"Izinkan aku pergi dulu, yang berubah hanya tak lagi ku milikmu."
(Pamit - Tulus)• • •
Tujuh tahun yang lalu...
Haris ingin tahu sendiri dari Milia tanpa perlu membaca pikirannya kenapa wajah gadis itu keruh semenjak pembagian angket peminatan perguruan tinggi. Berbeda dengan kebanyakan siswa yang excited dengan pembagian angket itu, Milia seperti orang tekanan batin. Maka dari itu sepulang sekolah, Haris mengajak Milia ke kafe tempat mereka biasa bertemu dulu barangkali Milia mau bercerita.
"Liat punya lo dong." Pinta Haris ketika seorang waiter sudah pergi dari hadapan mereka.
Dengan ogah – ogahan Milia mengeluarkan angketnya. Masih kosong. Haris menatap kekosongan dimata gadis itu.
"Kenapa nggak diisi? Masih bingung ya?"
Milia menggeleng lemah.
"Ini kan udah dibagi dari kapan harinya. Masa belum kepikiran?"
Mendadak Haris jadi menyebalkan seperti sanak saudara atau tetangga yang menanyakan 'kuliah dimana' padahal yang ditanya belum punya rencana yang matang. Sebelas dua belas sama pertanyaan 'kapan nikah' yang diajukan untuk para jomblo yang nggak sadar diri.
Milia melirik Haris sinis. Biasanya cowok itu akan langsung menembak isi kepalanya tanpa diminta. Tapi justru ditanyai seperti ini disaat kepala Milia ingin meledak terasa sangat menyebalkan. Kenapa Haris tidak menggunakan kemampuan supernya itu?
"Nih, gue kasih liat punya gue. Padahal gue pelit ngasih liat ke anak kelasan. Ini cuma buat lo."
Milia bisa melihat di universitas mana sasaran Haris. Ia juga tidak menyangka Haris yang slengean itu memilih jurusan arsitektur dan pertambangan. Tapi bagaimanapun ia tidak boleh menyalahkan passion orang lain.
"Gue bukannya bingung, Ris." Ucap Milia akhirya. "Gue cuma... udah ada rencana lain."
"Rencana lain gimana maksudnya?"
"Gue mau kuliah di Perancis."
"WHATTTTT???!!!"
Pekikan Haris barusan mampu membuat seisi kafe menoleh ke arahnya, membuat Milia ingin menjambak rambutnya yang berantakan ini. Bahkan waiter yang hendak mengantarkan minumannya pun berhenti sejanak karena terkejut dengan pekikan laki – laki itu.
"Nggak pake teriak – teriak juga, kali."
"Wait... what? Lo beneran mau kesana? Ya ampun Mil, kaya nggak ada tempat yang lebih deket aja. Lo kira Perancis – Indonesia bisa ditempuh pake kopaja? Yang bener elah, itu jauh kebangetan."
Gadis di hadapan Haris mengesah pelan. Ia tahu keputusan yang ia ambil cukup ekstrim, tapi mau bagaimana lagi? Ia sudah mantap dan Papanya mengizinkannya, memberinya fasilitas dan dana pula.
"Gue tahu..." Milia menarik nafas. "Tapi gue udah terlanjur niat dan bilang sama bokap. Lagian ini kado ulang tahun gue. Bokap gue ngeiyain, dan udah mulai ngurusin kepindahan gue juga."
Dari sorot matanya, Milia bisa melihat Haris yang memendam protes – protes yang lain. Tapi dari helaan nafasnya dan senyum yang sedikit dipaksakan, laki – laki itu menanggapinya.
"Sumpah Mil, gue kaget lo bilang ini ke gue." Katanya didramatisir. "Tapi berhubung ini kemauan lo dan udah lo niatin, bokap lo pun dukung, gue bisa kok nerimanya. Lagian apapun yang terbaik buat lo, kenapa gue mesti bilang enggak?"