BAB 8

77 10 1
                                    

"Sejak hari itu, malam itu tepatnya, aku menyimpan rapat namamu di dasar perasaanku yang orang lain tidak tahu."

• • •

Sebuah kejadian langka ketika matahari terbenam Milia sudah berada di rumah. Hari ini ada rapat guru jadi semua siswa dibolehkan pulang lebih cepat. Setelah pulang seperti biasa Milia akan pergi ke rumah sakit dan menjenguk Mamanya. Dan seperti biasa juga Marina masih sama, dengan keadaan yang sama dan wajah yang sama.

Milia keluar dari kamarnya setelah berganti pakaian dengan kaus dan celana santai, berjalan ke dapur untuk mengambil minum. Baru saja langkah kakinya sampai di ujung tangga, ia melihat ruang kerja Papanya dalam keadaan terbuka. Sebuah ruangan di bawah tangga dimana Bagas selalu mengerjakan pekerjaan kantornya--apapun itu.

Gadis itu mendekati ruangan itu, lalu menyembulkan kepalanya ke dalam dan mendapati Papanya sedang mencari - cari sesuatu di laci meja.

Papanya itu masih mengenakan setelan kantornya dan terlihat terburu - buru.

Baru saja Milia mau meneruskan niatnya ke dapur, panggilan Bagas membuatnya sadar bahwa Papanya sudah menemukan dirinya.

"Milia."

"Ya pa?" Milia membalikkan badannya dengan lemah dan sedikit terkejut.

"Masuk. Papa mau bicara sama kamu."

Milia menurut dan melangkahkan kakinya ke dalam. Ia bisa melihat dengan jelas wajah Papanya yang nampak kusut dan lelah, namun tetap tegas diwaktu yang sama. Bagas sudah beralih dari laci menuju kursi putarnya dan duduk di sana. Sementara Milia berdiri menghadap Papanya, terhalang oleh meja kerja yang besar.

"Ada apa Pa?"

"Papa tahu kamu selalu pulang malam." Bagas menatap Milia lurus. "Kemana saja kamu?"

"Rumah sakit."

"Selalu seperti itu? Harus sampai larut?"

Milia tidak menjawab. Ia merasa berada dalam lingkaran kesalahan.

"Mili cuma jenguk Mama, Pa." Jawab Milia akhirnya. Pelan.

"Harus sampai larut, Milia?"

Milia menggeleng. Menunduk dalam.

"Mama kamu pasti juga tidak mau kamu pulang sendirian malam - malam. Hampir setiap hari. Kamu pernah berpikir kalau Mama kamu khawatir?" Suara Bagas terdengar mendominasi.

"Kamu satu - satunya anak perempuan di rumah ini, pernah kamu berpikir tentang bahaya malam di luar sana malam? Papa nggak punya waktu lebih untuk mengawasi kamu, Milia. Kamu pasti mengerti kata - kata Papa."

Kedua mata Milia terasa panas dan sesuatu mengganjal di tenggorokannya, seperti beban yang membuat suaranya bergetar. "Mama sendirian, Pa."

"Mama sendirian dan Mili selalu kangen di dekat Mama. Mama sakit dan butuh teman. Mili cuma mau sama Mama lebih lama." Milia merasakan setetes air di pipinya. "Papa boleh khawatir, tapi Mili berusaha jaga diri, kok. Kalau Papa selalu sibuk, tugas Mili adalah selalu di samping Mama."

Milia sudah sesenggukan sambil menjawab. Ia tidak tahu kenapa tapi hatinya terasa teremas.

Bagas bangkit dari kursi putarnya, lalu mengambil dua lembar tisu dari kotak tisu di mejanya. Ia berjalan mendekat dan menangkup sebelah pipi putrinya. Lalu ia mengusapkan tisu yang ia bawa ke pipi Milia, hingga air mata itu bersih.

"Kalau kamu bisa jaga diri, jangan cengeng. Papa pegang janji kamu."

Papanya membuang tisu itu ke tempat sampah, lalu pergi dengan membawa tas dan berkas yang sebelumnya sudah ia ambil. "Papa mau kembali ke kantor. Jaga diri baik - baik."

• • •

Beberapa saat setelah Bagas pergi, Milia memutuskan untuk keluar sebentar. Ia pergi ke kafe dimana ia biasa menghabiskan waktu setelah dari rumah sakit. Tempat itu satu - satunya tujuan Milia ketika perasaannya sedang campur aduk. Atau mungkin suatu saat ada tempat lain yang jadi tujuan Milia ketika perasaannya campur aduk, entahlah.

Maka dari itu sekarang gadis itu sedang duduk menatap orang - orang melalui dinding kaca setelah sepuluh menit kedatangannya. Aroma kopi yang masuk ke penciumannya, membawa Milia melayang rendah dalam ketenangan. Kedua tangannya hanya memegang cangkir kopi tanpa meminumnya. Menunggu cairan hitam itu menghangat.

Langit mulai gelap dan Milia menghela napas pelan.

Suara gesekan lantai dengan kaki kursi di depan Milia membuat gadis itu mengalihkan tatapan dari pemandangan luar. Seseorang menarik kursi itu dan duduk di hadapan Milia.

"Your favorite place?" Tanyanya sambil memindai sekeliling.

Milia melengos, "And again, not your business."

"Kita ketemu lagi."

"Such a disaster?" Milia menjawab sarkastik.

Orang di depannya menanggapi dengan smirk, lalu seorang waiter datang dan memberikannya secangkir kopi yang Milia tidak penasaran apa jenisnya.

"Thank's ya." Katanya pada waiter itu.

Lalu ia kembali pada Milia. Diperhatikannya gadis itu sedang menyesap kopinya, lalu mengambil sepotong kecil chocolate cake dan memakannya. Ia memakannya seperti tidak merasakan kehadiran orang lain di sekitarnya.

"Lo harus coba vanilla latte di sini. Nggak cuma kopi hitam all the time." Orang itu melirik cangkir Milia.

"Siapa sih lo sebenernya?" Tanya Milia gemas.

"Kalo gue bilang gue barista di sini, lo bakal percaya?"

"Enggak."

"Haha ... We're at the same school, I've met you for once or maybe twice and you asked me who I am? I'm sure you know me already."

Milia menyipitkan matanya. Menatap dalam kepada orang di depannya. Dengan jaket parasut berwarna navy, kaos putih polos di dalamnya dan celana jeans selutut, ia terlihat fresh dan hmm ... sedikit menarik.

"What are you trying to say?"

Orang itu menyamankan posisi duduknya, lalu mengeluarkan tangannya yang dari tadi ia masukkan ke dalam saku jaket dan memindahkannya ke atas meja.

"Bisa kita kenalan dengan cara yang lebih beradab? Jadi kalau suatu saat kita ketemu lagi, nggak perlu ada perasaan 'kayaknya kita kenal, tapi nggak kenal'. Got it?"

Menaikkan sebelah alisnya, Milia rasa ia perlu mengiyakan saja karena orang itu sudah mengulurkan tangan kanannya dan Milia menyambutnya.

"Sam. Formally Samuel."

"Milia."

• • •

Super MiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang