"Adalah kamu, yang hadir ketika dunia terasa runtuh, dan membuatku selalu butuh. Tapi sialnya bersama adalah kata yang maya."
• • •
Samuel : Milia?
Milia menekan kembali tombol lock pada ponselnya, lalu mengembalikan benda itu ke dalam saku dengan lesu. Saat ini ia tidak berminat membalas pesan LINE Samuel karena ia yakin cowok itu hanya memastikan kontak Milia benar adanya. Setelah menunggu berjam - jam, Milia tidak menemukan tanda dokter akan mengizinkannya memasuki ruangan Marina.
Tidak semenjak kejadian dimana Milia mendapati Marina kehilangan kemampuan melihatnya dan keadaannya semakin memburuk.
Apa yang bisa Milia lakukan?
Sementara di sisi lain Bagas akan memastikan Marina segera dioperasi. Bukan jalan yang mudah bagi Marina, tapi nyatanya keadaan yang sudah ada begitu mencekik dan memaksa. Bahkan Bagas tidak mempedulikan bagaimana resikonya. Seolah sudah tidak ada jalan lain.
Milia menghela napas kecil. Ia tidak tahu sedang menunggu apa ketika duduk di lorong rumah sakit itu, maka ia ingin beranjak pergi. Berharap besok ia mendapat izin menjenguk Mamanya.
Jam menunjukkan pukul setengah sebelas malam ketika Milia merapatkan jaketnya di pelataran rumah sakit. Ia butuh udara sebelum memutuskan untuk pulang. Namun tiba - tiba ponselnya bergetar di dalam saku.
Pesan LINE dari orang yang sama beberapa saat yang lalu.
Samuel : Lagi dimana?
Kali ini Milia menjawab
Milia : Di rumah.
Samuel : Bohong.
Samuel : Liat arah jam 3.
Dan malam itu, ketika Milia menoleh, ia sadar ia tidak sendiri.
• • •
"Dan mulai saat itu gue sedikit merasa kehilangan nyokap gue." Dengan mudah Milia menceritakan semuanya, pada Samuel. Dibentang oleh meja ukuran medium dengan dua kopi yang mengepulkan asap di atasnya.
Cowok itu hanya mendengarkan dalam diam dan dengan tatapan mata mendalam.
"Gue sama sekali nggak masalah ngelakuin ini itu sendiri, kesepian, bahkan sampe adu mulut sama bokap sampe kesel. Itu semua karena nyokap gue sakit. Tapi yang paling memukul adalah penyakit se-bahaya itu yang ada di nyokap gue." Milia menatap miris ke sembarang arah. "Kadang gue berpikir apakah selama ini gue terlalu nyia - nyiain nyokap dan buang - buang waktu."
"Apa ini karena salah gue juga?" Lirih Milia.
"Nggak ada yang salah di sini, udah garisnya."
Milia menatap Samuel.
"Meskipun lo merasa menyesal sampai nyalahin diri sendiri, nyalahin keadaan atau bahkan nyalahin takdir, gak akan ada yang berubah Mil." Kata Samuel tenang. "Tuhan bakal ngasih cerita yang sama andai lo bisa ngebalik ulang buku takdir."
Milia merasa semakin tersudut dengan kata - kata Samuel. Benar, tapi setidaknya bisakah cowok itu sedikit menghiburnya. Sampai ia mendengar kelanjutannya.
"Kadang orang sakit gak cuma butuh obat. Mereka juga butuh orang yang sehat biar bisa nular sehatnya." Samuel menatap tepat di manik mata Milia.
"Dan selama ini gue liat lo sakit, Milia." Lanjutnya.
"Sakit?"
"Tatapan lo jelasin semuanya. Seberapa lo terpukul, seberapa lo capek, seberapa lo ikutan sakit kaya nyokap lo."
Gadis itu diam mendengarkan.
Bibir Samuel sedikit berkedut hendak tersenyum namun ditahan. "Lo bisa bawa nyokap lo ikut sehat. Makanya jangan sedih. Buang jauh - jauh perasaan yang bikin lo nge-down."
"At least nyokap lo bakal ikut bahagia liat lo bahagia. Mungkin lo juga perlu berdamai sama bokap lo, gue yakin itu juga adalah hal yang sebenernya diinginkan nyokap lo."
Kata - kata cowok itu ada benarnya juga. Selama ini yang Milia lihat hanyalah jalan buntu, tanpa berpikir untuk memanjat dan mencari jalan lain. Memang sangat sulit untuk mengembalikan kesehatan Marina, tapi setidaknya ia tidak boleh menghabiskan waktu dengan banyak bersedih. Seburuk apapun kemungkinan yang terjadi suatu saat nanti.
"Thank's."
Samuel menaikkan sebelah alisnya. "Buat?"
"Udah ngingetin gue." Milia menarik napas. "Kalau selama ini ternyata gue sakit."
Cowok itu menarik senyum tipis. Lalu tangan kanannya mengangkat cangkir kopi dan meminumnya. Jujur, selama ini Milia tidak pernah merasa seterbuka ini dengan orang lain. Bahkan Disa sekalipun. Temannya itu memang tahu Mamanya sakit dan hubungannya kurang baik dengan Papanya.
Tapi malam ini Milia merasa sudah menumpahkan sedikit perasaannya yang sebenarnya.
"Lo bener. Gue nggak mau buang - buang waktu lagi bertahan dalam keadaan nge-down."
"Kapan - kapan gue mau ketemu sama nyokap lo."
"Hah?" Milia melebarkan kedua matanya.
Samuel tersenyum "Sebagai temen lo gue juga mau jenguk."
"Oh, boleh banget." Milia tersenyum. Keduanya tersenyum. Pembicaraan malam itu mengalir begitu jauh ke segala arah. Seolah waktu adalah hal yang pantas diabaikan begitu saja. Sejenak, Milia tidak merasakan apapun itu bentuk kesedihan. Meskipun hanya sementara. Dalam hati ia bersyukur pernah bertemu dengan laki - laki seperti Samuel.
• • •
Ternyata kopi tidak berpengaruh pada rasa kantuk Milia. Ia dengan mudahnya tertidur sedangkan Samuel fokus menyetir di sampingnya. Terakhir kali hal yang ia ingat adalah suasana jalan begitu menenangkan dari dalam mobil dan seperti biasa, musik jaz pilihan Samuel membuainya begitu jauh.
Begitu sampai di depan gerbang rumah Milia, Samuel melirik gadis di sampingnya yang tertidur dengan napas tenang. Bagaimana ia harus membangunkannya, ia bingung. Ia tidak tega mengganggu tidur lelap Milia.
Beberapa kali ia berdehem dan memanggil nama Milia pelan, gadis itu hanya menggeliat sedikit lalu kembali tenang dalam tidurnya. Kali ini Samuel hanya punya dua pilihan. Membangunkan Milia dengan sedikit lebih keras atau membiarkannya tidur di mobilnya sampai pagi.
Dan ia memilih opsi kedua.
• • •