BAB 22 • Kembali

292 12 1
                                    

"No matter who comes to me, no I don't care. No matter how big waves hit me, because I have you."

- The Boyz ㅡ No Air -

Sebenarnya Sherin juga tidak mengerti mengapa rasa sesak menghampirinya sekarang. Ujung hatinya seolah dicubit dan diambil sedikit bagiannya.

Ia masih disini, di sekolah. Ia juga masih meremat roknya kuat-kuat untuk menahan tangisnya agar tidak semakin menjadi. Sherin jadi bingung sendiri, mengapa ia harus merasa sakit ketika Gavin mencampakkannya demi Tania. Padahal, siapa Sherin? Apa haknya untuk merasa bahwa ia telah dicampakkan? Mungkin bagi Gavin, ia hanyalah seorang adik kelas biasa, dan cowok itu hanya memposisikan dirinya sebagai seorang kakak yang selalu ada.

Berani berharap apa Sherin dari sikap manis Gavin? Seharusnya ia membuka matanya lebih lebar, sikap itu bukan hanya untuknya. Hanya sekedar diantar pulang dan melakukan chat singkat tiap malam, bukan berarti Sherin harus menaruh lebih pada Gavin, 'kan?

Tapi jika kembali mengingat bahwa ini demi Tania, emosinya kembali menggebu. Kenapa dia selalu ada? Dasar virus.

Jika sudah seperti ini, Sherin jadi menyesal menolak tawaran July yang ingin menemaninya mencari Gavin pada saat lelaki itu tak terlihat di depan ruangan dance. Kalau saja ada July, mungkin ia akan merasa jauh lebih tenang, terlebih dengan situasi dimana ia berjalan sendirian di koridor kelas sepuluh pada petang hari.

Berbagai pemikiran pun menghinggapi otak Sherin, yang dengan cepat ia hapus dengan memikirkan berbagai hal lucu. Seperti ... pada saat Rayefa yang pernah mengompol ketika menginap di rumahnya karena ketakutan melihat sosok putih di teras rumahnya pada tengah malam.

Tapi itu jatuhnya menjadi hal horor. Sherin pun mempercepat langkahnya sambil mengeluh, mengapa jarak menuju gerbang sekolah menjadi sangat jauh? Dan bagai di film horor, ketika sedang ketakutan seperti ini tiba-tiba ada seseorang menepuk pundaknya.

Sherin tak berani menoleh sedikitpun, meski pundaknya terasa semakin berat. Kakinya melemas seiring dengan tangan yang tak beranjak dari pundaknya.

"AAAAA!!" Teriak Sherin sambil menutup wajahnya menggunakan kedua tangan. Tangisnya juga kembali terdengar, malah lebih kencang.

"Eh, astagfirullah!" Seseorang itu terkaget karena teriakan maha dahsyat Sherin. Ia menurunkan tangannya dari pundak Sherin.

Ketika mendengar seseorang itu beristigfar, Sherin merasa agak tenang, karena berarti itu benar-benar seseorang bukanlah sesosok atau sesuatu lainnya. Gadis itu memberanikan diri untuk mengintip melalui celah-celah jarinya.

Oh, rupanya itu si cowok baperan.

"Rin, loㅡ"

Tangis Sherin justru kembali pecah ketika melihat Adnan yang sekarang ada di hadapannya. Cewek itu menangis karena malu. Sherin malu jika harus bertemu Adnan dalam mode lusuhnya. Ia malu Adnan melihat keringat yang membasahi tubuhnya sehabis berlatih danceㅡditambah karena menangisi Gavin, keringat itu juga membuat rambutnya lepek dan basah, dan lagi ia khawatir jika keringatnya ini menimbulkan bau yang kurang enak.

Jadilah ia menangis untuk menutupi rasa malunya. Padahal jika Sherin mengingat kejadian tempo hari, seharusnya Adnan lah yang harusnya merasa malu padanya. Setelah kepergok berada di pos ronda dekat rumah Sherin, ditraktir makan bakso pula, lalu menangis dihadapan Sherin. Dan di malam harinya, Adnan menelepon Sherin dan berkata padanya untuk melupakan kejadian ketika Adnan menangis dan mendadak baper. Adnan bilang kalau dia terkena cipratan kuah bakso.

"Lo kenapa?" Tanya Adnan sambil kembali memgangkat tangannya untuk mengusap bahu Sherin.

Sherin menggeleng, "Nggak ada yang jemput, huwaaa!" Tukasnya diiringi raungan yang semakin menjadi.

ASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang