31. Alot

6.2K 396 102
                                    

Menemukan wajah Gerias di tempat kerjanya jelas bukan hal yang Jev inginkan saat ini. Tidak di saat mood buruk tengah menggerogoti dirinya akibat tak mendapat satu kabar pun dari Nou. Bahkan gadis itu sengaja berangkat ke kantor pagi-pagi sekali demi menghindarinya.

Ia sudah teramat kesal, lalu kenapa sekarang dirinya harus menambah kekesalan akibat kehadiran pria brengsek itu di sini? Di dalam ruangan prakteknya?

Jev bahkan harus mengingatkan dirinya berulang kali untuk tidak menancapkan pisau bedah di perut pria itu.

"Sorry, gue tau lo pasti udah muak banget liat muka gue. But really, we have to talk."

Jev membuang tatapannya dari pria itu, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum menghembuskannya dengan kuat.

Kemudian ia melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. "Well, lo beruntung karna lo dateng di saat yang tepat. Meski bagi gue kedatengan lo nggak pernah tepat di hidup kakak gue, atau bahkan di hidup Nou."

Tanpa repot-repot menyaksikan perubahan ekspresi pria itu akibat kalimat tajamnya, Jev meraih telepon di mejanya. Ia memberitahu perawat dan bagian informasi bahwa ia tidak akan menerima pasien rawat jalan lagi untuk sesi terakhir. Semua pasien yang mendaftar pada sesi ini akan dipindahkan ke sesi pertama esok hari.

Setelah itu, ia menutup telepon lalu menumpukan kedua tangannya di atas meja. Menatap Gerias yang juga masih setia dengan tatapan tajam untuk dirinya.

"Duduk." ucap Jev singkat. Ia pun melirik kursi kosong di seberangnya, mengisyaratkan Gerias untuk duduk di sana.

Gerias menghela napas lalu mengikuti kata-kata Jev.

"Lo boleh ngehakimin gue yang udah bikin salah ke kakak lo. Tapi lo sama sekali nggak berhak ngomentari masa lalu gue sama Ina dulu. Karena percaya atau nggak, both of us really enjoyed the time we spent out together."

Mendengar itu, Jev sontak mengeraskan rahangnya. Tatapannya pun berubah nyalang hingga ia tak menyadari bahwa kini buku-buku jarinya memutih, akibat kepalan geram yang tertahan.

"But, it's okay. Gue dateng ke sini bukan buat nyeritain masa lalu gue sama cewek lo dan bikin lo naik pitam, tapi buat nyelesaiin masalah gue dengan Davinka."

Jev mengendurkan kepalan tangannya lalu mengangkat sebelah alis heran, "Jadi, ngapain lo nyari gue? Harusnya lo ketemu Davinka langsung, bukan malah dateng ke gue."

"I know. Gue juga punya rencana buat nemuin dia langsung. Tapi lo pasti kenal Davinka, kan? Dia nggak bakal mau ketemu gue sekalipun gue berdarah-darah di depan mata dia. Makanya, gue butuh bantuan lo."

Pria yang masih berbalut snelli di luar kemeja kotak-kotaknya itu pun seketika terkekeh sinis, "Lo nggak salah minta bantuan ke gue? Dan lo pikir gue mau bantu lo gitu aja?"

Gerias menyandarkan punggungnya di kursi, lalu bersedekap tanpa memutuskan tatapan tajamnya pada Jev. "Nggak. Makanya gue mesti jelasin dulu masalah ini ke lo, biar lo bisa mutusin mau ngebantu gue apa nggak."

Jev terdiam beberapa detik, lalu turut bersedekap. "Alright. Go on."

Gerias pun menarik napas panjang sebelum mulai menceritakan semuanya. Sementara Jev, yang meski enggan mendengar, ia tetap menunggu penjelasan Gerias. Sebab ia rasa kalau ia perlu untuk mendengarkan masalah ini dari sudut pandang pria itu.

Maka mengalirlah kalimat demi kalimat Gerias yang didengarkan Jev dengan ekspresi datar. Tentang pertemuannya dengan Davinka dulu, perasaannya, hingga kebrengsekannya yang menyakiti Davinka agar perempuan itu meninggalkan dirinya. Tak lupa, pria itu juga menceritakan perjanjiannya dengan Segaf dulu yang menjadi pemicu utama kebencian Davinka pada Nou.

DOCTOR FREAK ✅ (Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang