BAB 10

61 8 7
                                    

"Aku bertanya pada senja jatuh cinta itu seperti apa. Lalu kamu datang sebagai bulan yang merambat pelan."

• • •

Betapa kerennya Disa ketika mulutnya sibuk berbicara kesana kemari, tangannya mencatat materi pelajaran matematika, dan akhirnya nanti Milia yakin gadis itu mengerti apa yang ia catat secara runtut dari awal sampai akhir. Keren kan? Sampai - sampai Milia merasa tidak perlu bersyukur punya sahabat seperti itu karena telinganya sudah pengang.

"I don't flirt I don't flirt your ass. Jones aja kebanyakan gaya lo." Bisik Disa bernada cacian sementara Milia sibuk memindah tulisan dari papan tulis ke bukunya.

"Terserah."

"Gue cuma ngingetin sih, ya. Ntar lo kemakan omongan sendiri."

"Terserah."

"Ih, dibilangin orang diperhatiin sedikit kek. Lo tuh, ya."

"Terserah."

Kemudian guru matematika di depan berbalik badan. Beliau mengembalikan spidol ke dalam gelasnya setelah mencatat lalu meneliti satu - satu wajah anak didiknya dengan tatapan horor. "Siapa yang mau maju mengerjakan?"

Sebagian siswa berubah berwajah pias--ini termasuk golongan Milia, dan yang lainnya masih berwajah santai--ini golongan Disa. Sampai hitungan puluhan detik lamanya, sudah pasti guru satu itu akan menunjuk murid secara paksa.

"Tidak ada?"

Tuh, kan.

Milia mengorek isi kotak pensilnya, bersandiwara sebaik mungkin dengan sibuk mencari alat tulis lalu mencerna baik - baik rumus dalam catatannya. Setidaknya kalau ia tidak selamat lantaran dipaksa maju, ia punya sedikit nyali untuk merancang jawaban.

Mata intens guru itu masih berkeliling, lalu berhenti pada satu objek di sudut ruangan. "Reno, kerjakan soal di depan."

Milia menghembuskan napas lega. Lalu tatapan matanya beralih pada Disa di sampingnya. "Jangan kebanyakan ngomong apa! Ntar gue yang kena!" Omel gadis itu.

Disa tampak tidak peduli dengan omelan itu. "Berani taruhan? Lo bakal jatuh cinta sama dia."

"Terserah."

• • •

Pelajaran hari itu selesai dengan penuh kedamaian, membuat Milia sedikit tersenyum sambil memasukkan buku - bukunya ke dalam tas. Ia tidak lagi mempermasalahkan beberapa nilai ulangan yang anjlok diawal semester atau poin yang sulit ia kendalikan sendiri. Hari ini, ia bersyukur karena bisa melewati semuanya. Bukankah seperti itu seharusnya? Nafas yang kita hirup adalah lantunan rasa syukur yang tidak terputus.

Belum selesai dengan pikiran adem ayemnya, Calissa mendatangi meja Milia setelah mengibaskan rambut dua kali selama perjalanannya. Kalau Milia tidak salah hitung. "Eh, Milia."

Super MiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang