"Setelah kusadari belum saatnya kau kumiliki biarlah mimpi kan terhenti, kau akan kucinta nanti."
(Ku Cinta Nanti – Ashira Zamita)• • •
Tadinya Haris menolak untuk mengantarkan Milia kecuali hanya untuk pulang, tapi gadis itu masih keukeuh dengan keinginannya. Sepulang dari bimbel, keduanya bertandang ke rumah sakit untuk menjenguk Ana. Bukan tanpa alasan Haris menolak permintaan Milia, tapi ia tahu betul apa yang dirasakan gadis yang sekarang membonceng di motornya.
Sebenarnya banyak orang yang tidak tahu kalau Haris bisa mengetahui apa yang ada di pikiran orang lain. Persis seperti yang pernah Milia duga, tapi gadis itu tidak memastikan dugaannya.
Haris tidak mau Milia melukai dirinya sendiri. Tidak peduli alasan yang ia gunakan untuk menjenguk Ana adalah bentuk tindakan kemanusiaan atau apalah, itu hanya alibi. Bullshit. Lagipula Haris juga heran kenapa Milia tidak mengakui perasaannya dengan terang – terangan dan dengan terang – terangan juga menunjukkan rasa tidak suka kalau Sam sekarang hanya punya waktu untuk Ana?
"Udah sampai." Ucap Haris memecah lamunan Milia. "Mikirin apa?"
"Enggak,"
Milia turun dari motor Haris, lalu menyerahkan helmnya pada cowok itu.
"Udah tau ruangannya yang mana?" Tanya Haris.
Milia menggeleng.
"Nih," Haris menyodorkan ponselnya. "Buka di note, lo pergi duluan dan bawa hapenya. Gue mau ke toilet sebentar."
Milia pergi lebih dulu. Ia menyusuri setiap lorong rumah sakit, bangunan yang pernah familiar baginya. Sambil menyocokannya dengan note Haris, akhirnya Milia sampai pada sebuah ruangan yang ia kira adalah ruangan dimana Ana dirawat. Setelah memastikan sekali lagi, Milia menjulurkan kepalanya untuk melihat dari kaca pintu siapa saja yang ada di dalam.
Karena tidak begitu jelas, akhirnya Milia masuk. Tidak benar – benar masuk dan hanya berada di ambang pintu. Seharusnya Sam ada di sini. Tapi sejauh pendengarannya berfungsi, Milia belum mendengar suara cowok itu. Justru yang ia dengar adalah lirih suara perempuan yang ia tahu adalah suara Ana. Gadis itu sudah sadar rupanya.
Beruntungnya Milia karena pintunya tidak langsung terhubung dengan badan ruangan, karena ia ingin mendengar apa yang Ana ucapkan tanpa penghuni ruangan itu menyadari kehadirannya.
"I'm sorry..." Terdengar sesenggukan, "I can't protect myself."
"It's okay.."
Sam?
"I'm sorry..." Tangisan itu terdengar semakin kencang. Yang membuat Milia bingung adalah kenapa Ana perlu merasa se-menyesal itu sedangkan keadaannya sekarang adalah bukan sepenuhnya kesalahannya.
"Seharusnya aku yang minta maaf sama kamu." Suara Sam terdengar lagi. "Bukannya dari awal aku yang harus menjaga kamu? Kecelakaan ini bukan salah kamu, An."
"Tapi daddy akan menyalahkan aku kalau dia tahu." Sesenggukan itu semakin menjadi dan sejauh yang Milia dengar, teredam oleh sesuatu. Sebuah pelukan?
"Enough. Jangan bicara seolah nggak ada siapa – siapa yang bisa kamu buat pegangan. I'll talk to him." Ucap Sam tegas.
Hening menyeruak. Tidak ada suara apapun kecuali desisan pendingin ruangan. Milia masih menunggu apa yang ia ingin dengar selanjutnya, tapi dua orang itu memilih keheningan.
Tapi apa yang Milia tunggu seharusnya tak perlu ia tunggu. Karena apa yang ia dengar selanjutnya adalah akar kehancuran baginya.
"Aku sayang sama kamu, Sam.."
Milia goyah pada pijakannya. Ingin ia segera lari dari ruangan itu, tapi tenaganya tidak cukup untuk melakukan banyak pergerakan. Ia menggenggam tali tasnya kuat – kuat dengan sebelah tangan, lalu meraih daun pintu dan keluar.
• • •
"Hai," Sapa Milia begitu Sam mengangkat teleponnya. Sekarang ia berada di balik ruangan Ana, menepis semua rasa sakit yang mencekat tenggorokannya.
"Hai, Mil. Ada apa?" Jawab Sam di seberang, yang mungkin hanya beberapa meter dari tempat Milia berada sekarang.
"Gimana keadaan Ana?"
"She's better now. Dia lagi istirahat."
"Happy to hear that."
Hening cukup lama, sampai Sam menyadarkan Milia dengan panggilannya, "Mil,"
"Ya?"
"Thanks ya."
Milia menyunggingkan senyum getir yang tidak bisa dilihat oleh Sam.
"Untuk apa?"
Sam terdengar menarik nafas sekilas. "For everything you've done."
And thanks for everything you've done, Sam, batin Milia.
"Yah.."
"Lo lagi dimana?" Tanya Samuel, membuat Milia sedikit gelagapan mencari kebohongan. Tidak mungkin ia bilang sekarang berada di lorong rumah sakit, tepat di depan ruang rawat Ana.
"Emm, gue baru selesai bimbel." Dusta Milia akhirnya. "Sama Haris."
"Wanna go home?"
"Yah.."
"Gue tutup teleponnya kalau gitu."
"Wait!" Milia setengah memekik. Ia tidak bisa mendustai dirinya sendiri kalau suara Sam via telepon cukup untuknya sekarang, setelah Ana menyatakan perasaannya secara gamblang tadi. Seharusnya Milia tidak punya hak untuk sakit hati.
Setelah lama menggantungkan kalimat, Milia harus ikhlas kehilangan cowok itu ketika panggilan akan terputus. "Kalau sempat gue akan jenguk Ana. Lo akan selalu ada di sana kan?"
Tanpa Milia sadari Haris menyaksikan semua kebohongannya. Cowok itu melipat tangan di depan dada, menatap Milia dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ia berjalan mendekat, lalu bisa meneliti dengan jelas kedua mata Milia yang dengan egoisnya menahan air mata.
"Gue udah bilang tadi, kita nggak perlu kesini." Ucap Haris yang menggerakkan tangannya kikuk, antara mengusap air mata Milia yang belum jatuh atau tidak.
"Ayo kita pulang." Milia tersenyum lebar. "Atau lo mau ngopi?"
Bukannya menjawab, Haris merangkul bahu Milia sambil berjalan santai menuju parkiran. Cowok itu tahu, mengatakan hal – hal yang melankolis disaat – saat seperti ini justru akan membuat Milia terlihat semakin menyedihkan. Biarkan gadis itu bertahan dengan sandiwaranya sendiri, toh suatu saat jika kerapuhannya sudah tidak tertolong, Haris pastikan dia ada untuk menyokong kerapuhan itu.
"Sounds good. Ayo ngopi, pacar Dylan."
• • •