BAB 48

38 4 6
                                    

"Sampai di ujung lelah, akhirnya aku sadar bahwa sekeras apapun aku meyakini perasaan kamu, di sini hanya aku yang terlampau berharap."

• • •

Tujuh tahun yang lalu...

Milia terengah ketika mendapati dirinya yang—bodo amat ke berapa kali—terlambat masuk sekolah. Di ujung masa SMAnya sekalipun, ia sulit merubah kebiasaan yang satu ini. Bu Rosma juga sudah sudah tidak lagi memberikan reaksi yang berarti ketika poin pelanggarannya terus bertambah. Toh sebentar lagi Milia lulus.

Dari tempatnya berbaris menunggu lembar pelanggaran, Milia tentu tidak dapat melihat laki – laki itu lagi. Dia sudah tidak menjabat sebagai ketua OSIS, tentu saja Milia tidak lagi melihatnya di lapangan disaat – saat seperti ini. Yang ada hanya jajaran pengurus OSIS yang baru yang kebanyakan dari angkatan di bawahnya.

Tapi praduga Milia tentang tidak adanya laki – laki itu sirna. Tepat setelah seorang pengurus sekaligus adik kelasnya menyodorkan lembar pelanggaran untuk ia isi sendiri identitasnya, laki – laki itu muncul dari ujung koridor dan memasuki lapangan, memperhatikan pengurus OSIS baru—penerusnya.

Tatapannya begitu datar dan dingin, menampakkan dirinya yang tidak dikenali Milia sama sekali. Kedua tangannya ia masukkan di saku dan wajahnya begitu tegak dengan dagu diangkat tinggi – tinggi.

Apakah Milia berdosa ketika ia berharap setidaknya laki – laki itu menatapnya sebentar saja? Karena ia merasa kehadirannya di lapangan itu seperti makhluk tak kasat mata yang luput dari pandangannya.

"Kak?" Panggil adik kelas yang menunggu Milia selesai dengan lembaran di tangannya.

Milia tersadar dari keterpanaannya. "Ya?"

"Udah selesai belum Kak? Antriannya nungguin."

Milia menyadari beberapa siswa yang sama terlambatnya berbaris di kanan tubuhnya. Maka dari itu ia melengkapi lembar itu dengan tanda tangan, lalu dengan cepat ia pergi dari lapangan. Sementara Sam masih di sana, dengan gestur yang sama. Laki – laki itu sama sekali tidak meliriknya.

Bego Mil, ngapain ngarep diliatin. Maki Milia pada dirinya sendiri.

Gadis itu pernah berada dalam situasi yang sama. Beberapa bulan lalu, mungkin? Tapi nyatanya yang ia alami hari ini adalah kebalikan dari yang pernah ia alami dulu. Mendadak Milia merasa aneh karena perubahan yang begitu mendadak, dan ia tahu penyebabnya apa. Gadis itu benci perubahan, tapi ia dipaksa memahami bahwa dunia yang sesak ini penuh dengan perubahan.

• • •

"Lama – lama gue bisa ikut depresi liat temen gue depresi. Lo tau sendiri gue udah sinting dari bawaan orok, mau gue langsung cabut ke RSJ besok?"

Milia terhentak ketika Haris mengomentarinya yang sekarang sedang duduk di perpustakaan.

"Apaan sih, lo. Minggir, gue mau belajar."

"Belajar?" Haris tertawa mengejek. "Penunggu perpustakaan juga tau dari tadi ngelamun."

Wajah Milia mendadak pias.

"Dari tadi tuh, merhatiin lo."

"Ris, jangan mulai." Milia mulai takut sekarang.

Haris menyeringai. "Beneran, kayanya mau ngikut kalo lo pulang."

"Haris!!"

Haris tergelak, lalu duduk di hadapan Milia. Ia memperhatikan buku matematika yang sedang dihadapi gadis itu. Bukannya penuh dengan coretan hitungan angka, justru yang mendominasi adalah gambar abstrak warna warni dari stabilo.

Laki – laki iru berdecak, lalu menutup buku Milia secara paksa, membuat pemiliknya menilik matanya heran.

"Kalo nggak niat belajar nggak usah belajar, berat – beratin otak doang. Ayo jajan."

Baru saja Haris hendak menarik tangan gadis itu paksa dan membawanya ke kantin, Milia menahannya. Tapi Haris berhasil memaksanya lagi untuk berdiri dan mengikutinya ke kantin. Sesampainya di kantin, Haris memesan tiga posi bakso dan memilih tempat duduk agak ke tengah.

Beruntung kantin cukup sepi karena kelas 11 sedang study tour, jadi Haris tidak perlu menghadapi drama Milia yang malas ke kantin karena semrawut.

"Kenapa pesen tiga?" Tanya Milia ketika mereka sudah duduk.

"Biar kalo lo mau nambah jadi nggak usah nunggu."

Milia merengut. "Lo kira gue babon? Makan gue nggak semaruk itu juga kali."

"Lo belum sarapan. Nggak usah bohong dan nggak usah bantah lagi."

Lalu Haris diam dan duduk tenang sambil mengecek ponselnya. Kalau begini Haris jadi mirip Papanya. Bukan sifat sedengnya yang terlihat, namun otoriter yang mengandung unsur perhatian. Ketika pesanan mereka datang, Haris mengangsurkan dua mangkok bakso untuk Milia dan satu mangkok untuknya.

Selama mereka makan, tidak ada yang aneh. Sampai Sam dan beberapa temannya memasuki kantin dengan gelak tawa. Laki – laki itu tentu tidak menyadari keberadaan Milia dan Haris, tapi Milia tidak mempermasalahkan itu. Pagi tadi ia sudah mengalami hal serupa dan nyatanya sekarang ia baik – baik saja.

Yang mengganggunya sekarang justru omongan keempat perempuan yang duduk di sebelah mejanya dan Haris. Milia tidak memperhatikan siapa saja, karena yang ia dengar hanya suara mereka di belakangnya, yang juga menyadari kehadiran Sam.

"Eh, denger – denger si Sam itu udah punya pacar."

"Masa iya?'

"Hih ketinggalan berita lo. Udah lama kali, nongol mulu di ignya dia."

"Siapa emang pacarnya?"

"Nggak tau. Bukan anak sini sih, gue taunya. Cakepnya beuhhh, gila. Badai abis, blasteran gitu."

"Bukannya dia deket sama anak sini ya? Tau – tau dapetnya lain orang."

"Halah. Cuma ceng – cengan doang. Udah kelar paling sama anak sini itu."

Hati Milia mencelos. Dia cukup merasa tertohok dibicarakan di belakangnya dan dia dengar secara langsung seperti ini. Haris yang menyadari perubahan air muka Milia dan apa yang terjadi, segera menghabiskan makanannya dan mengelap mulutnya cepat dengan tisu.

"Cepet habisin semuanya, atau gue pake buat siram mak lampir di belakang lo itu."

Lalu Haris menyerongkan badannya untuk melihat empat perempuan yang sempat membuat bulu kuduk Milia meremang. Dengan seringai jahilnya, Haris nimbrung begitu saja. "Mbak mbak, itu mulut pake oli yang dipake Rossi juga yah? Kedengeran licin banget gosipnya. Jadi pengen kursus gosip saya."

Yang terjadi selanjutnya adalah Haris dijudesin empat perempuan itu.

• • •


A/N

Aku kira 600 karakter cukup untuk part yang aku bilang pendek ituuuhhh. Karena part – part awal juga segituuhhhh. Begituuuhhhh. Tapi tetep jatuhnya 800-an karakter. Ah bodo, bukan ini maksud aku bikin author's note.

Jadi karena semakin dekat dengan ending, MUNGKIN akan selesai sampai part 50. Dann, part 49 dan 50 bakal lebih panjang dari biasanya (Haha, awal bikin cerita partnya seiprit padahal). Jadi udah, gitu aja. Entah kenapa bukan cuma ceritanya yang ampas, author's notenya juga ampas.

Ah, bodo.

Babay.

Salam ampas,

Fad. 

Super MiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang