"Terima kasih."
• • •
Milia melangkah dengan senyum mengembang di sepanjang koridor kelas 12. Kedua tangannya memegang kotak makan berisi makan siang yang rencananya akan ia berikan pada Sam. Sudah cukup waktu itu makan siangnya berakhir di tangan Dana, kali ini Milia akan memastikan buatannya sampai pada orang yang semestinya.
Kamasean Samuel sudah dapat ia lihat begitu kakinya menapaki lantai kantin. Rasanya senang mengingat kejadian semalam dimana dengan sederhananya cowok itu membuatnya merasa seolah dia adalah ‘segalanya’. Pada akhirnya ia bisa merasakan kemenangan di atas Ana meskipun hanya sebentar. Cowok itu juga berjanji mereka akan pulang bersama sore ini.
Sebenarnya dalam hati Milia bertanya – tanya, bolehkah ia berharap?
“Hei,” Sapa Milia ketika sudah sampai di meja cowok itu dan Sam membalasnya dengan senyuman.
Milia belum bisa mengumpulkan keberanian, maka dari itu ia menyimpan kotak makannya di atas pangkuannya. Mungkin nanti, pikirnya.
“Lo mau pesan apa?” Tanya Sam, tapi belum sempat Milia menjawab, ponsel Sam bergetar.
“Halo?”
“...”
“Sebentar, ini siapa?”
“...”
“Dimana dia sekarang?”
Milia mengernyit mendengar percakapan antara Sam dengan entah siapapun itu di seberang sana.
“...”
“Saya akan kesana secepatnya.”
Sam menutup sambungan telepon dengan wajah gelisah. Milia tidak tahan untuk tidak bertanya. “Siapa?”
“Rumah sakit.” Jawab cowok itu lesu.
“Rumah sakit nelfon lo?”
“Ana kecelakaan.”
Milia menahan nafasnya. Secara impulsif ia meletakkan kotak makannya, lalu berdiri. “Lo harus kesana sekarang.”
“Gimana caranya? Nggak semudah itu gue bisa keluar dari sekolah.”
“Kenapa lo nggak bilang aja kalau ada keluarga yang mendadak masuk rumah sakit?”
“Gue punya bukti apa Mil?” Sam tampak frustasi.
Milia memejamkan matanya sekilas, lalu ia menghembuskan nafas kasar. Detik berikutnya ia membuka mata dan menggenggam tangan Sam secara paksa. “Ikut gue.” Milia membawa cowok itu keluar dari kantin, meninggalkan kotak makannya yang sudah tidak Milia pikirkan lagi kesusah payahannya akan berakhir seperti apa.
Mereka berdua sampai di lorong sempit yang Sam tidak tahu ada tempat seperti ini selama hampir tiga tahun di SMA. “Make sure you bring your wallet.” Peringat Milia.
“Maksud lo?” Tanya Samuel tidak mengerti.
"Kalau minta izin BP terlalu ribet, lo harus pergi lewat sini." Milia menunjuk pagar yang agak tinggi di ujung lorong itu. “Di balik pagar ini udah nyambung ke jalan raya, jadi lo bisa pergi.”
Sam semakin tampak bingung. Menghadapi Milia, si perempuan nekat dan membayangkan Ana sendirian tanpa siapapun di rumah sakit bukanlah hal yang ia mau. “Mil..”
Milia menaikkan suaranya. “Persetan sama jabatan lo sebagai ketua OSIS, persetan sama disiplin, Ana butuh lo Sam. Do it like a gentleman..” Milia menarik nafas, “...for her.”
“Cepetan pergi. Gue jamin nggak akan ada masalah di sini karena lo bolos.”
Setelah Milia meyakinkannya, Sam ingin memastikan sekali lagi apakah tindakannya kali ini adalah hal yang benar. Tapi tatapan mata Milia sudah cukup meyakinkan.
Setelah Sam menghilang di balik pagar dengan memanjat susah payah, Milia menghembuskan nafas sesak. Baru saja ia melakukan hal yang paling ajaib dalam hidupnya, hal terakhir yang ingin ia lakukan dan ingin ia katakan kepada Sam. Milia patut berbangga pada dirinya sendiri karena selama mengatakan kalimat – kalimat tadi, ia terlihat baik – baik saja dan tidak ada getar sedikitpun dalam suaranya.
Jadi seperti ini rasanya mengorbankan perasaan?
Kemarin ia mati – matian merutuk karena Ana selalu punya hak atas waktu Sam. Baru setelah kejadian semalam, sekarang Milia malah dengan sukarela memberikan Sam untuk Ana.
Sebelum sempat Milia merasakan dadanya semakin perih, ia mengeluarkan ponselnya.
Milia Adisatya : Ris, Sam g bisa masuk kelas setelah ini.
Milia Adisatya : Dia di UKS, gausah cari kemana mana.
Makhluk Ganteng : Yang benar Esmeralda?
Milia Adisatya : Hmm, serah.
Makhluk Ganteng : Baiklah, akan kusampaikan pada sang guru. Selamat belajar, mwahh!
Seharusnya Milia bergidik jijik karena balasan Haris. Tapi justru ia tersenyum getir, karena pada saat – saat seperti ini seharusnya ia punya alibi untuk tersenyum.
• • •
“Ingin ku teriak... ingin kumenangis... namun air mata...”
Milia mengernyit mendengar suara itu. Suara yang sangat familiar apalagi dengan volume yang khas, membuat semua orang yang mendengar mungkin ingin menyumpal mulut orang itu. Milia menoleh ke belakang dimana suara itu berasal, lalu mendapati Haris sedang berjoget dengan earphone di telinga. Tak lama kemudian cowok itu dijitak oleh sekumpulan cewek yang terganggu dengan kelakuannya. Milia terkekeh.
“Halo, pacar Dylan.” Cowok itu tahu – tahu ada di depannya dengan senyum lebar yang khas. “Ada apa gerangan dengan rupa kau? Kusut sekali.”
Lalu Haris menyangkutkan sebelah earphonenya di telinga Milia, mengalunkan lagu dangdut yang sedari tadi ia nyanyikan.
“Ih.” Milia mencabut benda itu dari telinganya. “Gue nggak suka dangdut.”
Melihat wajah Milia yang tidak seperti biasanya, Haris mengubah ekspresi jenakanya. Tidak ada waktu becanda lagi sekarang. Tak lupa ia mematikan lagunya dan mencabut earphonenya, memasukkannya ke dalam saku celana.
“Gue tahu tadi lo bohong.” Ucap Haris, membuat Milia melayangkan tatapan padanya. “Sam nggak semudah itu sakit, dia juga nggak pernah ke UKS selama ini. Gue cuma bantuin lo bohongin guru.”
Milia diam karena sepertinya Haris masih ingin meneruskan kalimatnya.
“Lo pasti udah kenal Ana kan? Dia kecelakaan kan?”
Milia mengangguk pelan.
“Kenapa lo maksa Sam pergi?” Tanya Haris.
“She needed him.”
Haris tertawa renyah, “Ada banyak tenaga medis di rumah sakit, Milia. Lalu kalau Sam kesana, what will happen?”
“Nggak usah bohongin gue lagi kalau ini bukan karena perasaan. Nggak ada orang waras yang bisa mendorong Sam berbuat nekat. Demi apa? Demi Ana. Tapi orang yang mendorong Sam bermaksud melindungi Sam dan orang pentingnya. Naif kan?” Haris masih ingin membuka mulutnya, tapi ia bisa melihat Milia di sampingnya dengan mata terpejam. Apa yang berusaha Milia tahan?
"Maksud lo apa Ris?" Tanya Milia bingung. "Kenapa lo bahas bahas perasaan?"
Haris tersenyum miring, "Lo nggak ada perasaan sama Sam?"
Hening, Milia semakin bingung dengan apa yang diucapkan Haris.
"Jangan bohong ya, Mil. Gue tau apa yang lo pikirin."
• • •