BAB 8 • Maju

529 28 0
                                    

Jaket tebal berwarna coklatnya itu cukup mampu menghalau dinginnya angin malam di pegunungan menyentuh permukaan kulitnya.

Meski begitu, tubuhnya tak bisa berbohong bahwa ia sangat kegerahan namun kedinginan diwaktu yang sama. Dengan perlahan, ia merapatkan jaketnya dan memeluk tubuhnya sendiri.

"Lo nggak papa, Sher? Muka lo pucet gitu." Tanya Aqila dengan raut wajah khawatir, ketika manik matanya mendapati wajah teman satu regunya itu nampak pucat.

Sherin tersenyum simpul, disertai anggukan kecil yang membuatnya nampak lebih menarik. "Gue memang gini kalau kedinginan. Tapi sebenernya nggak papa."

Aqila hanya mengangguk paham. Lalu keduanya kembali fokus pada aktivitas sebelumnyaㅡberjalan bersama regu menuju pos nomor 2.

Malam ini kegiatan camping benar-benar terasa bagi Sherin yang baru pertama kali mengikutinya. Ketika mereka dibangunkan tepat pukul sepuluh malam dengan suara menggelegar dari para OSIS, padahal ketika pukul setengah sepuluh mereka sangat dipaksa oleh kakak kelasnya itu untuk terlelap.

Sherin yang memang anaknya tak mudah beradaptasi masih terjaga kala itu. Jadi, ketika teriakan yang menyuarakan mereka untuk segera bangun dan berkumpul segera di pos utama itu terdengar ia tak merasa kelimpungan untuk mengumpulkan nyawanya.

Dengan mengandalkan jaket yang ia sedang ia kenakan, ia menjadi orang pertama dari regu lima kelas X-3 yang keluar dari tenda dengan harapan dapat terbebas dari hukuman terlambat.

Tapi ternyata, sebuah kata kebersamaan mengubah segalanya. Karena hampir seluruh peserta kelas X-3 terlambat, membuat mereka harus mendapat hukuman sepuluh kali push up di setiap pos.

Regunya telah selesai dengan hukuman di pos satu, dan sedang menjemput hukuman selanjutnya di pos dua.

Tatapan tajam menyambut kedatangan mereka di pos dua. "Sepuluh tiga, ya? Langsung aja," perintah Jiani, kakak kelas yang selama ini terkenal ramah itu dengan ketus.

Dengan berat, kelima cewek itu mengambil posisi untuk push up. Di hitungan pertama sampai ketiga, semua tenaga masih terkumpul dan menjadikan mudah bagi mereka. Tapi sampai di hitungan kelima, tenaga pun mulai terkikis. Tangan Sherin seperti berubah menjadi jeli, gemetar saat mengangkat bobot tubuhnya sendiri.

"Satu, dua, enam!" teriak Kania kala melihat tenaga para calon adik kelasnya itu mulai habis di hitungan kelima.

"Enam!" balas mereka dengan diikuti erangan. Lalu dengan sisa tenaga yang mereka miliki sekarang, mereka dapat menyelsaikan hingga hitungan kesepuluh.

Kelima cewek itu segera berdiri setelah melaksanakan hukuman melelahkan. Mereka juga membersihkan pakaian, celana, dan tangan dari tanah. Jangan lupakan tetes keringat yang kini bulirnya jadi bertambah banyak dibanding sebelumnya.

Satu orang kakak kelas dihadapan mereka berdiri setelah melihat adik kelasnya itu telah selesai. Ia memasang wajah garang dan menatap satu persatu wajah adik kelasnya yang nampak kelelahan.

Kedua ujung bibirnya tertarik, menciptakan senyum yang mendadak mengerikan dibawah temaram cahaya bulan. "Capek?" Tanyanya singkat.

"Siap, iya kak!" Mereka membalas dengan seruan, meskipun suara mereka terdengar lemah saat ini.

"Haus?" Tanyanya sekali lagi, membuat perasaan mereka tak enak. "Jian, kasian nih mereka haus. Lo bukannya punya minuman spesial ya?"

Jiani ikut tersenyum lalu bangkit dari duduknya dan bergerak mendekat dengan membawa gelas plastik bekas air mineral ditangannya. Karena bentuknya yang transparan, nampaklah bentuk air yang mencurigakan. Warnanya air itu kuning pekat dengan sedikit warna merah disana.

ASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang