"Disadari atau tidak, kita berada di persimpangan yang berbeda. Tidak pernah searah."
• • •
Begitu bel istirahat berbunyi, Milia tanpa pamit pergi ke perpustakaan dengan dua buku catatan dan bolpoin di sakunya. Disa sempat bingung dengan kelakuan sahabatnya belakangan ini. Disaat semua orang sibuk mengisi perut di kantin dia justru pergi ke tempat yang sebelumnya dia hindari. Contohnya seperti sekarang.
Disa hanya khawatir kalau ada masalah atau apa. Milia jadi jauh lebih rajin belakangan ini, lebih sering menyendiri dan membaca buku, catatannya pun lebih lengkap daripada Disa. Beberapa minggu yang lalu Milia tidak mungkin seperti sekarang. Bukan apa - apa, hanya karena takut Disa sempat beberapa kali mencari kontak tukang ruqyah handal.
Di sisi lain, Milia berjalan di antara rak buku dan mengambil beberapa yang sedang ia cari. Setelah itu ia mencatat materi yang ada di dalamnya, sambil duduk di salah satu sudut ruangan.
Selama ini gadis itu sudah melewatkan banyak hak, menyepelekan pelajaran dan imbasnya ia rasakan sekarang. Belum pernah Bu Rosma memanggilnya langsung ke ruangannya dengan pemberitahuan nilai turun, tapi sekali itu terjadi, Milia langsung down. Memang benar Papanya tidak marah, tapi ia tidak bisa menjamin Papanya tidak kecewa.
Disaat Milia sedang tenggelam dengan bukunya seseorang mengetuk mejanya dan begitu Milia mendongak, ia tersenyum manis.
"Hai," Sapa Milia.
Samuel duduk di seberangnya, lalu melirik buku yang Milia tekuni dari tadi. "Udah siap ujian nih bau - baunya."
Milia tertawa renyah. Samuel hanya tidak tahu seberapa depresinya dia memikirkan ujian yang dianggap menakutkan itu.
Seketika Milia sadar, ada yang ingin dia tanyakan ketika Samuel ada di sini. Tapi pertanyaan itu masih mengambang di ujung lidahnya, ragu apakah ia perlu menanyakannya atau tidak.
"Sam," Milia menutup bukunya. Fokusnya hanya tertuju pada laki - laki di depannya sekarang. "Yang kemarin itu siapa?"
Samuel menekuk alisnya sebentar, lalu berusaha mengingat. Milia menggigit bibir, apakah pertanyaannya salah? Ia tidak punya obligasi apapun untuk tahu siapa saja yang mungkin ada di hidup Samuel. Tapi ketika laki - laki itu tersenyum kecil sebelum menjawab, Milia merasa lega.
"Maksud lo Ana? Dia teman gue dari kecil."
Itu saja?
"Sempat pindah ke Paris karena orang tuanya cerai dua tahun yang lalu." Samuel tampak sedang mengenang, matanya menerawang jauh. "Kita sempat pisah selama dua tahun itu dan rasanya ada yang renggang antara gue dan Ana."
"Tapi begitu dia balik lagi ke Indonesia, dia selalu cari teman masa kecilnya, gue. Pertemanan kita nggak pernah berubah."
Ada sedikit rasa lega ketika Samuel mengatakan bahwa Ana adalah teman masa kecilnya. See? Hanya teman. Milia hanya perlu mengesampingkan asumsi anehnya ketika mengingat seberapa agresifnya Ana menggamit lengan Samuel waktu itu.
"Dia sekolah di Indonesia lagi kan?" Tanya Milia.
"Iya, tapi yang jelas bukan di sini."