"Dan bukan maksudku, bukan inginku melukaimu. Sadarkah kau di sini ku pun terluka. Melupakanmu, menepikanmu, maafkan aku."
(Dan – Sheila On 7)• • •
Ketika Sam memasuki mobilnya, ia tahu Ana masih tertinggal di belakang. Gadis itu sengaja membiarkan Sam meninggalkannya terlebih dahulu karena ada barang yang masih ingin ia beli. Saat ini status mereka sudah berubah, benar – benar berubah dan bukan lagi sebatas teman masa kecil.
Mungkin bagi Ana, mengubah status seperti itu adalah hal yang mudah dilakukan. Seperti menginjakkan kaki dari satu anak tangga ke anak tangga berikutnya. Karena apa yang diharapkan dan diyakini gadis itu untuk memiliki Sam seutuhnya bukan hal yang main – main. Semuanya mudah bagi Ana.
Sementara bagi Sam semuanya masih terasa abu – abu. Ia tidak bisa mempercayai apa yang sudah diperbuatnya sendiri, ia tidak bisa memastikan apakah tindakannya benar atau tidak. Ia tidak bisa. Sam mengakui Ana cukup sempurna sebagai perempuan, ia tidak mungkin menolak Ana karena ada kekurangan pada dirinya. Tapi entah kenapa menjadikan gadis itu pacarnya membuat Sam sibuk menggeluti pikirannya sendiri.
Cowok itu kembali terlempar pada percakapannya dengan Albert sebelum hari ulang tahun Ana.
"Samuel?" Panggil Albert ketika Sam baru saja mengantarkan Ana sampai rumah.
"Ya, Om?"
"I need to talk to you. Sit down."
Sam dengan hati – hati duduk di ruang tamu dimana Albert juga duduk di sana. Ditatapnya wajah tegas pria itu dengan serius.
"Kamu tahu selama ini Ana berharap banyak pada kamu?"
Sam terdiam.
"She needs a keeper."
"Saya tahu selama ini kamu selalu menjaga Ana. Dan saya tidak buta untuk melihat seberapa besar perasaan Ana pada kamu. Dia mengharapkan kamu, itu kenyataan yang harus kamu tahu. Saya sangat menghargai usaha kamu menjaga anak saya, tapi membuat dia jatuh cinta, kamu harus bisa bersikap tegas untuk hal yang satu ini."
Sam semakin tidak mengerti arah pembicaraan ini sampai akhirnya penuturan Albert berikutnya memberinya jalan terang.
"Kalau kamu tidak bisa membalas perasaannya meskipun kamu bisa menjaganya dengan benar, saya minta kamu meninggalkan Ana."
Tidak ada cara yang bisa Sam pikirkan selain memacari Ana, membalas perasaannya. Sam tidak memilih untuk pergi meninggalkan gadis itu meskipun perasaannya masih seabu – abu ini. Ia tidak mau meninggalkan Ana bukan karena perasaannya, tapi karena Ana adalah teman masa kecil yang tidak bisa ia tinggalkan. Ia tahu Ana tidak bisa berdiri sendiri, ia tahu Ana membutuhkan pegangan, maka dari itu ia bertahan dan melakukan apapun untuk menjaga Ana tetap bersamanya.
Sekalipun keputusan yang ia pilih seperti ini adanya.
Sam merogoh ponselnya di saku, ia membuka aplikasi chat yang biasa ia gunakan. Dengan cepat tangannya menggeser kontak pertemanannya. Dua detik ia menemukan satu nama dan membuka roomchatnya, membuat cowok itu tersadar. Sudah sangat lama ia tidak mengetikkan pesan di sana. Beberapa kali kedua ibu jarinya menegak dan siap mengetikkan kalimat pada keyboard, namun ia mengurungkannya. Beberapa kali juga ia berhasil menuliskan kalimat namun dengan cepat menghapusnya lagi.
Semua jadi semakin sulit bagi Sam. Bagi perasaannya.
Namun tak lama kemudian, Ana datang membawa beberapa paper bagnya, membuka pintu mobil Sam dan masuk ke dalam. Secara refleks Sam memasukkan ponselnya pada saku celana dan melupakan semuanya.
• • •
Kafe. Hujan. Sore.
Seperti yang sudah sudah, Milia masih saja sengaja membuka instagram dan melihat apa yang dilakukan Ana dan Sam melalui stories mereka. Meskipun akhirnya selalu sama—rasa kesal dan sesak yang bercampur—namun akhirnya Milia terbiasa. Perlahan – lahan rasa kesal itu berubah menjadi kelegawaan yang memberikan Milia jalan nafas di antara kesesakannya.
Meskipun kecewa, setidaknya Milia ingat bahwa ia melepaskan Sam dengan ikhlas. Melepaskan perasaannya dengan ikhlas.
Milia bisa turut bahagia melihat Ana dan Sam walaupun tidak mudah. Dari sinilah Milia mengerti bahwa kebahagiaan bisa didapatkan dari kebahagiaan orang yang kita sayang. Ketika melihat Sam tersenyum dengan ikhlas, hati Milia menghangat karena setidaknya laki – laki itu bahagia.
Klise, tapi kenyataannya begitu.
Sesaat Milia menatap ponselnya, membuka kuncinya kembali dan mengecek LINE. Tidak ada satu pesan pun yang masuk, namun ia mengusap layar hingga kolom chat hampir terbawah. Gadis itu membuka lagi pesan dari Sam. Tersenyum pahit membaca pesan terakhirnya, apa yang mereka bahas. Memang semuanya terasa getir untuk diulas lagi, tapi Milia ingin mengingat semuanya lagi.
Dulu, di tempat ini, Sam pernah menjadi tumpuan baginya. Hari dimana Marina kehilangan kemampuan penglihatannya dan Milia takut kehilangan semuanya. Ia menangis di depan laki – laki yang bahkan belum lama dikenalnya. Sam.
Milia juga tidak bisa lupa bagaimana terpukulnya dirinya atas perginya Marina dan membuatnya sama sekali tidak berniat pergi dari makamnya. Namun Sam datang hari itu, membuatnya percaya bahwa terpuruk bukanlah satu – satunya jalan untuk melanjutkan hidupnya.
Bagaimana bisa Milia melupakan orang itu? Orang yang pernah berada dititik terendahnya dan membawanya terbang lagi? Bagaimana Milia bisa melupakan orang yang mampu membuatnya merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya?
Seharusnya Milia boleh menangis di tempat ini. Namun nyatanya ia hanya tersenyum sangat tipis mengingat semuanya. Cukup lama hingga ia merasakan ponsel di genggamannya bergetar.
"Halo?"
"Dimana lo Mil? Ini si gembel maksa – maksa ke rumah lo mau minta maaf. Pulang buruan."
Milia tahu itu suara Disa, samar – samar juga ia mendengar suara Haris yang membuat keributan.
"Iya, sebentar lagi gue otw."
"Cepetan! Keburu ni anak gue babat rambutnya terus gue usir!"
"Lah? Ngapain diusir?"
"HIIIH APAAN SIH LO!!" Terdengar pekikan Disa yang mengomeli Haris tanpa perasaan. "Kita kan mau nonton film. Ini anak mesti diusir biar resenya nggak mewabah di rumah lo."
Milia terkekeh. "Biarin aja kali, Sa. Kita nontonnya bertiga. Mau nitip apa mumpung gue di luar?"
"Nah ini nih temen teladan. Gue apa aja yang pedes sama minumnya apa aja yang penting coklat. Lo mau ap—HEH! SINI LO! KEMBALIIN SENDAL GUE!!!"
Berikutnya yang Milia dengar adalah teriakan Disa memaki – maki Haris karena sendalnya dipakai oleh cowok itu. Milia segera bangkit dari kursinya, lalu pergi dari tempat yang mengundangnya pada bias rasa kecewa. Belasan kilometer jaraknya kedua temannya menunggunya dan siap membuatnya tersenyum kapanpun.
• • •
A/N
*tarik nafaaaaas*
Akhirnya beberapa part lagi menuju ending, hahahaha. Karena sempat ngestuck lama dan akhirnya cerita ini aku kebut lagi, mon maap kalo misalnya feelnya berantakan ato apalah terserah. Mungkin nih ya, mungkin part – part setelah ini akan jadi super pendek – pendek kaya part – part awal cerita ini. Tapi tidak menutup kemungkinan akan ada part yang panjang juga sih. Dannnnn terima kasih sudah membaca Super Milia sejauh ini.
Salam sayang udah ada yang punya,
Fad.