"Hanya karena kamu adalah bagian menyesakkan untukku dalam cerita ini, bukan berarti aku kehilangan cara untuk bernafas."
• • •
Haris sedang kecanduan menonton video clip musik Korea yang sedang trending di YouTube. Ia tidak peduli dengan teman – temannya yang sedang sibuk pemanasan sebelum futsal. Justru laki – laki itu hanya duduk di pinggir lapangan sambil kedua matanya terpancang pada layar ponsel.
Sam yang baru datang melemparkan tasnya ke samping cowok itu. Haris hanya melirik sekilas, lalu mengembalikan pandangan pada layar ponselnya.
"Pemanasan sana." Ucap Sam melihat kelakuan temannya yang dia tidak tahu sejak kapan suka menonton gituan.
"Hmm,"
"Heh!"
"Apaan sih lo." Sungut Haris. "Berisik amat kaya emak – emak RT gue."
Percuma ngomong sama Haris, akhirnya Sam pergi duluan ke lapangan dan bergabung dengan teman – temannya yang lain. Setelah lima menit berlalu, akhirnya teman satu tim berteriak jengkel karena Haris masih saja berada di posisi santainya sambil melihat layar ponsel.
"Iya iya ah elah bawel kalian semua." Haris ngedumel sendiri sambil mengambil posisinya. Selama bermain cowok itu berlarian sambil geal geol karena masih terbawa perasaan bagaimana artis Korea tadi nge-dance. Melihat itu teman – teman satu timnya bersepakat tidak mengoper bola pada Haris. Bisa – bisa tim mereka kalah taruhan sore ini karena keslengeannya. Meskipun begitu Haris tetap kebanyakan gaya dan berteriak "Mwasooook Pak Ekoooo!" tiap kali tim mereka berhasil mencetak gol.
"Bagi Bang, bagi Bang!" Haris mencomot botol air mineral Sam yang baru ia keluar dari tas begitu permainan selesai.
Tanpa tahu diri Haris meminumnya hingga hampir habis, membuat Sam mengelus dada karena beruntungnya ia sudah terbiasa dengan manusia satu ini. Lalu cowok itu mengeluarkan botol mineral yang lain dan meminumnya.
Melihat Sam masih duduk tenang dan belum beranjak pulang, diam – diam Haris memperhatikan cowok itu. "Sam." Panggil Haris.
Sam menoleh.
"Masih nyaman mantan lo itu? Oh sorry, bukan mantan maksud gue."
Kalau beberapa minggu yang lalu Sam enggan membicarakan masalah ini dan terus menyangkal, beda halnya dengan sekarang. Haris bisa tahu kalau Sam berubah banyak semenjak Ana mencampuri hidupnya lagi sekembalinya ia dari Perancis.
"B."
"B aja?" Selidik Haris.
"Dia masih sama kaya dulu."
Haris tertawa mendengarnya. "Nanti lama – lama juga lo jatuh cinta sama dia."
"Nggak mungkin." Kini gantian Sam yang terkekeh.
Di balik kepalanya, Haris berpikir bagaimana Sam tidak tahu ada perempuan lain yang jatuh cinta dengan dia? Bagimana bisa dia membuat perempuan itu baper habis – habisan dan tanpa sadar menyakiti perasaannya? Bagi Sam mungkin biasa saja karena bukan dia yang merasakannya, tapi bagi perempuan itu, Haris tidak tahu lagi.
• • •
Milia tercekat begitu ada pengendara motor yang mengendarai motornya begitu cepat sementara jalanan sedang ramai – ramainya. Ketika motor itu mendekat, Milia bisa tahu siapa pengendaranya. Dengan was was Milia memperhatikan, motor itu hendak berhenti ke sisi jalan tempatnya berdiri sekarang. Kecepatan motornya berkurang drastis karena ibu – ibu pengendara motor matic hendak menyeberang, membuat pengendara itu harus membanting motornya sendiri ke samping demi tidak menabrak si ibu – ibu.
Tanpa bisa Milia prediksi pengendara itu terjatuh, karena terbentur bahu jalan. Milia memekik, lalu menghampiri pengendara itu dengan berlari.
"Gimana sih lo ngawur banget bawa motornya." Omel Milia sambil membantu orang itu bengkit dan duduk.
"Hehe.." Haris membuka kaca helmnya dan menampakkan senyum lebar, membuat Milia tidak habis pikir.
"Lagian ngapain ke sini? Bimbelnya udah selesai."
"Oh ya?" Haris menaikkan alisnya. "Gue kira masih satu jam lagi."
"Dari mana lo?"
"Futsal. Ada taruhan sama kelas sebelah."
Sontak saja Milia menjitak kepala Haris yang masih terbungkus helm. "Sadar dong Ris lo itu bentar lagi lulus, masih main mulu kerjaannya. Emang kenapa sih kalau futsalnya Sabtu sama Minggu?"
Melihat Milia mengomel, senyum jenaka di wajah Haris menghilang, berhanti dengan senyum kecil pengertian. Mungkin baru kali ini Milia marah padanya. Atau mungkin sebelumnya pernah? Haris tidak tahu, yang pasti ia justru merasa lega untuk kemarahan kali ini.
"Kelas sebelah banyak maunya Mil, daripada cekcok mending diturutin hari ini aja."
"Cekcok cekcok pala lo. Ayo bangun." Milia memegangi tangan Haris, lalu cowok itu bangun. "Masih bisa bawa motor ke Alfamart nggak?"
Haris menegakkan motornya, lalu dirinya dan Milia bertandang ke Alfamart terdekat. Setelah itu Milia memerintahkan untuk duduk saja di terasnya. Gadis itu masuk, lima menit kemudian ia sudah keluar dengan sebotol air mineral, obat merah, kapas, dan plester luka.
"Dicuci lukanya." Perintah Milia lagi sambil menyodorkan botol air mineralnya.
Haris menurut, lalu setelah lukanya dicuci, Milia berjongkok untuk melihat luka cowok itu. Dengan sedikit kasar karena jengkel, Milia mengoleskan obat merah pada luka Haris, membuat cowok itu meringis dan protes. "Sakit Mil, psikopat banget lo jadi cewek."
Milia memelototi Haris, lalu mengomel lagi. "Makanya, kalo naik motor lebih kenceng lagi! Udah tau jalanan rame ada ibu – ibu di depan, main seruduk aja."
Haris terdiam. Ia kira Milia masih sama seperti sebelumnya, mengobati lukanya tanpa perasaan. Tapi nyatanya gadis itu melembutkan gerakannya, lalu ketika sudah selesai, ia melekatkan plester yang tadi dibelinya.
"Mana tangannya." Haris mengulurkan tangannya, lalu Milia berganti mengobati lukanya di tangan. Terakhir ia juga menempelkan plester.
Cowok itu tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Milia. Tidak bisa, pada gadis yang selesai mengobati lukanya barusan dan masuk lagi ke dalam Alfamart untuk membeli makanan karena dia lapar. Dari Milia Haris belajar bahwa setiap orang punya cara yang berbeda untuk menunjukkan sifat pengasihnya. Boleh jadi Milia selama ini terlihat sedikit masa bodo dan tidak ada manis – manisnya sama sekali dalam memperlakukan orang, terutama dirinya. Tapi kalau itu memang benar sifat Milia, tidak mungkin Haris merasa lebih baik hanya karena dua plester luka menempel di tangan dan kakinya.
• • •
Cathriana Luis : Thanks :)
Cathriana Luis : Hati – hati di jalan.
Samuel : Okay.
Samuel menutup ponselnya. Baru saja Ana meminta tolong untuk membelikan sesuatu karena ia tahu Sam sedang di luar rumah. Tetapi Sam menunda niatnya untuk masuk ke Alfamart dan memilih tetap berada di seberang jalan. Ia tidak tahu kalau Milia dan Haris ada di sana. Dari sekian banyaknya yang bisa ia temui kenapa perlu bertemu dengan yang ada mereka di sana. Seharusnya Sam tetap meneruskan niatnya karena keduanya adalah temannya, seharusnya ia biasa saja.
Tapi melihat bagaimana mereka berdua berinteraksi, Sam merasa harus mencari tempat lain.
• • •