BAB 23

39 4 1
                                    

"Biarlah kusimpan sampai nanti aku kan ada di sana. Tenanglah dirimu dalam kedamaian."
(Mengenangmu - Kerispatih)

• • •

"Mama tidak bisa menjanjikan apapun untuk kamu, dan Mama harap kamu tidak kecewa. Kehadiran kamu sejak dulu di hidup Mama dan Papa adalah sebuah anugerah yang Mama janjikan akan terus Mama jaga. Itu saja."

"Ketika kamu mendengarkan ini, Mama nggak mau kamu sedih, Mama nggak suka lihat kamu sedih."

"Mama sangat ingin berterima kasih sama kamu karena di ujung kesempatan yang kita punya, kamu dan Papa selalu ada buat Mama, membuat Mama percaya bahwa kebahagian selalu melingkupi kita bertiga. Membuat Mama sangat bersyukur karena setidaknya Mama tidak sendirian."

Kedua kaki Milia lemas, perlahan matanya memanas dan mengeluarkan cairan bening yang entah sudah sejak kapan.

"Mama takut kamu kecewa karena kamu tidak bisa memiliki seorang ibu yang sama seperti gadis lain seusia kamu. Tapi bagaimanapun Mama percaya kamu tidak akan berpikiran seperti itu. Mama tahu kamu sayang sama Mama."

"Tapi kamu harus tahu sayang, sampai kapanpun kamu bisa menyayangi Mama. Tidak perlu Mama ada di sisi kamu, kamu masih bisa terus menyayangi Mama."

Air mata di pipi Milia tidak bisa ditahan lagi. Papanya hanya bisa menggenggam sebelah tangannya menguatkan.

"Mama harus pergi."

"Mungkin berat untuk kamu, tapi juga berat untuk Mama dan Papa. Tidak ada yang menyukai perpisahan, sayang. Tapi kenyataannya ini adalah keputusan Tuhan yang tidak bisa kita tentang."

"Mama bangga sama kamu yang selalu yakin dan percaya bahwa Mama akan sembuh dan bisa terus bersama kamu. Tapi maaf, sayang, Mama membuat kamu kecewa karena tidak cukup kuat untuk bertahan. Maaf karena Mama tidak bisa bergantung pada kemungkinan kecil yang bisa menolong Mama."

"Jangan menangis, meskipun Mama tahu kamu terluka."

Milia menengadahkan kepalanya, mencari udara karena sesak di dadanya tidak bisa ditahan. Ia menoleh ke arah Papanya dengan mata sembab "Papa ini maksudnya apa?" Tapi hanya diam yang ia terima.

"Mama tidak akan pergi jauh dari kamu. Mama akan selalu ada. Berdoa untuk Mama ketika suatu saat nanti kamu kangen sama Mama. Mama tidak pernah pergi dari samping kamu karena Mama juga sebenarnya tidak ikhlas kehilangan kamu."

"Jangan pernah membenci takdir yang sudah terjadi. Kamu akan selalu baik - baik saja dan doakan Mama agar selalu baik - baik saja."

"Mama akan selalu mendengarkan kamu. Sekali lagi jangan sedih, karena perpisahan kita hanya untuk sementara. Kita akan bertemu lagi suatu hari nanti, Mama janji akan menunggu kamu."

Milia terisak. Ia sangat tidak baik - baik saja dan ingin sekarang juga menerobos ruang operasi dan mencari jawaban. Tapi ia terlalu lemas dan tak berdaya di tempat duduknya. Tangannya bergetar semakin hebat.

"Mama pamit ya, sayang. Tetaplah jadi anak Mama yang mampu bersinar seperti bintang di angkasa. Mama akan selalu merindukan kamu."

Tepat setelah tape recorder itu tak lagi mengeluarkan suara, seorang dokter keluar dari ruang oeprasi seraya melepaskan maskernya. Ia berjalan menghampiri Bagas yang sudah berdiri sejak dokter itu keluar dari ruangan. Milia terperangah melihat keduanya.

Dokter itu menunduk di depan Bagas, "Kami memohon maaf yang sedalam - dalamnya."

• • •

Milia merasakan migrain yang luar biasa ketika matanya begitu terasa perih. Ia terlalu lama mengeluarkan air mata hingga yamg tersisa hanya rasa perih yang menjalar sampai ke dasar hatinya. Gadis itu mengelap sisa air matanya ke ujung bed cover, dengan bersimpuh tak berdaya di lantai.

"Mili! Bangun! Jam berapa ini?!"

Gadis yang dipanggil itu justru mengeratkan pelukan pada selimutnya dan kembali mencari posisi nyaman.

"Bandelnya masyaallah! Bangun! Awas kamu dapat peringatan terlambat lagi. Mama nggak mau ngurusin ya!"

Milia menegakkan punggungnya dengan mata setengah terbuka, lalu ia menguap dan berusaha meneliti keadaan sekitarnya dengan tatapan malas. Sungguh, dalam dua detik ia bisa hanyut dalam mimpi lagi bila disuruh.

"Ma, ini jam berapa?" Tanyanya dengan malas.

"Tujuh kurang sepuluh. Kaget nggak kamu?"

Milia melebarkan matanya seketika, lalu ia melompat dari tempat tidur sambil mencepol rambutnya asal. Dengan kecepatan lari maksimal ia melesat ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi, ia bisa mendengar suara dari luar terdengar lebih menggelegar.

"Miliii! Kamu semalam marathon film?! Udah Mama bilangin jangan keseringan mantengin layar laptop!" Jeda sebentar. "Ini juga, charger nggak dilepas semaleman. Mama nggak mau nanggung kalau barang kamu rusak!!"

"Cepat mandinya! Turun sarapan!"

"Iya Ma, iya.."

Air mata kembali turun dengan derasnya. Milia tak peduli lagi ngilu yang menjamah kepalanya karena terlalu lama menangis. Siapa yang peduli dengan tangisan itu, sedangkan yang ditangisi adalah hal yang sangat ingin Milia raih kembali.

Ia rindu suara itu, ia rindu wajah itu, ia rindu kasing sayang itu. Ia rindu semuanya yang terpaksa pergi. Padahal ia belum sempat mengatakan apa - apa, tapi kepergian yang tiba - tiba baginya membuatnya merasa tidak diperlakukan secara adil oleh takdir. Bagaimana ia bisa mempercayai takdir?

Tiba - tiba pintu kamar terbuka. Bagas masuk dan mengelus kepala Milia dengan lembut. Ia berkata lirih, "Ayo turun, Mili. Mama akan segera diberangkatkan."

• • •








Super MiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang