"How can i leave you when you're everything i always need?"
• • •
Ketika Samuel melangkahkan kakinya ke pelataran rumah Ana, ia disambut oleh pria berjas hitam yang baru keluar dari rumah. Dia Albert, ayah Ana yang mungkin akan pergi ke suatu tempat.
"Samuel, bagaimana kabar kamu?" Sapanya dengan sorot mata yang tidak mencerminkan keramahan. Tapi Samuel pura - pura tidak tahu.
"Baik, Om."
"Ana yang minta kamu kesini?" Selidiknya.
"Iya Om."
"Dia ada di dalam."
Lalu tanpa basa - basi berpamitan, Albert melangkah menuju mobilnya yang sudah terparkir di luar pagar. Ia melajukannya segera dan pergi meninggalkan Samuel yang masih menerka ada apa dengan Ana.
Laki - laki itu melangkah ke dalam rumah, disambut lagi oleh seorang asisten rumah tangga yang mengatakan bahwa Ana ada di kamarnya di lantai dua. Maka dari itu Samuel segera ke atas, ia sudah tau tipikal gadis satu ini yang suka sekali mengunci dirinya di kamar ketika keadaan di luar menekannya.
Samuel mengetuk pintu kamar bercat putih itu, lalu memanggil nama Ana beberapa kali sampai daun pintu terputar. Gadis itu muncul dari balik pintu dengan mata memerah dan detik berikutnya ia menghambur ke pelukan Samuel. "Aku butuh kamu.." Ucapnya lirih.
"Aku di sini, An."
"Jangan pergi.."
"Aku nggak pergi kemana - mana." Samuel bisa merasakan seragam bagian depannya basah karena air mata.
• • •
Tidak lebih dari satu jam sampai Ana berhenti menangis. Kini dirinya dan Samuel sedang duduk di ruang keluarga. Samuel menyodorkan air putih ke arahnya, lalu Ana menerima dan meminumnya.
"Kenapa?" Tanya Samuel langsung pada intinya.
"Aku bertengkar lagi sama Daddy.." Ana mengelap sisa air matanya. "Daddy marah karena aku mengungkit masalah perceraiannya dengan Mommy."
"Aku capek, Sam. Aku nggak bisa terus - terusan nurutin egonya Daddy. Daddy bukan lagi maksa aku untuk pergi ke Paris, tapi aku dipaksa menerima calon istri barunya. Aku nggak bisa, Sam."
"Di sisi lain aku pengin sama Mommy, tapi setelah aku memutuskan untuk nurut pindah ke Paris waktu itu, Mommy nggak pernah nyariin aku lagi."
"Aku nggak kuat begini terus, Sam. Aku nggak mau punya ibu tiri."
Samuel merelakan pelukannya dijadikan sandaran lagi oleh gadis itu. Perlahan tangan kanannya mengusap punggungnya, demi dia tidak menangis lagi. Dengan itu Ana tidak perlu merasa sendiri, tergilas oleh masalahnya sendiri.
"Gimana kalau Mommy udah nggak menganggap aku anaknya lagi?"
"Ssshh...." Samuel menghentikan gerakan tangannya. "Nggak mungkin ada ibu yang melupakan anaknya. Kamu cuma terlalu emosi Ana."
"Sam..." Ana mengeratkan pelukannya, tangisannya keluar lagi, kali ini lebih nelangsa.
"Kamu bisa jalanin semuanya. Terima ibu tiri kamu sebagai orang baik, if your daddy finally marry her someday. Kamu cuma kurang membuka diri."
"But i feel so lonely."
"It's okay. Nobody is leaving you. Afterall, at least you have..." Samuel menarik napas. "...me."
• • •
Milia tidak tahu apa yang membawanya kemari, tapi begitu ia berpisah dengan Samuel karena batal nonton bareng, ia tidak berniat langsung pulang. Kini dia berada di kafe dekat rumah sakit dimana Marina pernah dirawat. Entah kenapa tempat itu memiliki magnet tersendiri yang membuat Milia terbiasa untuk singgah.
Gadis itu mencium aroma kopinya, merasakan tenang sesaat. Kalau dulu tempat ini menjadi bagian dari penantiannya pada pengobatan Marina, tapi sekarang yang tersisa hanya kenangan. Potongan memori yang tersebar dimana - mana tentang Mamanya memang belum terkumpul sempurna, terlalu banyak.
Pada akhirnya ikhlas mengantarkan kita pada ketenangan, bukan?
Selalu setiap malam Milia berdoa untuk Mamanya dan setelah itu, entah Marina mendengar atau tidak, ia mengatakan bahwa semuanya baik - baik saja. Betapa ia juga ingin tahu bagaimana keadaan Marina. Ia percaya Tuhan selalu berbaik hati pada orang baik seperti Mamanya, memberikannya kasih sayang dan tempat ternyaman di sisi-Nya.
Ketika Milia sedang menikmati suasana melankolis dalam dirinya, seorang laki - laki tiba - tiba duduk di depannya dengan membawa secangkir kopi, ah bukan, sepertinya coklat.
"Hehe," Dia cengengesan begitu menduduki kursinya. "Gue duduk di sini ya?"
Padahal dia sudah duduk di sana, buat apa tanya. Jadi Milia hanya mengangguk kikuk.
"Widihhh, kopi. Lambung gue udah soak jadi nggak bisa minum gituan." Laki - laki itu tanpa malu - malu berkata demikian. Milia mengernyit bingung.
"Kenalin, nama gue Haris." Laki - laki itu mengulurkan tangannya.
Walaupun ragu, Milia menyambut tangan itu. "Milia."
"Pacarnya Dilan?"
Milia mengernyit lagi. Dia mau ngelawak?
"Milia pakai 'i' bukan 'e'." Tegasnya.
"Oh.. kuping gue juga agak soak. Sorry."
Nggak lucu.
"Kayanya gue pernah liat lo. Tapi dimana ya?" Tanya Haris, "Mbak - mbak laundry kan lo?"
Milia melebarkan matanya. Tidak menyangka se-pasaran itu mukanya. Tapi akibat perkataan Haris ia juga berpikir. Sepertinya ia tidak asing dengan wajah di depannya. Tapi semakin berusaha diingat ia semakin lupa.
"Ngaco. Eh, tapi, kita satu sekolah nggak sih?" Tanya Milia.
"Lah, nggak tau." Haris tampak berpikir. "Tapi kayanya gue pernah liat lo di sekolah. Apa mata gue aja yang salah?"
"SMA Pancasila?"
Haris melebarkan matanya yang berbinar. "Iya. Wah dunia sempit banget."
Sudah Milia duga. Wajah di depannya ini kalau tidak salah sering nampang di koridor.
"Jangan - jangan kita satu turunan juga?" Tanya Haris lagi.
"Ngaco."
"Kok ngaco? Kan bener turunannya Nabi Adam."
• • •