"I knew I loved you then but you'd never know. 'Cause I played it cool when I was scared of letting go."
(Say you won't let go - James Arthur)• • •
Diamnya Sam dalam perjalanan tidak mendorong Milia untuk membuka percakapan terlebih dahulu. Cowok itu fokus pada jalan di depannya, membuat Milia semakin ragu apakah keberadaannya diketahui atau tidak. Milia menahan debaran jantungnya ketika sesekali aroma parfum Sam tercium oleh hidungnya. Astaga, ini perasaan apa.
Ketika mobil Sam sudah menempuh setengah perjalanan, dengan sisa keberanian di antara kegugupannya, Milia bertanya.
"You ok?"
Sam menghentikan mobilnya di depan lampu merah, lalu ia menoleh pada gadis di sampingnya. Wajahnya menampakkan ketidakmengertian sampai Milia melanjutkan lagi.
"Gue denger lo abis sakit."
Sam tersenyum kecil, lalu melajukan mobilnya lagi ketika lampu sudah berubah hijau. "Iya."
"Maaf gue nggak bisa jenguk." Cicit Milia.
Good, drama aja terus.
"Nggak papa. Wajar kalau lo nggak tau kan?"
"Hmm,"
Keduanya sama – sama sedang menyembunyikan pertanyaan dalam diri mereka. Mereka sama – sama egois. Mereka sama – sama bodoh karena memendam apa yang seharusnya diutarakan.
Milia ingin menjabarkan bagaimana perasaannya selama ini. Ia belum pernah mengatakan ia menyukai Sam tapi ia ingin Sam tahu. Ia juga ingin Sam tahu bahwa selama ini ia memang menghindarinya. Namun malam ini ia ingin Sam tahu bahwa ia tidak bisa menghindarinya. Sementara Sam ingin bertanya kemana saja Milia selama ini, sama seperti pertanyaannya dimalam pernikahan Papa Ana yang mengambang tanpa jawaban yang jelas. Sam ingin tahu bagaimana pendapat Milia tentang ada apa dengan mereka berdua sekarang. Sam ingin.
Tapi sampai mereka tiba di hotel tempat Ana merayakan ulang tahunnya, keduanya sama – sama bungkam dan bersikap seolah – olah mereka merasakan kelegaan diperasaan masing – masing.
• • •
Hiruk pikuk dipesta Ana sama sekali tidak membuat Milia terhanyut dalam kemeriahannya. Setelah mengucapkan selamat pada Ana dan memberikan hadiahnya, Milia memilih menjauh ke tempat dimana tidak banyak orang bisa melihatnya. Sementara Sam masih tertahan dengan Ana, menjadi pusat perhatian di mata semua tamu, tepat di tengah – tengah ruangan yang megah itu.
Ana terlihat sangat bahagia, dan juga cantik. Di sisinya ada Papa, Mama tirinya, dan juga Sam yang Milia duga adalah tiga sumber kebahagiaan gadis itu. Tanpa sadar, Milia ikut tersenyum seperti halnya Ana. Milia merasa gadis itu pantas mendapatkan semuanya. Dia pantas mendapatkan keluarga yang lengkap, dia pantas mendapatkan kasih sayang dan perhatian, dia pantas mendapatkan Sam.
Milia sadar ia punya Papanya, ia punya hati Mamanya, ia punya Disa dan Haris. Milia rasa ia juga punya semuanya.
Gadis itu melangkahkan kakinya keluar. Melihat kebahagiaan orang lain seperti sekarang, Milia takut hati terkecilnya ingin merebutnya.
• • •
Musik mellow mengalun di dalam mobil Sam selama perjalanan pulang. Sama seperti sebelumnya, cowok itu menyetir dalam diam, menularkan diamnya juga pada Milia. Suasana jalanan tidak sepadat sebelumnya, pun Sam juga menyetir dengan kecepatan sedang. Membuat Milia ingin sekali memejamkan matanya dan sejenak tertidur.
Tapi niatnya tertahan ketika Sam memanggil namanya. Milia menoleh, mendapati Sam yang masih fokus pada jalan di depannya. Nampaknya cowok itu akan tetap bicara dengan pandangan lurus ke depan.
"Ya?" Jawab Milia.
Hening cukup lama. Cukup lama sampai Milia kira Sam hanya ingin memastikan dirinya belum tertidur. Tapi suara cowok itu terdengar lagi.
"Gue..."
Milia menunggu.
"Gue udah jadian sama Ana."
Milia tidak tahu.
Sebelah tangannya menggenggam erat dressnya. Ia menahan nafas, sambil meyakinkan dirinya sendiri bahwa tidak ada yang salah dengan pendengarannya. Sakit yang Milia rasakan mengganjal di tenggorokannya.
"Oh ya? Kapan?" Tanya Milia parau setelah kesulitan menemukan suaranya sendiri.
"Sebelum pesta dia selesai."
Bibir Milia yang bergetar mengulaskan senyum. "Hahaha, sayang banget tadi gue ke toilet. Jadi nggak bisa liat kan." Dustanya.
Milia melirik Sam yang tersenyum simpul. Tatapannya masih lurus ke depan.
Dia bahagia.
Terima kasih pada gelapnya malam, karena genangan air mata Milia tidak bisa dilihat cowok itu dengan mudah. Malam ini Milia menyerah dengan perasaannya sendiri. Segala kebahagiaan tentang cowok di sampingnya berubah menjadi luka yang menusuk perasaannya tanpa ampun. Malam ini Milia bersandiwara cukup banyak, tanpa lelah membanting hatinya sendiri. Mencintai Sam apakah perlu sesakit ini pada akhirnya? Apakah perlu sedangkan Sam tidak tahu perasaan Milia?
Dia tidak pernah tahu.
• • •
Setelah mobil Sam menghilang di belokan, Milia melepaskan senyumnya di antara hembusan angin malam. Ia masuk ke halaman rumahnya, lalu mendapati Haris yang duduk di terasnya dengan tatapan lurus ke arahnya. Milia membalas tatapan itu dengan mata memerah. Untuk beberapa saat, ia tidak tahu kenapa menatap Haris bisa se-menyedihkan ini.
Milia berlari ke arah Haris, namun baru beberapa langkah ia terjatuh karena sepatu hak tingginya.
Haris sontak berdiri, lalu ia berlari mendekati Milia yang sudah terduduk di tanah. Haris memeluk gadis itu, dan Milia balas memeluknya lebih erat. Satu per satu air mata Milia berjatuhan, ia bergetar dalam pelukan Haris, mencengkeram kaus bagian belakang cowok itu.
"Sam jahat Ris," Ucap Milia di antara tangisannya.
Haris tetap diam sambil memeluknya, ia bisa merasakan hebatnya getaran Milia dan seberapa basah kaus bagian depannya. Ia tidak mau gadis itu melukai dirinya sendiri lebih dari ini. Maka dari itu Haris mempererat pelukannya.
"Sam jahat sama gue, Ris." Ulang Milia lagi.
• • •