Ketigabelas

4.3K 329 2
                                    

Berdebat hanya berujung dua hal
Menang menjadi api
Kalah menjadi abu

Aku tidak bisa tinggal diam di posko. Selain karena alasan tugas kuliah, aku juga tidak tahan melihat kalkulasi sandiwara cinta Yusuf dan Ria. Bukan karena cemburu, singguh. Hanya saja terlihat begitu memuakkan.

Setelah sarapan, aku langsung keliling ke rumah warga untuk pendataan awal. Aku tau tidak seharusnya ini ku kerjakan sendiri. Aku tau kalau ini tugas kelompok. Tapi menunggu mereka menyelesaikan sekelumit masalah pribadi sebelum memulai kegiatan bukanlah gayaku.

Setelah beberapa rumah ku datangi untuk pendataan, Matahari terasa semakin menyegat. Tidak kusadari ternyata sudah hampir jam 12 siang. Pantasan saja perutku sudah mulai keroncongan. aku singgah di salah satu warung membeli minuman

“mahasiswa lagi praktek ya?” Tanya ibu warung nya, dia terlihat sangat ramah. Maka kubalas keramahan itu di level atasnya

“iya bu, baru kemarin datang. Kami dari keperawatan” kata ku

“hati-hati ya dek kalau mau ke rumah yang paling ujung, itu penghuni nya nenek lampir. Dukun. Udah banyak korban nya. Kalau bisa gak usah ke sana deh”

 ku tengok kearah ibu itu menunjuk. Tepat di ujung jalan terlihat rumah tua atau lebih tepatnya gubuk dengan halaman yang luas dan pohon rindang yang mungkin sudah berusia ratusan tahun. Sangat tidak terawat dengan alang-alang yang tinggi nya hampir menutupi sebagian gubuk tersebut.

“di sana ada nenek yang tinggal sendirian?” Tanya ku lagi. Bukan karena aku takut tapi karena aku penasaran penyebab nenek itu di kucilkan dan di cap sebagai nenek lampir

“iya dek, dia membunuh semua keluarga nya pake ilmu sihir. Suami, anak dan cucu nya meninggal di jadikan sebagai tumbal oleh dukun itu. Sekarang dia pasti cari tumbal yang lain. Kasi tau teman kamu jangan ada yang ke sana. Bahaya!!!”

Peringatan dari ibu itu membuatku merinding hebat. Aku menjadi penakut. meskipun sangat sering menyendiri namun aku juga sangat penakut.

“ya sudah. Makasi ya bu untuk infomasi nya” segera ku bayar minuman dingin ku dan pergi jauh-jauh dari sana

Aku mampir di posko satu. Posko di mana Adel, Nayla dan Ayu berada. Berjarak sekitar 500 meter dari posko ku posko dua. Andai saja aku di posko satu aku pasti tidak se linglung sekarang. Ada teman dekat yang dengan nyaman bisa ku ajak ngumpul bareng.

“Hani muka kamu merah banget” Kata Adel sambil menepuk halus pipiku

“iya di luar panas banget, lupa bawa payung” Kataku yang memang merasa sangat kepanasan

“kenapa gak jalan sama Fahri hani, kali aja dia bisa payuni kamu degan cintanya” celetuk Nayla. Dia masih belum bosan menjodohkan aku dengan Fahri

Tidak ku hiraukan Nayla. Aku justru focus pada hp ku. Ada satu orang yang ingin sekali ku hubungi. Dan ku tekan nomornya

NOMOR YANG ANDA TUJU SEDANG TIDAK AKTIF

“kalau gitu tolong sampaikan padanya aku rindu” Aku rasa aku mulai gila karena merindukan Darma. Dia bahkan tidak memeberiku kesempatan untuk menjelaskan beberapa hal yang membuatnya salah paham

“hani sudah ya, jangan hubungi darma lagi. Dia itu gak pantas buat kamu. Bisanya Cuma nyakitin kamu doang” Adel merebut hp ku dan mengomel

“tapi dia itu Cuma salah paham” pembelaanku

“kalau gitu apa ini juga salah paham?” Nayla menunjukan foto dari instagram. Foto Darma bersama seorang wanita.

Seketika badanku terasa remuk melihat foto itu. Rasanya ada pisau yang mengiris jantungku membuatku sulit bernafas.

“baca caption nya” Kata Nayla

Tapi tidak bisa ku baca karena mataku sudah kabur dengan linangan air mata yang siap mengucur

dan kau hadir mengubah segalanya menjadi lebih indah’

Adel membacakan caption yang Nayla maksud

“jadi Darma serius mutusin aku, dan sekarang dia sudah punya pacar baru” lirihku, tak terasa aku menangis

“Sabar hani. Itu artinya dia memang tidak pantas untuk kamu. Masih banyak yang suka sama kamu kok. Gak usah sedih ya” Adel menguatkan aku

“jangan nangis dong. Dia tidak pantas kamu tangisi” Ayu juga ikut menguatkan

“pokok nya sekarang kamu bebas dari Darma. Saatnya mencari pacar baru juga” Kata Nayla

Tiba-tiba saja ada satu orang sangat ingin ku salahkan atas kejadian ini. Yusuf. Ya dia. karena dia Darma mutusin aku. Aku menjadi sangat marah padanya.

Tapi tak bisa ku ungkapkan amarah itu. Bahkan untuk sekedar bercerita kepada teman-teman ku tentang amarah itu aku tidak  bisa. Tidak mungkin aku cerita tentang mimpi konyol itu dan memaksa mereka untuk mempercayainya. Apalagi orangnya adalah Yusuf.

***

Aku baru akan kembali ke posko dua saat Matahari sebentar lagi akan tenggelam.di persimpangan jalan dari lorong sebelah.

ini saatnya’ batinku

Saat yang perfect, di mana hanya ada aku dan dia, tidak akan ada orang yang mendengar, menilai dan melerai. Aku sudah siap menyerang dia dengan pertanyaan tentang kelakuanya pada Darma dan banyak lagi. Bahkan sudah kusiapkan kata-kata makian terbaik untuk menohok nya.

“jangan menatap ku seperti itu, entar bola mata kamu jatuh”Kata Yusuf, sepertinya dia membaca kemarahan ku

“aku kasi kamu waktu 1 menit untuk menjelaskan, setelah itu aku akan putuskan memaafkan kamu atau tidak” Kataku memberi kesempatan pada Yusuf menjelaskan sebelum aku kelepasan dan memakinya. Atleast dia pasti punya alasan yang kuat. Tidak sengaja mungkin atau salah paham. Aku masih harus positif thinking.

“menjelaskan apa?” Tanya Yusuf dengan polosnya membuat jarum kesabaran ku menunjukan error

“Tentang Darma. Dia mutusin aku setelah kamu pegang hp ku. Kamu pasti angkat telepon nya kan. Apa saja yang kamu katakan ke dia?” Aku menekan setiap kata di kalimatku untuk menunjukan aku telah kehabisan kesabaran

“oh tentang dia. aku tidak akan menjelaskan apa-apa. Lagian harusnya kamu berterimakasih padaku untuk itu” dengan santai nya dia menjawab itu.

dinginkan otak Aisyah. Coba lawan dia pake otak jangan pake emosi atau kamu akan kalah’ 

“kamu suka sama saya, jadi kamu sengaja membuat Darma mutusin saya. Ya kan?” Tanyaku yang ku yakin akan membuatnya gelagapan

“hehe… Aisyah. Kamu pintar, mandiri, dan cantik. Tapi sayang kamu terlalu kepedean” dia terlalu pintar bersembunyi seolah-olah aku tidak tau. apa perlu aku katakan semuanya sekarang. Tentang mimpi bodoh itu, tentang kata-kata konyolnya saat mabuk.

“kalau aku menyukai mu aku pasti sudah akan mengejarmu. Mendekatimu, mengajakmu bicara, mencari perhatianmu. Apa kepintaranmu mu hanya di gunakan untuk membuat hipotesis tanpa latar belakang?” lanjut Yusuf seolah men skak ku

Aku tau dia bohong. Aku tau aku bisa menantang semua pengalihan nya itu. tapi untuk apa? Tanpa berdebat pun aku sudah tau kalau aku menang. Tanpa berdebat pun malaikat sudah tau kalau aku benar.

“baik lah kalau begitu. Semoga sukses dengan sandiwara mu”

Aku segera memutar badan bermaksud pergi segera dari hadapan nya. Unfortunely kaki ku terpeleset karena kerikil jalanan membuatku hilang keseimbangan dan jatuh.

Malunya aku Karena itu.

Yusuf malah berjalan melewatiku yang masih terduduk di tengah jalan. Dia sama sekali tidak berniat menolong ku. Teganya dia.

Biarkan saja. Tak ada guna nya pertolongan nya lagi. Tak ada gunanya.

Aku mencoba berdiri meskipun sakit menjalar di kaki ku. Luka bekas kecelakaan ku sepertinya kembali berdarah dan sangat sakit. Aku meringis menatap luka itu. aku hanya berdoa tidak ada yang melihatku dalam malu dan sakit ini

help me, say that” suara itu mengangetkan ku, tenyata Yusuf. Dia tidak pergi jauh. Dia kembali

Dear Future Husband (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang