BAB 15

49 6 3
                                    

"Back then I didn't know why you were misunderstood. So now I see through your eyes, all that you did was love."
(Mama - Spice Girls)

• • •

Setelah mengunjungi panti asuhan dan menghabiskan satu setengah jam untuk bimbel, Milia pergi ke rumah sakit ketika langit menggelap. Senyumnya mengembang ketika dokter memberi tahu bahwa Mamanya sudah bisa dikunjungi. Hati gadis itu menghangat ketika napas Marina nampak tenang dengan mata terpejam.

Segala bentuk rasa sesak Milia singkirkan jauh - jauh, tak mempedulikan keadaan di sekitarnya. Sebenarnya Marina sudah dipindahkan ke ruang ICU dan Milia baru tahu hari ini.

Milia menghela napas pelan sebelum mendekat. Ia meyakinkan dirinya bahwa rasa takut melihat pasien - pasien kanker lain di sekitarnya dengan kondisi mengerikan pasti akan segera hilang. Pasti, ia hanya perlu menemui Marina sebentar dan semuanya pasti baik - baik saja.

"Halo Mama ... " Sapa Milia hampir seperti bisikan. Ia menggenggam tangan dengan selang infus itu, lalu mengecupnya pelan. "Mili udah pulang."

Gadis itu tahu bahwa Mamanya seringkali kehilangan kesadaran ketika istirahat. Ia tidak mungkin kan, memaksa sepasang mata teduh itu terbuka sedikit saja demi mendengarkan ocehannya. Milia mengeluarkan kotak berukuran medium dari paper bag yang ia bawa, "Mili bawa kue buat Mama. Tapi bukanya nanti aja ya."

"Mili pengen cerita banyak sama Mama. Tapi karena Mama tidur terus, ya udah, Mili simpan dulu ceritanya." Milia tersenyum tipis. "Hari ini tepat ulang tahun Mama yang ke empat puluh, Mili berterima kasih banyak sama Mama yang udah melahirkan Mili. Merawat Mili sampai sebesar sekarang dan tumbuh dengan rasa beruntung karena punya Mama."

Milia merasakan perih di hati dan pelupuk matanya, tapi ia tetap melanjutkan.

"Mili punya teman baru yang baik, dan pernah bilang kalau Mili harus sehat dan bahagia supaya Mama juga bisa sehat dan bahagia. Sekarang Mili sehat dan merasa bahagia, Mama gimana?" Milia mengelus tangan Marina dengan ibu jarinya, dengan perasaan yakin bahwa ia sedang didengarkan.

Milia yakin bahwa Marina sedang mendengarkannya, membenarkan apa yang ia katakan. Mungkin tidak dalam ruangan yang sama. Somewhere else.

Tetapi yang sampai di telinga hanyalah angin yang tidak bersuara, dan bunyi peralatan medis yang terkadang memupuk rasa takut dalam diri Milia. Tapi, seperti yang sudah ia bilang, ia harus bahagia dengan melawan rasa takut itu.

"Nggak ada yang mau Mama lama - lama di sini." Milia mempererat genggamannya. "Mili nggak mau Mama lama - lama di sini. Mama cepat bangun, sembuh, jadi bisa pulang sama Mili dan Papa."

"Mama masih ingat kan, Mama sama Papa pernah rencanain piknik di puncak? Papa pasti juga lagi nunggu Mama sembuh biar kita jadi pergi bertiga."

Masih tidak ada jawaban dan Milia tidak pernah lelah.

Milia mengambil tangan Marina dan memerangkap tangan itu dalam genggamannya. "Karena Mama nggak mau bangun, Mili aja ya yang make a wish buat Mama."

"Semoga Mama cepat sembuh."

Lalu ia mengecup kening Marina cukup lama. Merasakan kulit pucat itu terasa dingin di bibirnya. "Selamat ulang tahun, Ma."

Berkat perkataan Samuel waktu itu, Milia berjanji pada dirinya sendiri untuk sehat demi Mamanya. Tapi kali ini ia melanggar janji itu. Tidak ada yang terasa baik - baik saja bagi Milia. Ia menoleh ke sekitar dan beberapa orang yang bernasib sama seperti Mamanya juga menimbulkan sakit yang sama dengan Milia bagi orang terdekat mereka.

Gadis itu menenggelamkan kepalanya di dekat tangan Marina, menyembunyikan wajahnya serapat yang ia bisa. Menyembunyikan tangisnya sekuat yang ia bisa. Tapi tetap saja guncangan bahunya tidak bisa berbohong.

"Nanti ... Kuenya ... Mili makan .... Ya.. Ma ..." Ucap Milia disela - sela sesenggukannya. Nahas ketika apa yang Milia bicarakan terdengar biasa saja tapi tersimpan rasa sakit mendalam di baliknya. Ia mengangkat wajah setelah sekian lama. Tercetak warna merah di wajahnya dan bekas air mata yang belum mengering.

Sebenarnya gadis itu tidak sendiri. Di ambang pintu Bagas menahan rasa ngilu di hatinya melihat pemandangan menyedihkan yang perlahan merapuhkan pertahanan dirinya.

Iya, siapa di dunia ini orangnya yang tidak mungkin rapuh?

• • •

Milia hendak pulang ketika Papanya entah dari mana berjalan di belakangnya dan memanggilnya. Segera ia mencium tangan Bagas dan meyakinkannya bahwa ia akan pulang setelah ini.

"Mili pulang Pa setelah ini, janji."

"Kamu sudah ketemu Mama?" Sahut Bagas tidak terduga.

Milia mengangguk. "Udah."

"Maaf Papa belum ngasih tahu kamu kalau Mama akhirnya masuk ICU lagi."

Milia mengangguk lemah. "Nggak papa, Pa."

"Kamu bisa istirahat di rumah juga karena jam besuk semakin singkat. Papa nggak mau kamu sakit."

Gadis itu mengangguk patuh lagi. Ada yang ingin ia tanyakan tapi tertahan di lidahnya. Ia takut kalau kalau Bagas memberikan jawaban yang unpredictable dan Milia kena marah. Dengan cepat ia menyortir lagi kata yang pas di dalam otaknya.

"Papa ... Ingat kan, kalau hari ini Mama ulang tahun?"

Bagas mematung dengan ekspresi lurus, lalu menjawab tenang. "Papa belum pernah tahu ada lelaki yang melupakan hari penting orang tercintanya."

Sekarang Milia tahu kenapa sejak Marina masuk rumah sakit, bunga yang ada di nakasnya selalu berganti setiap hari. Dan hari ini bunga itu terlihat lebih istimewa dalam buket.

Milia tersenyum simpul.

"Mau pulang sama Papa?"

• • •



Super MiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang