Bagian 13 - Dimas A. Wijaya

6.1K 282 5
                                    

Pagi ini Naina bangun dengan perasaan lebih hangat dari kemarin. Pasalnya hari ini orangtuanya berjanji akan mengantarkan Naina kesekolah. Jika tidak hari pertama setidaknya orang tuanya ingin mengantarkannya sekarang. Naina menuruni anak tangga dengan pakaian seragam lengkapnya,beserta tas cokelat sandang miliknya,dengan senyuman yang melukisi bibir indahnya.

" Pagi yah,pagi bun " Naina menyapa kedua orang tuanya yang tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Ayahnya tengah sibuk dengan berkas-berkas yang ada dihadapannya. Sementara sang bunda tengah sibuk menerima telepon entah dari siapa. Naina menarik kursi dihadapannya untuk bergabung menyantap sarapannya.

" Yah,Bun jadi kan ngantarin Naina kesekolah hari ini ?" Naina melemparkan tatapan pertamanya pada sang ayah.

Mahendra,sang ayah menarik napas sebelum bersuara.

" Maafin ayah ya Nai,ayah lagi buru-buru banget,ada meeting jam 8 nanti,lain kali aja ya Nai " ayah menatap Naina sebentar,ada gurat kekecewaan terlihat jelas disana. Kini Naina mengalihkan pandangan pada Raline,sang bunda,yang masih asik bercakap dengan seseorang dibelahan bumi sana.

" Bun- " Belum sempat Naina mengutarakan ucapannya Raline telah menginstruksikan agar Naina menghentikan ucapannya dengan gerakan tangan. Naina menghela napas panjang,ia kembali meletakkan roti yang berlapis selai cokelat,yang baru ia gigit seperempat itu ke atas piring. Selera makannya tiba-tiba menguap,hilang begitu saja,ia kembali kecewa,seharusnya ia tak terlalu berharap banyak saat orang tuanya berkata punya waktu untuk mengantarkannya kesekolah. Akan tetapi Naina tak ingin menambah beban orang tuanya,ia tau ayah bundanya pasti juga lelah karena pekerjaan mereka,Naina cukup tau diri dan memberikan pengertian pada orang tuanya. Naina menggeser kursinya kebelakang sebelum akhirnya berdiri.

" Yah,bun kalo gitu Naina berangkat dulu ya,Ayah sama Bunda jangan terlalu diporsir kerjanya. Assalamualaikum" setelah mengucapkan salam Naina meninggalkan kedua orang tuanya yang masih asik dengan kegiatannya masing-masing,walau dapat Naina dengar samar-samar jawaban salam yang ia berikan.

Biasanya Naina kesekolah menggunakan motor matic kesayangannya,saking sayangnya motor tersebut sampai ia beri nama minnie,namun hari ini ia harus berangkat dengan angkutan umum kesekolah,karena para siswa baru belum dibolehkan membawa kendaraan pribadi sendirian kesekolah. 45 menit sebelum bell masuk berbunyi Naina telah sampai di sekolah,yang menjadi tempat tujuannya setiap pagi semenjak namanya terdaftar di sekolah ini. Naina masuk dari gerbang utama,lalu duduk dibangku-bangku yang ada ditaman sekolah,sebelum memasuki gerbang berikutnya. Inilah kebiasaan Naina selama beberapa hari ini,sejak Pra PLS dimulai. Memperhatikan siswa-siswa baru yang diantarkan oleh kedua orang tuanya,ataupun hanya diantar oleh salah satu dari mereka. Naina tersenyum kecut,sekali saja ia bisa seperti itu,pasti akan sangat menyenangkan. Namun,Naina segera mengenyahkan harapannya yang hanya akan menyeretnya kepada kekecewa pada orang tuanya,ia tak mau itu terjadi.

Cukup lama hingga bell pertama berbunyi. Masuk kedalam kelas yang kemarin ia dan teman-teman barunya tempati. Beberapa guru masuk hanya sebagai perkenalan sekejap saja. Hingga istirahat pertama, itulah waktunya untuk kembali memburu tanda tangan para korlas. Naina sendiri sudah meminta tanda tangan sebagian dari korlas bahkan bisa dikatakan sudah hampir semuanya kecuali kakak korlas yang bernama Dimas A. Wijaya dan Ibnu Walski Iberian itu,dan anehnya lagi mereka berdua sedari tadi tak seorang pun yang Naina lihat batang hidungnya.

" Bang Ibnu " Naina berteriak pada seseorang yang tengah berdiri berkacak pinggang disamping labor Kimia. Naina berlari dengan sedikit mengangkat roknya. Dengan rambutnya yang tergerai melambai indah.
Sementara manusia yang tadi ia panggil Ibnu hanya mengernyitkan dahi,tentu saja ia bingung tidak ada yang pernah memanggilnya dengan sebutan Ibnu. Kebingungannya lenyap ketika Naina berdiri dengan napas ngos-ngosan dihadapannya,dengan rambut yang sedikit berantakan.

" Kamu Ngapain?? " Ibnu Walski Iberian mengeluarkan suaranya.

" Mau minta tanda tangan bang Ibnu " Naina berucap setelah selesai mengatur napasnya dengan benar.

" Ibnu ?"

" Abang Ibnu Walski Iberian-kan ?" lelaki keturunan rusia-indonesia itu mulai menghilangkat kernyitan didahinya.

" Iya,tapi panggilan gue bukan Ibnu,panggil gue Walski aja " lelaki yang bernama Walski tadi menyuarakan ketidak sukaannya pada Naina,ketika memanggilnya Ibnu tadi.

" Susah bang,lebih mudah kalo dipanggil Ibnu,jadi lidah saya gak keseleo " dengan polosnya Naina menyuarakan isi hatinya,membuat gerakan tangan walski yang tengah menorehkan coretan tinta diatas buku yang tadi Naina sodorkan berhenti. Ia menarik sudut bibirnya,dan memberika kembali buku itu pada Naina,dan ternyata telah ditanda tangani.

" Berani juga Lo " Walski masih tersenyum dengan sinisnya,seraya melewati Naina,sedikit menyenggol bahunya. Naina tertegun,apa maksud kakak kelasnya tadi mengatakan ia cukup berani,begitulah Naina akan lama membuatnya mengerti. Naina berbalik kerah punggung tegap yang berjalan dihadapannya,setelah ini ia harus minta maaf,Naina berujar dalam hatinya.

Sudah cukup lama Naina mengelilingi lingkungan sekolah ini,hanya tinggal satu lagi tanda tangan yang harus ia dapatkan agar lulus dari PLS atau MOS tahun ini,agar tak mengulang lagi tahun berikutnya.
Dimas A. Wijaya lelaki itulah yang kini tengah Naina cari-cari,hanya untuk sebuah goresan tinta dibuku yang tengah dalam genggaman Naina saat ini. Naina mengusap keringat yang membanjiri dahinya kemudian melewati telinga dan lehernya. Ia lupa membawa ikat rambutnya,sehingga rambutnya yang tergerai menambah rasa panasnya. Penglihatan Naina sedikit berkunang-kunang,kepalanya berdenyut,karena teriknya matahari dan panas yang menusuk ini. Ia mengedarkan pandangannya,menelisik satu persatu orang hanya untuk mencari satu orang saja. Di Lapangan sana,tidak terlalu ketepi juga tiddak terlalu ketengah,ditempatnya berdiri kemarin,Naina melihat sosok manusia setengah jangkung itu. Itu Dimas,Lelaki yang sedari tadi ia cari. Naina kembali berlari,ia tak mau kehilangan lagi. Naina sampai dihadapan Dimas dengan napas yang tersekat-sekat,ia rasanya sudah tidak kuat.

" Ikat " tangan kekar itu memberikan sebuah ikat rambut warna merah maroon pada Naina yang setengah berjongkok,dengan tangan bertumpu pada lututnya. Entah dari mana Dimas mendapatkanya,Naina tidak terlalu mempermasalahkan itu,kini yang ia harapkan hanyalah tanda tangan dimas,dan ia bisa segera kembali kadalam kelasnya dan beristirahat. Naina mengambil ikat rambut tersebut,seraya mengikatkan pada rambutnya asal. Ia mencoba menstabilkan deru napasnya,mencoba berdiri,dan mengenyahkan pusing yang semakin menjadi,akan tetapi ia gagal,saat menyesuaikan hadapannya dengan Dimas,kegelapan menghampirinya,ia limbung,untung saja Dimas dengan sigap menangkap Naina,Kalau tidak,mungkin saja kini ia sudah tergeletak ditanah dihadapan sepatu kulit milik Dimas.

------------------------------------------------------
Kumohon tinggalkanlah Vote dan Comment karena hanya itu penyemangat untukku melanjutkan kisah ini.
Terima kasih

Warm Hug and Kiss
Nurul Fazira || 4 April 2018

||My Senior||

My SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang