"When I say "I miss you", I know it will never enough."
• • •
Membohongi Disa dengan segala alasan bukanlah perkara yang mudah, sampai Milia bisa berdiri di depan kelas Samuel seperti sekarang. Koridor antah berantah yang ia jejaki lengkap dengan tatapan orang - orang di sekitarnya yang membuat Milia risih. Kalau bukan karena rasa bersalah, beribu - ribu kali lebih baik bila Milia langsung pulang.
Setelah celingukan kesana kemari mencari keberadaan Samuel dan tidak menemukannya, Milia merasa dikerjai. Perfeksionis dan tak berperasaan, itulah Samuel di mata Milia.
Gadis itu mencari tempat duduk terdekat, lalu kembali menunggu seperti orang bodoh.
Mari kita ulas lagi tujuannya ke sini :
1. Menemukan Samuel.
2. Memasangkan kancingnya.
3. Mengembalikan bolpoinnya.
4. Pulang dan tidak berurusan lagi dengan cowok itu.Mudah, kan?
Tapi yang membuatnya menjadi sulit adalah ketidakhadiran Samuel sampai 30 menit setelah kedatangan Milia. Di ruang kelas yang Milia yakini adalah kelas Samuel menurut informasi dari sana sini pun sudah tidak ada penghuninya.
Milia menghembuskan napas kesal. Ia benar - benar merasa bodoh sekarang. Bodoh karena mau disuruh - suruh begitu saja, bodoh karena mau menunggu lama, bodoh karena merasa berhasil dikerjai.
Akhirnya ia bangkit dengan emosi, lalu memakai kembali tas punggungnya. Masa bodoh dengan seragam Samuel, toh hari itu juga ia tidak dengan sengaja melakukannya.
Sebuah pesan masuk di ponsel Milia menimbulkan getar, yang membuat Milia benar - benar harus pergi dari koridor itu. Keraguannya untuk menunggu Samuel lebih lama menguap begitu saja hingga ia berlari kecil menuju gerbang sekolah.
• • •
Milia terlampau senang ketika ia memasuki ruangan, Marina sedang menunggunya dengan senyuman. 45 menit yang lalu ia menerima pesan dari Dokter Vena, dokter khusus Marina sekaligus sahabat wanita itu bahwa Marina sedang dalam keadaan baik untuk ditemui.
Dengan segera Milia menghabur ke pelukan Mamanya, merasakan balasan pelukan hangat yang lama tak ia rasakan.
"Mama, Mili kangen."
Marina hanya tersenyum, mengelus rambut putrinya dengan lembut.
Milia melepaskan pelukannya, lalu menatap wajah Mamanya lekat - lekat sambil meneliti. Wajah cantik itu masih pucat, tidak lebih baik dari sebelumnya dengan rambut yang semakin menipis karena kemoterapi. Memaksakan senyum, Milia bertanya pada Marina. "Mama gimana kabarnya?"
"Mama baik, sayang." Jawab Marina sedikit kesulitan.
Bohong.
Tidak ada yang baik - baik saja dari Marina dan Milia tahu. Ia tahu seberapa menyedihkannya Marina dan ia tahu seberapa kuatnya wanita itu menahan semuanya.