"Tapi bagiku, kamu akan selalu sama."
• • •
Lebih dari dua jam Haris menunggu Milia selesai dengan tangisannya. Tiap kali Milia berhenti mengeluarkan air mata, entah kenapa dorongan untuk terisak itu datang lagi. Haris jadi tidak tega melihat matanya yang sudah bengkak dan kepalanya yang pasti sudah sakit.
"Minum dulu," Haris mengulurkan segelas coklat panas yang dibuatnya di dapur Milia.
Gadis itu menerimanya, lalu meminumnya sedikit dan meletakkannya di meja teras. Penampilannya kini sudah sangat acak – acakan. Dress kusut, rambut berantakan, riasan yang luntur dengan maskara yang lumer di pipinya, belum lagi kakinya yang memerah karena terkilir. Toh Haris tidak peduli dengan penampilannya, cowok itu tetap menunggunya sampai selesai menuangkan air matanya tanpa protes mengenai penampilan gembelnya.
Haris beranjak dari duduknya, lalu berjalan ke arah motornya dan mengambil sesuatu dari bagasi motor. Sebotol air mineral. Ia kembali lagi dan berlutut di depan Milia yang sedang duduk. Dituangkannya sedikit air mineral itu pada lutut Milia yang lecet, yang bahkan tidak disadari oleh pemilik kaki itu sendiri.
"Tadi gue ketemu sama bokap lo. Katanya lo lagi pergi, iya sih gue tau kemana." Ucap Haris di sela – sela kegiatannya. "Terus gue bilang mau tunggu sampe lo pulang, mungkin bokap lo masih ada kerjaan, atau mungkin udah tidur. Yang pasti beliau nitipin kalo lo udah pulang."
Milia diam dan mendengarkan. Ia memperhatikan Haris yang mengeluarkan plester luka dari saku jeansnya dan ia bisa merasakan benda itu menempel pada lututnya.
"Udah." Ucap Haris setelah mengelus luka terbalut plester itu.
"Anyway, happy birthday!" Ucap cowok itu sambil mengeluarkan kue blackforest yang sebelumnya tidak Milia sadari keberadaannya. Mungkin saking kalapnya menangis, Milia tidak memperhatikan sekitar. Haris menyalakan sebatang lilin kecil yang ditancapkan di tengah kue. "Gue nggak tau umur lo berapa sekarang, LINE cuma ngasih tau kalau hari ini lo ulang tahu."
Untuk pertama kalinya Milia tersenyum mendengar penuturan Haris. Haris ikut tersenyum melihat bentuk bibir gadis itu.
Setelah Haris menyodorkan kuenya, Milia meniup lilin untuk kedua kalinya malam ini. Senyum Haris tampak semakin lebar. Entah karena masih ingin menangis atau terharu dengan perlakuan Haris, Milia mengalirkan air matanya lagi. Tapi sepertinya opsi kedua lebih masuk akal karena Milia justru tersenyum ketika satu ibu jari Haris mengusap air matanya.
"Ngapain nangis lagi? Kuenya gue bawa balik nih."
Haris tahu betul seberapa kacau Milia. Ia sengaja tidak mengungkit kejadian itu dengan melontarkan kalimat penenang mengenai Sam. Tidak. Cowok itu lebih memilih bersikap normal, berbahagia karena ini hari ulang tahun Milia. Bukan hanya Ana yang berhak lebih bahagia hari ini, tapi Milia juga.
"Mau dimakan nggak nih? Atau diasinin pakai air mata dulu?" Canda Haris sebelum menerima tamparan di lengan.
• • •
"Oke, kita tanya Milia. Mil, lo mau minum apa?" Haris menatap Milia penuh harap.
"Apa aja."
"Ayo suit." Haris mengepalkan tangannya di belakang punggung. Sejak lima menit yang lalu Haris dan Disa memperdebatkan minuman apa yang akan mereka pesan. Kantin cukup ramai dan semua kios penuh dan sesak oleh siswa. Maka dari itu, minuman yang mereka pesan harus sama supaya lebih cepat menyiapkannya. Disa ingin minum es teh, sedangkan Haris susu coklat.
Sudah menjadi hal yang biasa bagi Milia mendengar debatan ampas kedua makhluk di dekatnya sekarang, satu meja kantin dengannya. Ketika Disa kalah suit dan Haris terbahak penuh kemenangan, Milia menutup sebelah telinganya dan menyuruh Disa segera memesan minum. Ia juga menyumpal mulut Haris dengan gumpalan tisu di tangannya supaya cowok itu berhenti membuat telinganya berdenging.
"Diem aja bu haji. Sariawan?" Tanya Haris menggoda ketika Milia hanya sibuk dengan ponselnya.
"Ck, apaan sih? Diem lo."
Milia begitu ketus akhir – akhir ini. Lebih tepatnya setelah kejadian malam itu dan Haris tahu betul kenapa. Ekspresi wajah Milia juga itu – itu saja, kalau bukan jutek, ya senyum abal – abal yang tidak nyaman dipandang. Haris bisa memaklumi, tapi sampai kapan Milia berubah seperti ini?
"Mil, ada cabe di gigi lo."
Sontak saja Milia mengangkat kepala dari layar ponsel, "Hah? Mana??" Tanyanya panik.
"Gue cuma bohong."
Melihat poker face Haris dan tipuannya barusan, Milia mengembalikan wajah juteknya dan sibuk lagi dengan ponsel. Tapi kalimat Haris selanjutnya membuatnya mengangkat kepala lebih lama dan menatap cowok itu sambil meneliti sesuatu.
"Gue aja nggak pernah liat lo senyum, gimana gue bisa tau ada cabe di gigi lo?" Tanya Haris datar, tapi menurut Milia itu lebih patut disebut sindiran yang cukup menohok baginya.
"Gue berasa lagi satu meja sama manekin tau nggak? Lo diem mulu mantengin hp. Emang ada yang lebih ganteng daripada gue di feeds instagram lo itu?" Tanya Haris lagi sambil mengarahkan dagunya pada ponsel Milia.
Menarik nafas pelan, Milia mengunci ponselnya dan menaruhnya di atas meja. Ia menatap Haris sambil membentuk senyum hingga matanya membentuk bulan sabit.
"Yang ikhlas." Ucap Haris singkat.
Milia memutar bola mata. "Kebanyakan maunya ya lo!"
"Nah, gitu dong marah. Kalau lo diem mulu kan gue yang bingung."
Baru saja Haris hendak melanjutkan omongannya dan membuat Milia menciptakan ekspresi lain selain jutek dan senyum palsu, cowok itu menangkap sosok yang berjalan mendekat yang hampir membuatnya membelalak. Buru – buru ia merengkuh kedua bahu Milia, memindahkannya secara paksa ke kursi yang lebih dekat dengannya, membelakangi orang itu.
Barulah ketika orang itu sudah lewat, Haris menggubris Milia lagi yang memukuli lengannya karena kaget oleh gerakan refleksnya. Cowok itu hanya tersenyum melihat omelan Milia, merasa lega karena setidaknya gadis itu tidak melihat Sam yang baru saja melintas.
• • •