" Begitulah Manusia,dia akan merasa seseorang itu berharga saat di sisinya,ketika seseorang itu sudah Tiada "
-------Rintik hujan,menggelapnya langit dengan awan hitam seakan ikut merasakan kesedihan mendalam orang-orang yang tengah beramai-ramai kepemakaman. Isak tangis dan air mata dapat di dengar dengan jelas,ayunan dedauan bunga kamboja seakan berirama. Tak ada yang menyangka gadis periang yang selalu memenuhi hari-hari mereka tanpa menunjukkan sedikitpun kesedihannya kini telah pergi,Naina sudah pergi untuk selamanya,meninggalkan semuanya,termasuk hal yang paling berharga baginya,Dimas A. Wijaya. Lelaki yang tengah bersimpuh seraya memegang Foto gadis yang selama hampir 3 tahun ini mengisi hari-harinya dan selama beberapa bulan ini telah menjadi istri sahnya. Dimas memandangi Nisan putih yang sedikit terkena kotoran tanah kecoklatan pusara itu,aliran air matanya seakan tak dapat di hentikan,mengalir dengan sendirinya. Ia memang belum mencintai gadis itu sepenuhnya,tapi ia tetap merasa sangat terpukul atas kehilangan terbesar ini. Dimas tak pernah menyangka Naina akan meninggalkannya secepat ini. Dimas juga merutuki dirinya sendiri yang terlambat mengetahui keberadaan Naina,hingga semuanya berakhir tragis seperti ini. Jika saja ia sedikit sigap,nyawa Naina pasti tidak akan menjadi taruhannya.
" Udahlah Dim,Naina pasti gak bakalan suka liat lo kayak gini " Rama menepuk pundak Dimas seakan memberikan dukungan dan semangat untuk menjalani kehidupan selanjutnya tanpa Naina.
" Naina udah tenang,lo gak perlu cengeng kayak gini juga " Walski memeluk Dimas ala lelaki,memberikan kekuatan kepada Dimas walau sesungguhnya Walski juga tengah bersedih. Terbukti dari matanya yang memerah dan masih berkaca-kaca.
Setelah pembacaan doa penutup saat selesai dimakamkan,orang-orang mulai meninggalkan tempat peristirahatan terakhir Naina,yang tersisa hanyalah Dimas,Rama dan Walski saja." Come on Dim. Kita gak boleh berlarut-larut dalam kesedihan kayak ginikan? " Rama sudah mulai jengah dengan sikap Dimas yang melebihi perempuan sedang bersedih.
" Orang tuanya aja udah pulang,udah pergi ninggalin makam anaknya,buat apa lo ngeraung-raung gak jelas di sini bego! " Orang tua Naina memang sudah ikut pulang bersama pelayat lainnya tadi,mungkin karena efek hujan yang semakin deras turunnya.
" Udahlah Dim,gak baik kayak gini. Ini namanya sama aja lo nyiksa diri sendiri,hujannya makin deras ayuk balik! " Walski menyeret Dimas saat ucapan terakhirnya ia lontarkan. Dimas tak memberikan penolakan ataupun persetujuan,ia hanya diam. Terlalu lelah rasanya,sedari tadi Dimas terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan ketika Dimas datang lebih cepat dan bisa menyelamatkan Naina. Paling tidak gadis itu hanya masuk rumah sakit,dan Dimas pasti masih bisa melihat senyuman yang dapat membuat mata sipitnya itu menghilang. Benar kata orang-orang,saat Naina masih ada di sisinya Dimas tak sedikitpun menganggap Naina berharga,tapi ketika Naina sudah meninggalkannya untuk selamanya barulah ia sadar,ia tak bisa hidup tanpa Naina.
" Jangan kayak orang mau nyusul mati juga kali Dim! " Rama yang ikut menemani Dimas duduk dibangku belakang tak bisa mengalihkan perhatiannya terhadap temannya tersebut. Rama dan Walski juga bingung,Naina hanya Sepupunya,lantas kenapa Dimas sampai seterpukul dan seterpuruk ini?
Ya,saat tertangkap basah ada seragam Naina dikamar Dimas waktu itu,Dimas mengatakan bahwasannya Naina adalah adik sepupunya,sementara Rama dan Walski percaya-percaya saja ketika mereka merasa ucapan Dimas saat itu sangatlah meyakinkan." Udahlah Dim,Naina pasti gak bakalan suka liat keluarganya kayak gini,ikhlasin dia Dim! " Walski berucap seraya memandang Dimas yang ada dibelakangnya,lalu kembali fokus pada jalanan.
Setelah Dimas pulang kerumahnya diantar oleh Rama dan Walski,dapat Dimas saksikan Papa dan Mamanya yang masih termenung di sofa panjang ruang tamu saat ia hendak menuju kamarnya tadi,entah apa yang tengah terjadi di rumah mertuanya. Dimas tak lagi ingin menerka-nerka,ia terlalu lelah. Dimas menuju kamarnya,membuka pintu dengan perlahan. Dimas menghela napas dengan kasar,rasanya baru dua hari yang lalu ia dan Naina berada di dalam kamar ini,baru dua hari yang lalu Naina mencoba membujuk Dirinya yang merajuk,bahkan Dimas tak melihat tanda-tanda akan kepergian Naina,bahkan Naina pun tak pernah meninggalkan pesan,selain kata-kata yang selalu ia lontarkan " Bang Dimas jangan lupa bahagia ya! " Air mata Dimas kembali mengalir tanpa diperintahkan,bendungan di matanya tak daoat ia tahankan. Katakanlah ia lelaki cengeng,laki-laki juga punya hati,lelaki juga bisa merasa kehilangan. Sempat Dimas berfikir ' Apa ia harus ikut mati juga?' tapi untung saja otak jernihnya kembalu menguasai dirinya. Jika ia ikut mati menyusul Naina,mereka tak akan dikenang layaknya keromatisan Romeo dan Juliet atau Laila dan Majnun. Mereka akan hanya di ingat sebagai pasangan gila,dimana sang lelaki menyusul mati hanya karena penyesalannya yang belum bisa membahagiakan istrinya selama masih hidup di dunia." Aargh " Dimas menarik-narik rambutnya kasar sebelum akhirnya mencoba menenangkan diri di alam bawah sadarnya,perlahan-lahan Dimas menutup matanya,berharap ketika ia bangun esok hari semua ini hanyalah mimpi. Semoga saja.
***
" Dimas bangun,kamu belum makan dari kemaren nak! " Dimas mencoba membuka matanya sesekali memejam,menyesuaikan cahaya yang mulai masuk keretina matanya.
" Dimas gak lapar ma " Dimas berucap lirik lalu berbalik dan semakin menarik selimutnya hingga menutupi kepala.
" Gimana bisa kamu bilang gak lapar,kamu belum makan dari kemaren Dimas! Nanti Maagh kamu kambuh gimana? Sedih sih boleh tapi jangan menyakiti diri sendiri juga,Naina pasti bakalan sedih liat kamu kayak gini! " Sebenarnya Dimas masih berharap banyak kepergian Naina semalam hanyalah mimpi belaka,tapi sepertinya Dimas harus membuang jauh-jauh harapannya itu,Naina memang sudah pergi untuk selamanya.
" Mama duluan aja " Dimas berucap dari balik selimutnya,walau tak terdengar jelas mama Dimas masih dapat mendengarnya.
" Kamu harus ikut sarapan sama mama, kalau gak mama akan tetap di sini " sang mama memberikan ultimatumnya saat Dimas tak juga hendak ikut keluar dengannya. Sementara Dimas tak pernah tega dengan mamanya,Dimas tak mungkin membiarkan mamanya melewatkan sarapan yang sudah menjadi keharusan,bisa-bisa mamanya akan drop lagi,jika terus ikut-ikutan memikirkannya.
" Dimas ke kamar mandi dulu! " Dimas menyingkap selimutnya hingga pinggang dan duduk menyandarkan punggung dan kepalanya ke kepala ranjang,sesekali ia memijit kepalamya yang serasa berdenyut-denyut,kantung mata nan hitam jelas tercetak di wajah tampannya,hidung yang memerah dan mata yang terus berkaca-kaca. Sang mama menatap anaknya dengan dalam, 'Sebegitu terpurukkah Dimas saat ditinggal Naina?' mama Dimas menatap kearah putra semata wayangnya itu dengan lekat.
" Kamu harus kuat,kamu harus ikhlasin Naina " Dimas dapat merasakan tangan halus mamanya menggenggam tangannya dengan erat,seakan menyalurkan kekuatan,Dimas dapat melihat bola mata mamanya yang sudah tertutupi oleh bendungan kaca yang sebentar lagi akan pecah. Mamanya menangis kembali dan Dimas paling benci melihat itu,Dimas dengan sigap beralih memeluk mamanya. Walau sebentar,Naina sudah banyak meninghalkan kenangan dalam keluarganya. Sampai-sampai tak ada yang sanggup kehilangan dirinya. Tapi apa mau dikata tuhan sudah berkata Naina harus pulang.
" Mama jangan nangis,ini Dimas mau sarapan sama mama dan papa,jangan sedih lagi ma! " Dimas mengusap airmata dipipi mamanya setelah mengurai pelukan mereka,Dimas memang tak lagi mengeluarkan airmata,tapi bendungan dipelupuk matanya itu masih menyiratkan kesedihan dan keterpukulan ditinggalkan orang yang sedikit demi sedikit mulai mengisi ruang kosong di hatinya.
*****
ENDTerimakasih sudah menanti❤
Setujukan kalau cerita ini udah tamat?
A. Setuju
B. Tidak setuju ( beri alasan kenapa kalian tidak setuju )
C. Terserah aja.Padang,16 Desember 2018
MY SENIOR | NURUL FAZIRA
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior
Teen Fiction" Aku bersyukur, bahwa ketidak sengajaan takdirku adalah kamu. "