"Akan melelahkan mengejar yang kita mau tanpa menyadari apa yang kita punya."
• • •
Mungkin di luar sana mendung, bisa dilihat dari sedikitnya cahaya bulan yang masuk ke kamar Milia yang gelap. Gadis itu masih memakai seragam lengkapnya yang tertutup jaket, duduk di ujung tempat tidur dengan malas. Sepi. Benar – benar terasa hampa meskipun jarum jam terdengar detakannya.
Tiba – tiba terdengar suara ketukan di pintu kamar yang terbuka. Milia menoleh, lalu mendapati Papanya yang berdiri di ambang pintu dengan segelas susu di tangan.
"Papa kira kamu sudah tidur."
Milia tersenyum. "Belum, Pa."
Bagas berjalan masuk setelah menekan saklar lampu dan meletakkan gelas susu tadi di atas meja belajar anaknya. Ia duduk di samping Milia, dan menyadari kalau gadis itu masih memakai seragamnya. "Bagaimana sekolah kamu?"
"Baik." Jawab Milia singkat.
"Jangan terlalu memaksakan diri kalau kamu lelah." Sungguh saat ini Bagas ingin mengatakan kalau ia tidak mau Milia merasa tertekan dengan tuntutannya. "Papa percaya kamu sudah bekerja keras untuk belajar."
Milia mengulas senyum lagi, tidak bisa menahan perkataan selanjutnya, "Milia senang Papa dan Mama percaya sama Milia."
Suasana menjadi hening. Tidak ada percakapan yang mengisi jalannya waktu. Baik Milia atau Papanya menyayangkan mengapa dulu mereka berada dalam hubungan yang tidak baik. Ketika takdir menginginkan mereka hanya tinggal berdua tanpa Marina, semuanya terjawab sudah. Bahwa seharusnya waktu yang pernah terlewat dihabiskan dengan cara yang baik.
"Papa kangen nggak sama Mama?" Tanya Milia setelah hening cukup lama.
"Setiap hari."
Tanpa Milia sadari air matanya terjatuh. Ia tahu ia tidak sedih dan rindu sendirian.
"Mili juga kangen sama Mama."
Bagas merangkul Milia, membiarkan anak perempuannya bersandar di pundaknya. "Mama pasti juga sedang merasakan hal yang sama."
"Ingat apa yang pernah Mama bilang?"
Milia mengangguk sambil mengusap air mata. Tentu saja Milia ingat. Mamanya selalu menyanginya, percaya padanya bahwa dia adalah bagian dari bintang di angkasa.
"Jangan pernah putus untuk mendoakan Mama." Bagas mengecup pelipis Milia. "Dan Papa mau mengucapkan terima kasih, karena kamu selalu ada di sisi Papa. Kamu adalah bagian dari Mama, orang yang akan selalu Papa cintai, selamanya. Dengan adanya kamu, Papa merasa mempunyai harta yang tidak ternilai harganya. Terima kasih."
Milia memeluk Papanya erat. Begitu erat sampai ia bisa merasakan seolah pelukan Marina juga ada di sana. Seharusnya Milia lebih berterima kasih pada Papanya, karena ia merasa memiliki segalanya. Setelah pelukan itu terlepas, Milia melirik ke arah gelas susu di atas mejanya. Seperti apa yang sering dilakukan Mama dulu, membuatkan susu.
"Oh iya, jangan lupa diminum susunya. Papa mau tidur." Ucap Bagas sebelum meninggalkan kamar Milia dan gadis itu mengacungkan ibu jarinya.
• • •
Disa menatap Milia dengan sorot mata menyelidik. "Gue nggak bego."
"Iya, gue tau lo selalu dapet 9 waktu ulangan trigono. Nggak usah pamerin ke gue."
"Mil, kalau gue jadi lo, gue bakalan males jenguk – jenguk siapa itu cewek centil yang nempel sama Sam?"
Milia mengalihkan perhatian dari parsel buahnya kepada Disa. "Namanya Ana. Dan wajar aja kalo mereka nempel, sahabatan udah dari lama."
Sambil melipat tangan di depan dada, Disa melanjutkan. "Oke, koreksi sesuka lo. Tapi gue tau dari si kucrut Haris kalau lo yang bikin Sam kabur kemarin. Biar apa?"
"Biar dia bisa cabut lah."
"Sejauh ini gue amati sebagai sahabat lo gue kira lo suka sama Sam."
Milia menghela nafas, lalu menatap Disa lekat – lekat. "Then what?"
"Kalau gue jadi lo, gue nggak akan semudah itu biarin Sam pergi dalam rangka melindungi perasaan gue sendiri." Disa menjawab santai.
"It was emergency."
"Tapi kalau seandainya suatu saat nanti Sam berakhir sama temennya itu, lo ikhlas?"
• • •
Terlalu banyak drama ketika Haris meminta maaf pada Milia karena kejadian kemarin. Cowok itu merasa sangat lancang mendeskripsikan perasaan Milia. Meskipun berakhir dengan ngopi bareng, tetap saja Haris merasa harus minta maaf.
"Please, pacar Dylan. Aku sungguh memohon maaf pada dikau." Haris memasang ekspresi berlebihan.
"Yang bener kalau minta maaf."
Haris menghembuskan nafas dengan pipi menggembung sampai poninya berkibar. "Gue minta maaf Mil."
Milia menatap Haris yang memelas, lalu menyerahkan helmnya pada cowok itu. Ketika Milia keluar dari halama sekolah, tiba – tiba Haris sudah mengejarnya sambil berteriak memanggilnya, lalu tanpa diberitahu cowok itu sudah tahu ia mau pergi menjenguk Ana. Tentu saja tahu karena parsel yang dibawa Milia. Lalu tanpa persetujuan siapa – siapa selain dirinya sendiri, Haris meminta Milia menunggunya mengambil motor di parkiran. Tanpa penawaran ia mengantar Milia, meskipun gadis itu masih bingung dengan kelakuan absurdnya.
"Nggak usah minta maaf, Ris. Lo nggak salah apa – apa."
"Hehe ... " Haris tersenyum lebar.
Keduanya sudah sampai di parkiran rumah sakit dan sedang berjalan bersisihan untuk masuk.
"By the way, lo kemarin bilang bisa tahu apa yang ada di pikiran gue, itu maksudnya apa?"
Haris terdiam sesaat. "Kalau itu emang iya."
"Maksudnya iya? Lo bisa tau pikiran orang lain?"
Haris mengangguk.
Milia membuka mulutnya karena kaget. Sedikit lebay karena terlalu sering bergaul dengan Haris. "Lo cenayang juga?"
"Sometimes.."
"Ternyata selama ini gue berteman sama sebangsa gituan." Milia bergidik ngeri, lalu bergeser ke kanan demi membuat jarak antara dirinya dengan Haris.
Haris merengut. "Bukan berarti gue makhluk halusnya juga, kali." Protesnya. "Awas ya lo."
Milia tertawa, lalu kembali ke posisinya semula. Dengan begitu Haris tidak memasang wajah tidak terima lagi.
"Berarti gue sekarang harus hati – hati mikirin sesuatu kalau lagi sama lo, ya kan Har?"
"Hmm, iya juga. Tapi kalau lo mikirin gue sih nggak papa, gue nggak masalah."
Tak terasa langkah mereka berdua terhenti ketika sudah sampai di depan ruangan Ana. Ruangan yang sama seperti kemarin, yang beberapa detik terakhir membuat Milia takut untuk memasukinya.
"Wait a minute." Cegat Haris ketika Milia hampir menyentuh daun pintu. Milia menatap cowok itu sambil menaikkan sebelah alisnya. "Promise me you won't cry after this."
Milia mencerna kalimat Haris, lalu ia mengulas senyum sambil mengangguk. Ketika pintu terbuka dan mereka mendekati ranjang Ana, gadis dengan balutan luka di kepala itu tersenyum lebar. Sangat manis sampai Milia terpukau melihatnya. "Hai Milia."
Lalu di samping Ana, Sam duduk menatapnya dalam. Senyum di bibir cowok itu membuatnya lupa bahwa dia bukan satu – satunya yang ditatap seperti itu.
• • •