Hancur. Hanya itu satu kata yang dapat menggambarkan kondisi Sherin saat ini, meskipun ia tahu bahwa Adnan juga sama adanya.
Langkah menuju rumahnya terasa lebih berat ketika ia kembali ingat pernah beberapa kali melewati jalan ini jika diantar pulang oleh Adnan. Sherin selalu memilih masuk lewat gerbang depan perumahannya jika bersama Adnan, karena akan tambah banyak waktu bagi mereka, tentunya rute yang berbeda dengan Gavin.
Air matanya masih belum mau surut di sepanjang jalan. Ia terus menundukkan kepalanya sambil menghapus air mata yang membandel itu.
Dan akhirnya, sebentar lagi ia sampai. Tinggal dua rumah lagi, dan ia bisa melampiaskan segalanya sendirian. Tapi dari sini, Sherin bisa melihat seseorang sedang duduk diatas motornya, serius memainkan ponsel di depan rumahnya.
Antara kaget dan aneh ketika melihat Fahrey ada disana. Sherin berjalan malas ketika hampir sampai.
"Ngapain lo?" Buka Sherin pada Fahrey, masih dengan wajah sembab dan mata bengkaknya yang tak dapat disembunyikan.
Fahrey agak terperanjat lalu berdiri tegak. Niat awal ingin tersenyum, namun sirna ketika melihat kondisi mantannya yang kacau. "Eh, Rin ... lo kenapa?"
Rin.
Rin.
Rin.
Panggilan itu, panggilan yang sama dengan yang sering Adnan pakai untuk memanggilnya. Jika dulu Sherin teringat Fahrey ketika Adnan memanggilnya seperti itu, maka sekarang ingatannya tertuju pada Adnan.
Wajah Sherin kembali tertekuk, napasnya tak teratur. Tak lama ia berjongkok sambil menutup wajah dengan kedua tangannya, berusaha meredam suara tangis yang semakin kencang.
Hal tersebut tentu saja membuat Fahrey panik. Cowok itu ikut berjongkok dan meminta Sherin menjauhkan kedua tangan dari wajahnya, dan menyelipkan anak-anak rambut yang ikut menutupi wajah Sherin ke belakang daun telinganya.
"Rin? Kenapa? Apa sebegitu nggak sukanya lo sama gue, sampe nangis kayak gini dan nggak mau liat gue?" Tanyanya lembut sambil mengelus pundak Sherin yang naik turun. "Kalo gitu ..., ya udah, gue balik lagi. Sekarang lo masuk terus istirahat, ya? Jangan diem disini."
Fahrey sudah berdiri dan berusaha membujuk Sherin agar mau berdiri juga, tapi gadis itu menggeleng dan bersikukuh tidak mau berdiri atau membuka tutupan di wajahnya.
"Rin, ayolah ... jangan bikin gue nambah bersalah gini. Kalo kayak gini, ntar orang ㅡ"
Ucapan Fahrey terhenti karena tubuhnya membeku kala Sherin secara tiba-tiba memeluknya erat dan kembali menangis disana.
Tangan Fahrey bergerak untuk mengelus kepala Sherin, berusaha menenangkan gadis itu. Membuat Sherin nyaman, dan mempererat pelukannya.
"Sebentar ya Re, jangan banyak tanya dulu. Nggak apa-apa?" Pinta Sherin disela tangisnya.
Fahrey mengangguk dan kembali mengelus kepala Sherin untuk menenangkannya, hitung-hitung memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
● ● ●
Setelah cukup lama Sherin meminjam bahu Fahrey untuk sandarannya dan meredam tangis, sekarang mereka sedang berada di sebuah mini market. Sherin duduk di sebuah bangku menunggu Fahrey yang katanya ingin membelikan sesuatu yang akan membuatnya lebih baik.
Matanya masih terlihat sembab dan pandangannya hanya menatap kosong jalanan. Rupanya Adnan benar-benar membuatnya hampir gila. Dari awal lelaki itu mengombang-ambing perasaannya, lalu lama kelamaan membuatnya yakin, hingga akhirnya rasa sakit yang ia terima sebagai hasil dari pertahanannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AS
Roman pour AdolescentsHighest Rank: #1 in SMA (091218) #26 in Fiksi Remaja #51 in Remaja (161118) Sherin suka Adnan, dan ia pun berpikir bahwa Adnan juga suka padanya. Karena perhatian Adnan yang menjurus kepada hal itu...