"Pertemuan kita bukanlah kopi kental kesukaanku yang manis, tapi entah kenapa sampai kapanpun aku ingin selalu menikmatinya."
• • •
Milia menghela napas pasrah ketika gerbang sekolah sudah ditutup rapat. Di depan matanya ia melihat jajaran rapi siswa tiga angkatan yang sedang upacara bendera di lapangan, di balik gerbang. Budaya hari senin di semua sekolah.
Gadis itu sadar tidur terlalu larut bukanlah ide yang bagus setelah ia terlambat masuk begini, tapi ia pasti akan selalu mengulanginya. Diliriknya kanan dan kiri, dimana beberapa siswa bernasib sama dengannya juga bermuka pasrah.
Baiklah, Milia tidak perlu panik karena ia sudah terbiasa dan tidak sendirian.
Hanya perlu menunggu sampai waktu upacara selesai dan guru BP akan keluar, membimbing para siswa yang datang terlambat menuju lapangan yang sudah kosong. Setelah itu beliau akan mencatat nama dan kelas, lalu memberikan poin. Sudah, hanya itu yang akan terjadi. Dan Milia benar - benar terbiasa.
• • •
Setelah menunggu sekiranya selama dua puluh menit, akhirnya barisan upacara dibubarkan. Gerbang utama sekolah dibuka dan dengan lesu Milia berjalan masuk bersama beberapa siswa di sekitarnya.
Mereka dibariskan, lalu setelah itu Bu Rosma-guru BP legendaris SMA Nusantara-datang. Yang tak luput dari perhatian Milia adalah beberapa siswa yang berjalan mengikuti dibelakang Bu Rosma. Sudah dapat dipastikan mereka adalah para anggota OSIS yang ditugaskan membantu guru itu.
Dalam jarak yang semakin dekat, dapat dilihat kilatan mata jengkel Bu Rosma menatap para siswa di hadapannya.
"Kalian lagi, kalian lagi." Ya, bisa dikatakan para siswa yang berlangganan terlambat. "Kalian tidak mendengar nasihat saya kemarin?"
Siswa - siswa itu-termasuk Milia-menunduk dalam - dalam. Alih - alih takut pada Bu Rosma, mereka juga khawatir bila ada kuis dadakan dimana Bu Rosma akan menanyakan isi nasihatnya.
"Hitung poin kalian selama ini, dan renungkan apakah saya perlu memanggil orang tua kalian atau tidak." Tutup guru itu, lalu memulai interogasi singkat dari ujung barisan. Sebelumnya beliau memberi isyarat pada para anggota OSIS untuk menyebar dan membantunya.
Milia mulai bergerak tidak nyaman di tempatnya. Ia menunduk dan memperhatikan ujung sepatunya yang menggesek - gesek tanah. Siswa yang terambat hari ini cukup banyak, sehingga memaksa Milia untuk lebih sabar menunggu. Sedikit menyesal karena ia tidak memilih ujung barisan untuk berdiri.
Beberapa menit menunggu, Milia bisa melihat siswa yang sudah berhadapan dengan Bu Rosma berjalan menuju gedung sekolah dengan tasnya. Gadis itu jadi ingat dengan dua sahabatnya yang dipastikan sudah ada di kelas, dengan sempurna menduga bahwa ia terlambat hari ini. Milia terkekeh dalam hati, ternyata se-bebal itu dirinya.
Tak lama kemudian, Milia mendongak setelah melihat sepasang pantofel mengkilat mendekat ke arah sepatunya. Ia mendapati laki - laki yang tidak begitu familiar. Rambutnya tersisir rapi, dan mungkin dilapisi pomade tipis - tipis. Seragamnya ... semua terpasang dengan rapi dan sempurna, Milia yakin lebih rapi dari dirinya.