Dimas hanya mampu menghela napas pasrah,ketika melihat jarum jam yang melingkar pada pergelangan tangannya. Waktu keberangkatan pesawatnya 5 menit lagi,tapi sampai saat ini ia masih terjebak macet di tengah perjalanan menuju Bandara Internasional Minang Kabau. Dimas tak menyangka Padang yang selama ini adem ayem bisa macet juga,kalau tau begini Dimas akan naik kereta api saja ketimbang diantar oleh Kiko,teman semasa SMAnya ini.
" Udahlah Ko,putar balik aja gak bakalan kekejar juga " Dimas menarik napasnya kasar,tak biasanya Dimas seteledor ini.
" Terus? Gak jadi balik sekarang? "
" Besok aja deh,perasaan gue juga gak enak " Dimas menyentuh senderan tempat duduk mobil Kiko dengan punggung tegapnya. Jujur,sedari tadi sekelebat pikirannya hanya tertuju pada Naina saja. Entah apa yang tengah terjadi dengan gadis itu yang jelas ini bukan pertama kali Dimas mencemaskannya. Jari-jemari kokoh milik Dimas itu menari di atas layar ponsel canggihnya,mencari nomor telepon yang akan di dialnya. Dimas menempelkan ponsel itu di telinga sebelah kirinya,menunggu seseorang di seberang sana menjawab panggilan dari Dimas. Tapi nihil,hanya suara operator yang dapat Dimas dengar.
" Shit " Kiko yang sedari tadi fokus menyetir mengalihkan pandangannya ke arah Dimas yang baru saja mengeluarkan umpatan itu.
" Lo kenapa sih,kayak orang stress banget tau gak? " Kiko melihat sebentar ke arah Dimas lalu kembali fokus pada jalan yang ada di hadapan. Dimas tak menjawab,ia berpikiran positif saja. Mungkin Naina tengah tertidur setelah pulang sekolah tadi,itukan pekerjaan yang sering gadis itu lakukan?.
Jarum jam menunjukkan pukul 11.31 malam,tadi Dimas kembali kerumah orang tuanya bukan kerumah orang tua Naina. Dimas berencana akan berangkat dengan penerbangan pagi pada esok hari. Wacananya untuk beristirahat sepuasnya sebelum penerbangan besok gagal,buktinya hingga pukul 11 malam lebih Dimas masih terbangun,membolak-balik tubuhnya di atas kasur. Entah apa yang terjadi dengan dirinya,yang jelas perasaan tak enak tentang Naina masih mengelabuinya. Sebenarnya ada apa dengan gadis itu. Sedari tadi pun Naina tak memberi kabar pada Dimas,tapi itukan sudah biasa.
" Arrgh " Dimas bangun dari tidur dan menyandar pada kepala ranjang,ia meraih ponselnya yang terletak pada nakas yang ada di samping ranjang. Kembali memanggil nomor ponsel Naina,tapi lagi dan lagi hanya suara operator yang ia jumpai. Dimas melempar ponselnya asal,untung saja benda pipih itu tak jatuh kelantai,hanya sampai pada ujung jemari kaki Dimas. Dimas mengusap wajah dan menarik sedikit rambutnya. Ia sangat frustasi sekarang,hanya karena tak mendapat kabar dari gadis yang sudah beberapa hari ini selalu ia lihat saat bangun tidur.
Deringan ponsel dijung jemari kakinya mengalihkan pandangan Dimas,sarat akan kegembiraan jelas tercetak di wajah manisnya. Tapi raut mukanya kembali muram ketika nama yang tertulis di sana bukanlah Naina tapi ibu mertuanya. Kemuraman itu berganti menjadi kerutan di dahi,ada gerangan apa ibu mertuanya menelepon larut malam begini?." Halo bun.."
" Dimas jadi balik ke Jakarta hari ini?"
" Rencananya iya bun,tapi tadi ketinggalan pesawat,jadinya besok pagi "
" Ooo,begitu. Naina sudah tidur?" Pertanyaan dari ibu mertuanya itu sukses membuat kebingung Dimas semakin bertambah.
" Naina bun? Naina bukannya di rumah bunda,Naina gak mau ikut balik bareng Dimas kemarin bun " Dimas semakin tidak tenang.
" Loooh,bunda kira Naina ikut Dimas,soalnya Naina gak ada di rumah pas bunda cek kamarnya barusan. "
" Anak itu,entah sejak kapan suka sekali kelayapan "" Bunda tenang dulu,nanti Dimas akan cari Naina,gak mungkin Naina kelayapan sampai jam segini bun,mungkin Naina nginep di rumah temannya " Dimas memberikan ketenangan pada mertuanya,tapi tidak akan dirinya sendiri yang semakin krasak-krusuk tidak jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior
Teen Fiction" Aku bersyukur, bahwa ketidak sengajaan takdirku adalah kamu. "