36. Kabar

7.2K 420 47
                                    

Jev menarik napas panjang begitu ia keluar dari ruangan yang memiliki garis merah bertuliskan "Lepas Alas Kaki di Sini" tepat di depan pintu itu. Ia pun melepas handscoon, masker, dan topi operasi lalu meletakkannya di keranjang yang ada di sudut ruangan. Kemudian, ia memakai sandal sebelum melangkah menuju wastafel untuk melakukan cuci tangan prosedur lalu menyemprot tangannya dengan alkohol sembilan puluh enam persen.

Setelah selesai Jev berjalan meninggalkan ruangan semi steril itu. Seperti biasa, Jev selalu menyempatkan untuk tersenyum ramah kepada setiap orang yang berpapasan dengannya, entah itu rekan kerja sesama dokter, perawat, atau bahkan cleaning service sekalipun. Seolah lupa bahwa kemarin --secara sadar-- ia tak peduli pada citra maupun reputasinya sebagai dokter favorit banyak orang di sana.

Ya, adegan mellow yang ia sajikan kemarin memang membekas di ingatan orang-orang yang melihat, bahkan sudah menyebar hingga ke semua sudut rumah sakit akibat banyaknya orang yang membicarakannya.

Ia malu? Tentu saja tidak. Ia justru tak menyesalinya.

Itu sebabnya hari ini ia masih bisa tersenyum dan menyapa, tanpa peduli seberapa banyak orang yang membicarakannya.

"Dokter Jev!"

Jev menghentikan langkah begitu seseorang memanggilnya. Ia memutar tubuh. Lalu ia mengangkat tangannya, melambai pada dua orang yang ia kenal dengan baik itu.

"Gimana operasinya tadi? Lancar?" tanya seseorang bertubuh lebih rendah sekitar lima sentimeter darinya itu.

"Iya, Dokter Romio. Alhamdulillah lancar. Pasiennya juga sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Dua jam lagi saya akan melakukan visit untuk cek kondisi pasca operasinya."

"Ah, kalian ini. Santai aja, dong. Nggak usah formal-formal amat. Gue eneg nih lama-lama." sambar Alfaraz, yang berdiri di sebelah Romio dengan wajah malas.

Melihat itu, sontak Jev dan Romio terkekeh.

"Padahal prosedur itu, lho." komentar Romio.

"Ya gue juga tau. Tapi kalo sesama kita ya selow aja. Nggak asik aja didenger."

Romio menggeleng pelan, "Yaudah terserah sih." Kemudian pria dengan stetoskop yang mengalung di lehernya itu mengalihkan tatapannya pada Jev. "Gampang lah kalo FAM*. Transplantasi aja lo bisa masuk tim inti, apalagi cuman FAM gini."

Mendengar itu, Jev tersenyum tipis. "Susah atau nggak nya jenis operasi, tetep aja kita nggak boleh menggampangkannya gitu aja. Bagi gue setiap operasi itu sama. Do my best on the surgery bed is a must."

"Nah, lho. Denger tuh." Alfaraz terkikik geli melihat raut canggung di wajah Romio.

"Ah, sial. Niatnya gue mau muji lo, Jev. Eh malah salah omong gini." ujar Romio dengan cengiran lebar.

"That's okay. Gue juga nggak perlu dipuji. Cukup kepercayaan dari kalian aja."

Alfaraz pun menepuk kedua tangannya antusias. Lalu ia menatap wajah Romio, "Nah, Rom. Dengerin. Kepercayaan tuh lebih penting daripada pujian. Sama kayak lo punya cewek, daripada banyakin gombal lebih baik banyakin kepercayaan. Jangan sampe cewek lo kabur cuma gara-gara lo nggak bisa kasih dia kepercayaan. Nyesel lo ntar."

Mendengar perkataan Alfaraz, sontak Romio terkikik geli. Kemudian melalui satu tarikan alis ke atas, mereka pun sepakat untuk mengalihkan pandangannya pada Jev.

Jev yang kini berdiri dengan tatapan geram ke arah mereka.

Dan lagi, dua orang sahabat itu tak bisa menahan tawanya. Mereka terkekeh, lalu serempak menutup mulut agar suara mereka tidak menarik perhatian banyak orang. Sementara Jev mati-matian menahan umpatannya pada kedua orang itu.

DOCTOR FREAK ✅ (Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang