Potongan terakhir bakso di mangkuknya akhirnya lenyap. Ia sangat bersyukur karena Sherin tidak ada niatan untuk meninggalkannya sendirian disini karena ia makan sangat lambat. Meski cewek itu pun berulang kali mengeluh dan memprotes waktu makan Adnan yang lebih lama darinya.
"Makasih Rin," ucapnya sembari menyimpan mangkuknya bersampingan dengan mangkuk Sherin.
Lama-lama sepertinya Sherin ingin menjambak rambut Adnan, ia kesal dan gemas, ini yang kelima kalinya Adnan menggumamkan kata terima kasih. "Udah lima kali, Adnan. Lima kali! Mau sampe berapa kali lo terus bilang makasih? Gitu aja terus sampe mie bentuknya lurus!"
"Abis lo baik," celetuk Adnan yang mengundang tawa singkat Sherin.
Sherin mengangkat kedua bahunya. "Percuma baik tapi dilupain. Tahu gitu gue jadi jahat aja biar diinget sama lo. Karena kadang, dikit aja kejahatan bisa bikin segala kebaikan gue dilupain, terus diinget dengan cap buruk yang terus melekat. He he he," ia memamerkan deretan gigi rapinya lalu membuang muka, memilih untuk menatap ke arah jalanan.
Semua yang Sherin katakan benar. Itu sangat menusuk hatinya. Adnan merasakannya. Atau mungkin tepatnya, keluarganya.
Dahulu, ketika Papa masih ada, keluarganya dikenal oleh hampir semua warga komplek atau bahkan sampai ke komplek sebelah. Mereka mengenal keluarga Yudi karena kebaikan, keramahan, juga kepeduliannya.
Yudi dan Tya dikenal sebagai pasangan dokter yang sangat dermawan. Mereka selalu suka rela membantu tetangga atau orang lain yang sedang sakit. Jika orang tersebut tidak memiliki uang yang cukup untuk berobat, maka mereka akan tetap memeriksanya dan membayar semua tebusan resepnya.
Sebagai seorang dokter anak, keduanya mempunyai beberapa macam obat bagi berbagai penyakit yang paling sering mendera anak-anak. Tak jarang para tetangga akan mendapat pemeriksaan dan obat gratis dari mereka.
Namun, semua berubah. Tepatnya ketika 4 bulan setelah Yudi tiada. Semua omongan baik para tetangga mendadak menguap dan tergantikan oleh banyaknya ucapan pedas yang mereka lontarkan kepada keluarganya. Semenjak hubungan antara Tya dan Listyo terjalin lebih dari sekedar tetangga. Kedekatan mereka sudah mulai nampak bahkan ketika NianaㅡMama Gavin masih ada.
Oh, ayolah. Kemana semua sanjungan dan rasa hormat orang-orang itu?
Adnan menatap Sherin yang masih menatap jalanan. "Rin, gue jahat ya?"
"Iya, jahat banget!" Sahut Sherin tanpa membalas tatapan Adnan, sehingga ia tak dapat melihat keseriusan disana.
Kesalahan besar bagi Sherin yang berkata seperti itu disaat Adnan sedang ada di masa sensitifnya.
Candaan Sherin tadi rupanya ditangkap secara serius dan mendalam untuk Adnan. Matanya masih tak lepas dari Sherin yang masih enggan melihatnya. Keseriusan ini hadir ketika Adnan mengingat pandangan Sherin yang menyiratkan kebenaran ketika membicarakan soal pertemanannya tadi.
Meskipun Adnan tahu itu hanya candaan, tapi entah mengapa ia merasa bahwa itu adalah sebuah ungkapan kebenaran yang Sherin sembunyikan.
Ia merasa tambah bersalah karena telah melibatkan Sherin kedalam masalahnya. Setelah semua hal yang menambah rumit masalahnya, kini dengan bodohnya ia mempersilakan Gavin membawa Sherin kedalamnya. Sherin tanggung jawabnya di dalam masalah ini.
"Maaf ya Rin," gumamnya, dengan nada penuh penyesalan. Kepalanya sudah sedikit tertunduk.
Sherin menoleh dan mengerutkan keningnya. "Kenapa, Nan?"
Cowok itu masih tertunduk, "Gue bego, lo bener. Gue jahat, lo bener."
"Lah," Sherin menggaruk kepalanya yang tak gatal, ia frustasi. "Kenapa lo jadi baperan gini Adnaaaan? Masa iya cowok baperan."
KAMU SEDANG MEMBACA
AS
Teen FictionHighest Rank: #1 in SMA (091218) #26 in Fiksi Remaja #51 in Remaja (161118) Sherin suka Adnan, dan ia pun berpikir bahwa Adnan juga suka padanya. Karena perhatian Adnan yang menjurus kepada hal itu...