tau gak? Gue gak bisa kehilangan Lo! " Naina hanya menggeleng halus di pelukan Dimas. Air mata Naina sudah mengalir melewati pipinya yang dulunya chubby kini sudah tirus. Naina terharu mendengar penuturan Dimas barusan. Sebegitu besarkah Dimas menyayanginya? Walau hanya sebagai adik, Naina tak mengapa. Setidaknya Dimas menganggapnya ada. Dari dulupun Naina tidak pernah berharap banyak untuk Dimas dapat membalas rasa cintanya yang keterlaluan pada Dimas itu. Dan semenjak hidup bersama Dimas rasa itu kian hari kian membuncah. Kita tidak tahu hati akan menjatuhkan cinta itu pada siapa, tapi kita tau saatnya pergi menjauh ketika cinta akan menghancurkan kita. Apakah Naina harus benarcbenar pergi dari kehidupan Dimas? Sebelum cintanya sendiri yang akan menghancurkan Naina?. Atau tetap kokoh dalam pendiriannya mencintai sendirian? Karena jelas Naina tidak boleh egois dengan perasaannya, Naina mencintai Dimas dengan sangat, tapi ketika cintanya tak berbalaa ia harus apa? Memaki-maki Dimas? Bodoh sekali, selama ini Naina menikmati cinta sendirian yang ia lakukan. Cintanya tidak bisa dibagi berdua dengan Dimas. Setidaknya ketika ia tak bisa memiliki Dimas, cintanya untuk Dimas masih utuh dan hanya Naina yang punya tanpa harus ia bagi bersama. Selama Naina masih menikmatinya, mungkin saja Tuhan sedang memilah-milah rencana lain untuk kehidupannya mendatang.
#Bersambung
Selamat manjalankan ibadah puasa teruntuk kawan-kawan yang manjalankan. Maafkan aku yang sering ngegantung kalian ya. Semoga hadirnya Dimas dan Naina di puasa hari kedua ini mampu mengobati rasa lelah dan haus kawan-kawan. Sampai jumpa di saat moodku baik lagi ya kawan-kawan, aku menyayangi kalian❤.
Padang, 7 may 2019.
Nurul Fazira.
Aku menyayangimu❤
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior
Teen Fiction" Aku bersyukur, bahwa ketidak sengajaan takdirku adalah kamu. "