Sejujurnya, Nou tak begitu tau apa yang benar-benar ia inginkan saat ini. Ia sudah tak menghubungi Jev hingga dua minggu lamanya. Dan selama itu pula, Jev tak berusaha menghubungi dirinya. Hal yang membuatnya mengerutkan kening sekaligus bertanya-tanya. Sebab Jev yang biasanya selalu keukeuh berusaha menghubunginya atau bahkan menemuinya langsung, kini menghilang begitu saja.
Nou penasaran, tapi ia tak ingin menghubungi Jev duluan. Bukan, bukan karena ia tak ingin, tapi karena ia tau kalau ia dan Jev kini sedang menikmati kesendirian mereka masing-masing sekaligus merenungkan segala hal yang akhir-akhir ini menimpa hubungan mereka.
Dan bagi Nou sendiri, ia sudah pada tahap mempertimbangkan hubungan mereka kembali.
Nou tak bisa menutup mata atas kebaikan-kebaikan Jev selama ini yang sukses membuat dirinya bahagia. Ia selalu tersentuh saat Jev memperhatikannya hingga ke hal-hal kecil sekalipun. Ia juga selalu merasa beruntung saat Jev melakukan hal-hal sederhana untuk dirinya, pun saat Jev berusaha melakukan hal-hal yang tak pernah ia lakukan demi dirinya. Bagi Nou, cukup seperti itu saja, ia yakin bahwa Jev memang sungguh mencintainya.
Namun, tentu semua itu tak selalu berjalan dengan sempurna, bukan?
Jev dengan segala sikap gila kontrol-nya, over protektif yang sudah merujuk pada posesif, hingga cemburu akutnya itu membuatnya harus menahan diri berkali-kali untuk tidak berteriak di depan wajah pria itu.
Satu, dua, dan tiga kali semua itu terulang, Nou masih bisa menarik napas panjang dan mengangguk memaklumi. Ia juga lebih memilih untuk diam dan menggerutu dalam hati demi menjaga perasaan pria itu. Selanjutnya, ia juga harus menutupi kenyataan itu di depan sahabat-sahabatnya dengan meyakinkan mereka bahwa pria itu sebenarnya adalah sosok kekasih yang begitu baik terlepas dari segala sikap buruknya. Bahkan, di saat hatinya mulai berbisik untuk meninggalkan pria semacam Jev, Nou menggeleng dan tetap bertahan.
Salahkah ia jika tetap mempertahankan hubungan yang kadang kala membuatnya merasa untuk menghilang ditelan mesin waktu?
Nou bukanlah seseorang berpikir sedangkal itu, yang rela meninggalkan seseorang hanya karena sikap-sikap buruk yang orang itu lakukan dan mengesampingkan segala sikap baiknya. Tidak. Lagipula, seorang pengacara seperti dirinya tidak seharusnya berpikir dangkal dan sempit. Ia harus bisa melihat sesuatu dari berbagai sisi untuk menyelesaikan suatu masalah.
Tapi, setelah kejadian buruk itu terus terulang dan membuat dirinya merasa begitu lelah bertahan, salahkah ia bila berpikir untuk menyerah saja?
Bukankah, di sini hanya ia sendiri yang berusaha? Sementara pria itu justru terus menekannya?
Bahkan, saudara perempuan dari pria itu juga terus-terusan menekan dirinya.
Ia lelah.
Ia kecewa.
Dan ia sudah tak sanggup lagi bertahan.
Semua perasaan-perasaan itulah yang kini menggelayuti batinnya. Wajar saja, bukan? Sebab segala usahanya untuk bertahan kini sudah berada di titik terlemah.
Tapi, lagi-lagi, saat ia berpikir untuk menyerah seperti ini, bayangan atas kebersamaannya dulu dengan pria itu kemudian muncul dan melemahkan hatinya. Rasa cintanya pada Jev, kemudian kebahagiaan yang pernah ia dapatkan selama bersamanya, membuat dirinya merasa menyesal sudah berpikir untuk menyerah.
Setelah segala usahanya untuk bertahan selama ini, kenapa ia harus menyerah sekarang? Bukankah harusnya ia harus tetap kuat untuk bertahan sedikit lagi? Cukup pengertian dan kesabaran sedikit lagi saja maka segalanya akan berakhir indah, kan?
Kemudian, saat ia sudah memutuskan untuk bertahan dan hampir menyentuh layar ponselnya untuk mengatakan 'rindu' pada pria itu, sekelebat kejadian buruk kembali berputar di otaknya. Membuat dirinya kembali lemah dan meletakkan kembali ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DOCTOR FREAK ✅ (Proses Penerbitan)
General FictionMemiliki kekasih seperti Jev yang seorang dokter spesialis, tampan dan dari keluarga terpandang membuat Nou tidak bisa untuk tidak berbangga hati. Apalagi jika ditambah dengan Jev yang begitu menyayangi dirinya, membuat Nou ingin selalu memamerkanny...