Bagi seorang Caraka Gunawan Dault, menemukan perempuan yang bisa ia jadikan tempat untuk mempercayakan hatinya tidak pernah lebih mudah dari menghafal kitab pasal-pasal yang ia pelajari setiap hari. Tidak pula lebih mudah dari menjawab pertanyaan orangtuanya tentang kapan ia akan mengenalkan seseorang yang akan ia jadikan calon pasangan hidupnya.
Iya, sebagai anak tunggal dan sudah memasuki usia yang matang untuk menikah, ia sudah diwanti-wanti oleh kedua orangtuanya agar segera menikah. Tidak banyak yang mereka harapkan dari anak semata wayangnya itu, selain melihatnya hidup bahagia dan memiliki keturunan yang baik. Tentu saja, harapan mereka sebagai sepasang orangtua berusia lanjut adalah kehadiran beberapa cucu yang bisa mewarnai masa tua mereka, bukan?
Namun, bukan seorang Caraka jika ia memutuskan untuk cepat-cepat mencari pasangan hidup hanya karena dikejar umur dan tuntutan orangtua. Itulah sebabnya ia masih bersantai ria menanggapi permintaan orangtuanya sembari meyakinkan mereka bahwa ia pasti akan menikah. Tentu setelah ia menemukan perempuan yang tepat.
Tapi sama sekali tak pernah ia duga bahwa sahabatnya lah yang akan menjadi perantara dirinya bertemu dengan perempuan itu.
Davinka Kemilau. Sosok yang dari awal sudah berhasil memukaunya dengan tatapan tajam, penuh kehati-hatian, bahkan cenderung defensif. Namun ia juga bisa menemukan kebaikan dan ketulusan perempuan itu melalui tatapannya.
Caraka sebenarnya bukan sosok yang bisa jatuh cinta pada pandangan pertama. Bukan juga pria yang bisa terpukau hanya karena penampilan cantik seorang perempuan. Namun untuk Davinka, entah kenapa perasaan kagum itu muncul begitu saja.
Tidak jelas alasan pastinya. Hingga pada detik ini ketika ia berdiri di depan rumah Jev untuk menemui perempuan itu yang kini tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja, ia masih tetap tidak bisa menemukan alasan mengapa ia perlu repot-repot datang kesana, selain kenyataan bahwa ia tertarik pada perempuan cantik itu.
"Kamu?"
Lingkaran hitam dibawah mata perempuan cantik itu menjadi pemandangan pertamanya begitu pintu dibuka. Caraka tak menjawab, hanya tersenyum tipis seraya memperhatikan wajah mendung di hadapannya itu.
"Jev kemana?" tanya Caraka.
"Kerja, mungkin? Udah tiga hari dia nginep di rumah temennya." jawab Davinka.
Davinka menggeser tubuhnya, lalu mempersilahkan pria itu duduk di single sofa ruang tamu. Ia pun turut duduk sofa panjang.
"Gimana perasaan kamu sekarang?" tanya Caraka.
Davinka tersenyum, sedikit terpaksa. "Better."
"Hanya itu?"
"Memangnya kamu ngarepin apa, Caraka? Saya nggak mungkin udah bisa ketawa atau nongki cantik di Marina Bay, kan?" ujar Davinka sarkastik.
Ah, mungkin karena sifat perempuan ini yang sedikit banyak mirip dengannya, ia jadi begitu mudah memahaminya. Davinka jelas sedang berusaha kuat untuk menyelamatkan sisa-sisa harga dirinya yang berceceran tempo hari, tepat di depan semua orang termasuk pria di hadapannya itu.
Caraka kembali tersenyum tipis, menatap Davinka yang tampak duduk tak nyaman. Entah karena merasa malu dengan keadaannya yang berantakan saat ini, atau merasa gugup ditatap sedemikian rupa olehnya. Jujur, Caraka sedikit berharap bahwa pilihan kedua lah yang menjadi alasannya.
"Saya senang lihat kamu udah baik-baik aja."
"Baik-baik apanya. Berantakan gini, kok." Gerutu Davinka pelan.
"Kalo Kevan yang liat keadaan kamu sekarang, saya yakin dia akan bilang kalo kamu itu seksi." Ucap Caraka lagi, masih dengan senyum tipisnya.
Davinka yang mendengar itu, seketika berdeham demi menyembunyikan rona merah yang ia yakin sudah berani muncul di wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DOCTOR FREAK ✅ (Proses Penerbitan)
General FictionMemiliki kekasih seperti Jev yang seorang dokter spesialis, tampan dan dari keluarga terpandang membuat Nou tidak bisa untuk tidak berbangga hati. Apalagi jika ditambah dengan Jev yang begitu menyayangi dirinya, membuat Nou ingin selalu memamerkanny...