" Terkadang Sahabat Dan Musuh itu dua hal yang hanya beda tipis. Layaknya Benci dan Cinta,mereka sama. Sama-sama memiliki akhir tawa bahagia atau luka dan kecewa."
***
Bukan hal yang tabu lagi bagi Naina ketika mendapati wajah tampan dengan rahang nan tegas milik Dimas. Sudah acap lagi ia terbangun dengan Dimas disisinya sebelum mereka menikah. Entah itu berjarak lebih jauh darinya atau hanya berjarak beberapa sentimeter saja,yang jelas untuk pemandangan wajah Dimas yang begitu dekat ini,inilah pertama kali. Saking dekatnya,hembusan napas hangat teratur milik Dimas itu dapat Naina rasakan. Naina bukan gadis alay yang akan berteriak tidak jelas ketika mendapati seseorang terlelap disisinya ketika bangun tidur dipagi hari,apalagi sampai lupa dengan statusnya saat ini. Tidak,Naina tidak sepelupa itu,Dimas suaminya saat ini,lagipula ini hanya tidur,tidur dalam harfiah nan sebenarnya,tidak ada unsur apapun di sini. Naina mengusap rahang tegas itu sekilas,tangannya segera ia singkirkan ketika bulu mata lentik itu sedikit bergerak dan diikuti gerakan gelisah Dimas merubah posisi tidurnya,Naina langsung berpura-pura kembali menutup mata,kalau-kalau Dimas terbangun karena kegiatan yang ia lakukan tadi. Selang beberapa menit,tak ada lagi pergerakan dikasur yang mereka tempati,barulah Naina kembali membuka matanya perlahan-lahan. Dengan tarikan napas lega Naina menyingkap selimut tebal yang awalnya menutupi tubuhnya hingga dada,mengusir dinginnya angin malam tanpa pelukan walaupun tidur sudah tak sendirian.
****
Alarm yang selalu ia setel dulu semasa sekolah hingga kini masih bertahan rupanya,benda itulah yang membangunkan Dimas dari nyamannya jerat kasur nan empuk dan selimut tebal itu,merelakan mimpi indahnya terputus oleh alarm bunyi ketiga itu. Di sana,di sudut kamar sana menghadap ke arah kiblat,tanpa ia duga-dugapun Dimas sudah tau siapa orang itu,bahunya bergetar dalam balutan mukena putih gading dengan tangan ia tengkadahkan,isakkan tangis yang sesekali keluar ketika bercerita pada Tuhannya. Dimas tak tahu pasti apa yang selalu Naina sembunyikan dalam gelak tawa yang selama ini selalu Naina berikan pada siapa saja yang ia jumpai,Dimas tak tau seberapa rapuh gadis yang saat ini telah ia nikahi. Sangat jarang Dimas menemui Naina dalam tangis kesedihan sebelum ini,tapi kini entah berapa kali sudah setelah pernikahan mereka Dimas menemukan gadis itu tengah berurai air mata,semenderita itukah Naina menikah dengannya?
Berkelabat pertanyaan terkadang seakan menghantui Dimas,ia merasa bersalah di sini,walaupun sebenarnya mereka berdua sama-sama korban akan kesalah pahaman ini. Terlalu lama Dimas dengan Dunianya ia tak menyadari Naina telah usai dengan untaian cerita pada sang pencipta. Dimas gelagapan dan segera menutup mata ketika Naina hendak melepaskan mukena. Setelah dipastikannya Naina telah beranjak dari kamar yang ia tempati,barulah Dimas bangkit dan masuk ke kamar mandi,untuk bersegera mengejar waktu subuh yang tak lama lagi.***
" Bang Dim,Nai berangkat dulu ya! " Naina berdiri dari duduknya setelah menyelesaikan sarapan sederhana yang ia buat. Dua piring omelet,segelas Kopi hangat untuk Dimas dan Teh hangat untuk Naina. Pagi-pagi sekali Naina sudah tak menemukan ayah dan bundanya di rumah ini,entah jam berapa kedua orang itu pergi bekerja atau mereka sama sekali tak pulang kerumah?,entahlah,Naina sudah tak mau lagi banyak berspekulasi pagi ini.
" Nanti malam gue balik duluan ke Jakarta,kalau urusan di sana udah selesai baru lo nyusul. Paling lama seminggu lagi. " Dimas menatap Naina sebentar saat mengakhiri ucapan dengan sekali tarikkan napas itu. Naina hanya tersenyum kecut,Dimas masih saja kekeh membawanya ke Jakarta,padahal sekolahnya tinggal satu tahun lagi di sini. Tapi yasudahlah mau di kata apa. Naina hanya membalas anggukan kepala saja akan ucapan Dimas tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior
Teen Fiction" Aku bersyukur, bahwa ketidak sengajaan takdirku adalah kamu. "