"All alone I watch you watch her. She is the only thing you ever see. How is it you never notice that you are slowly killing me?"
(I hate you I love you – Gnash ft. Olivia O'brien)• • •
Disa menguap berkali – kali lalu ia melirik teman sebangkunya yang membenahi buku catatannya tanpa minat. "Kucel amat wajah lo. Cari es yuk biar seger."
Milia menatap Disa lalu menggeleng. Bibirnya terkatup rapat dan ia begitu malas bicara.
"Abis ini jam kosong, Mil. Nggak usah badmood duluan gitu napa."
Milia menghentikan gerakannya, lalu balik menatap Disa lagi. "Kecuali lo mau minta tambahan materi buat ujian nasional, ya silakan. Gue turut menyemangati sambil makan gorengan di kantin."
"Ada apa jam kosong?"
"Lo nggak tau?" Disa memasang wajah bingung. "Hari ini kan penyerahan jabatan ketua OSIS ke anggotanya yang baru. Udah hampir musim TO kan?"
Berarti...
"Sam nggak ngasih tau lo?"
Kalau saja Disa tahu, Milia tersenyum miring dalam hati meremehkan dirinya sendiri. "Jam berapa?" Tanyanya mengalihkan topik.
"Lima belas menit lagi sih. Masih cukup kalo lo mau makan dulu sebelum nonton acaranya di aula."
Bukannya mengikuti apa yang Disa sarankan, Milia justru menempelkan pundaknya pada sandaran kursi. Membuka ponsel dan memainkannya seolah tak berniat melakukan apa – apa setelah ini. Disa yang jadi bingung sekarang, "Gue kira lo bakal excited nonton Sam pidato nanti."
"Hmm,"
"Hem doang? Lo kenapa sih kaya nggak peduli gitu?" Disa mengomel dan membuat telinga Milia gatal.
"Nggak peduli bagian mananya?"
"Au ah."
Milia tahu betul kalau sejak awal Disa mendukungnya penuh dengan Sam. Ia juga mengerti kenapa Disa malah uring – uringan sendiri melihat perubahan sikapnya. Tapi Milia tidak memberi tahu temannya itu kalau ia juga perlu ... menjauh. Mungkin belum.
Akhirnya Milia menghela nafas pendek dan tersenyum. "Duluan sana sama anak – anak kelasan. Ntar gue nyusul ke aula."
"Awas ya lo, gue siapin tempat duduk di sebelah gue."
Milia mengangguk, lalu Disa pergi keluar kelas dan membaur dengan sekelompok temannya di luar sana yang penasaran dengan calon – calon anggota OSIS yang baru.
Pada kenyataannya Milia berbohong. Ia tidak benar – benar pergi ke aula setelah beralibi melakukan apapun itu sebelum menyusul Disa. Justru ketika ia keluar dari kelas, langkah kakinya terarah pada perpustakaan yang pada saat – saat seperti ini sedang sepi sepinya. Ia melangkah masuk dan menyapa petugas di sana, memilih tempat duduk di pojok dan menyamankan diri.
Tujuannya kesini bukan untuk membaca buku, tapi hanya mencari tempat yang nyaman dan sepi saja. Maka dari itu Milia mengeluarkan ponsel dan earphone dari sakunya. Ia menyumpal kedua telingnya dengan earphone itu sambil menumpukan kepala di atas meja. Sampai ia tidak sadar bahwa dirinya telah masuk ke alam antah berantah bernama mimpi.
• • •
Milia terbangun ketika suara gaduh anak – anak di luar perpustakaan mengusik telinganya. Sumpalan earphonenya sudah terjuntai ke bawah karena pergerakan tidurnya. Gadis itu merasakan pusing sesaat, lalu ia mengerjapkan matanya. Satu jam lamanya ia tertidur di tempat ini, cukup lama hingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi.
Dalam perjalanannya, Milia melihat lalu lalang siswa yang berasal dari aula. Mungkin acaranya udah selesai, pikirnya. Gadis itu bisa menghembuskan nafas lega, setidaknya bila penyerahan jabatan selesai dan semua siswa diperbolehkan pulang, ia tidak perlu berlama – lama lagi di sekolah. Ia tidak perlu bersusah payah menghindari sesuatu yang ingin ia hindari.
Setelah ketua kelasnya menginformasikan bahwa mereka boleh pulang, Milia segera mengaitkan tali tasnya dan berjalan dengan cepat keluar. Ia tidak mungkin berlama – lama sampai Disa datang dan mengomelinya karena berbohong.
Tapi semuanya tidak semudah yang Milia rencanakan. Boleh saja ia menghindar, tapi dari tempatnya berdiri sekarang ia merasa seolah semua objek di sekitarnya menyerukan kebodohannya.
Dengan jelas ia bisa melihat Ana tersenyum cerah begitu Sam baru keluar dari gerbang sekolah. Tanpa ragu gadis itu memeluk Sam, atau mungkin bila mata Milia lebih jeli melihatnya dari kejauhan, bibirnya menempel sekilas pada pipi Sam.
Perlu sampai segitunya? Batin Milia bersungut, tapi ia buru – buru mengenyahkannya.
Bisa Milia lihat betapa Sam begitu tulus membalas senyum Ana. Meskipun tangannya tak menyentuh tubuh Ana untuk membalas pelukan, setidaknya ia sama sekali tidak menolak dipeluk seperti tadi.
Yang kemarin malam ketika Sam bertandang ke taman kompleknya hanyalah tindakan cowok itu sebagai teman. Apa yang dulu – dulu pernah mereka lalui juga semata – mata karena mereka teman. Milia masih belajar untuk mengerti itu. Sekalipun ia pernah sedikit merasa istimewa dalam hidup cowok itu. Sedikit sekali. Salahkan dia juga karena terlalu terbawa perasaan.
Gue boleh cemburu nggak sih?
Boleh nggak sih?
Boleh sakit hati nggak sih?
Milia meremas sisi roknya. Sesuatu terasa menggumpal di tenggorokan dan membuatnya merasakan sakit. Ketika Sam mengedarkan pandangannya, Milia segera mengalihkan pandangannya secepat yang ia bisa demi tidak terlihat oleh cowok itu ataupun Ana.
Lalu setelah dirasa aman, ia melihat dua orang itu lagi. Dengan bodohnya menikmati rasa sakit yang menjalar dalam dirinya.
"Nih, kalau mau peluk gue aja."
Tiba – tiba Haris muncul dan bergumam di sampingnya, membuat Milia tersentak.
"Kenapa? Masih kuat ngeliatin mereka?" Ucap cowok itu lagi.
Milia tidak menanggapi apa – apa dan Haris cukup pintar untuk mengerti. Maka dari itu cowok itu menggenggam pergelangan tangannya dan membawanya pergi dari sana. "Udah ah ayo cabut. Ntar gue beliin es krim."
• • •