Suara kucing yang bertengkar diluar membuat Gavin terbangun dari tidurnya. Ia menyingkirkan selimut yang membungkus dirinya lalu duduk. Matanya menyipit ketika menyadari ia ternyata tertidur di kamar Adnan, dan Gavin tersenyum.
Ia hendak turun kebawah untuk menghentikan aksi kedua kucing diluar yang sangat mengganggu. Cowok itu turun dari atas kasur dengan perlahan, agar tak membangunkan Adnan yang tertidur dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya.
Kaki telanjangnya menuruni satu persatu anak tangga. Ia pun dapat mendengar suara seseorang dari arah ruang tamu.
"Iya nih, kucingnya masih berisik. Gue siram aja kali ya?"
Ia menangkap suara Adnan yang samar terdengar, namun seiring dengan langkahnya yang mendekat ke ruang tamu, ia dapat melihat figur calon adik tirinya yang sedang berdiri seraya menyibakkan gorden dan melihat ke luar jendela.
"Hah? Apaan?" Tanya Adnan pada lawan bicaranya di telepon, ya rupanya Adnan bukan sedang bermonolog tentang kebimbangannya menghentikan kucing yang bertengkar.
Gavin sudah memasuki ruang tamu, berniat menghampiri Adnan.
"Nggak tahu tuh, kalo dia balik lagi ke mantannya, bingung gue."
Tapi, Gavin lebih baik menghentikan langkahnya dan memilih mendengar pembicaraan Adnan dengan seseorang di telepon.
Dari belakang, Adnan terlihat mengusap wajahnya. "Iya, gue jadi tulus sayang dia." Adnan membuat jeda sejenak. "Dari yang awalnya niat gue cuman buat ngerdusin dia, terus tulus lindungin dia dari niat Gavin. Sampai akhirnya, gue sadar kalau dia udah ngasih pengaruh besar ke hidup gue."
"Dia yang bikin gue jadi pribadi yang tulus dan pantang menyerah. Dia bikin gue balik jadi Adnan yang ingin melindungi, kayak waktu gue pengin lindungi Mama di awal waktu Papa nggak ada. Secara nggak langsung dia bikin gue sadar kalau kebahagiaan cuman bisa didapat dengan hati yang bersih dan senyuman. Gue kangen senyumnya, Nay."
Gavin tertegun ditempatnya. Benar juga apa yang dikatakan Adnan. Sherin juga telah menyadarkan dirinya secara tak langsung.
Sherin yang membuat semangat Adnan tak pernah padam untuk mengajaknya berdamai dan mau menerima keadaan. Sherin berhasil membuat Adnan terus merasa bahagia karena hal-hal kecil yang membuat hati cowok itu menghangat, ditengah keterpurukannya.
Meskipun nyatanya Gavin hanyalah tokoh antagonis dalam kisah mereka berdua, namun gadis itu tetap seolah menampar keras Gavin dengan kenyataan.
Kenyataan bahwa ternyata selama ini dirinya lah yang terlalu egois. Kenyataan bahwa ternyata selama ini hidupnya tidak bahagia.
Gavin pun memilih untuk berjalan kembali ke kamar Adnan. Ia berjalan dengan sangat perlahan. Hingga ketika ia sampai, cowok itu menyalakan lampu kamar Adnan dan membuka kotak berisikan dua surat yang sampai kemarin kepada mereka.
Tangannya membuka amplop berwarna biru, itu untuknya.
Hai, Kak Gavin!
Ah, bahkan hanya dengan membaca baris pertamanya saja sudah membuat hatinya teriris. Sekelebat gambaran Sherin yang menyapanya dengan nada bahagia menginggapi pikirannya.
Gavin lanjut membaca seluruh tulisan dalam surat itu untuk kedua kalinya.
Hampir seminggu yang lalu, kali terakhir kita ketemu. Nggak kerasa ya, Kak? Padahal rasanya kayak baru tadi malem Kakak minta maaf ke gue, dan belum gue jawab.
Sorry banget kalo kerasanya basi gue pake sapa-sapaan, setelah apa yang udah kita laluin.
Buat gue, untuk kasus ini, baik gue, Kakak ataupun Adnan, nggak ada yang berhak untuk minta maaf satu sama lain. Gue sadar, kita semua salah untuk hal ini, Kak.
KAMU SEDANG MEMBACA
AS
Teen FictionHighest Rank: #1 in SMA (091218) #26 in Fiksi Remaja #51 in Remaja (161118) Sherin suka Adnan, dan ia pun berpikir bahwa Adnan juga suka padanya. Karena perhatian Adnan yang menjurus kepada hal itu...