[Putar mulmed di part SherNan]
Memasuki musim penghujan, tentu hujan akan mulai turun membasahi daratan. Beberapa orang pun banyak yang ingin segera menepi atau sampai ke rumahnya untuk berteduh.
Tya pun begitu. Sebagai seorang dokter, tentu hari-harinya banyak dihadapkan dengan berbagai orang baru. Terlebih menjadi dokter anak tentu membutuhkan kesabaran ekstra. Hari ini sekiranya ada 400 pasien anak yang datang berobat dengan keluhan yang sama yaitu demam, flu, dan batuk.
Tenaganya habis untuk menenangkan beberapa anak yang tidak mau mendekat kearahnya. Membujuk mereka agar mau berbaring sejenak dengan iming-iming hadiah berupa susu kotak.
Saking sibuknya, ia sampai lupa akan janjinya dengan seorang makelar untuk melihat rumah barunya. Rencananya, 2 bulan lagi, tepatnya setelah ia resmi menikah dengan Listyo, mereka akan memboyong keluarga mereka ke rumah baru. Jarak calon rumah barunya itu cukup jauh dari rumah lamanya, namun justru mendekati sekolah Adnan dan Gavin.
Ngomong-ngomong soal rencana kepindahannya itu, Tya sendiri belum membicarakan apa-apa pada kedua anaknya.
Ketika ia membuka pintu dan mengucap salam, matanya melihat anak sulungnya itu sedang menutup jendela ruang tamu karena angin yang cukup kencang diluar.
Adnan berjalan menghampirinya dan mencium tangannya setelah menjawab salam. Lalu keningnya sedikit berkerut ketika Tya memegang bahunya.
"Mama mau bicara," tahannya di akhiri hembusan napas yang terdengar berat.
Adnan mengangguk lalu menuntun Tya untuk duduk di sofa ruang keluarga. Adnan menunduk, "Maaf Ma, kalo soal Gavin, aku masih belum bisa."
Sebenarnya Tya sudah tidak mau membahas soal itu lagi. Tapi ketika mendengarnya, ia hanya dapat memijit pelan pelipisnya. "Akhir Desember, kita pindah rumah." Putusnya yang membuat Adnan sontak terkejut.
Pindah rumah? Pergi dari rumah ini? Adnan mana bisa meninggalkan setiap sudut kebersamaan dengan Papa disini. Cukup saja raganya yang sudah tiada, tapi setidaknya ia bisa merasakan kehangatan dari kenangan yang akan tercipta setiap ia melihat setiap sudut rumah ini.
Cowok itu menggeleng, "Kenapa? Aku nggak mau," ia menatap Tya dengan tatapan memohon.
Tya sudah tahu betul jawaban yang akan ia terima dari Adnan dan Alesya nanti jika ia memberi tahu soal ini. Hatinya tak tahan untuk membalas tatapan mata Adnan yang selalu membuat hatinya bergetar.
Jika sudah seperti ini, maka topengnya akan melekat. "Kamu tahu, 'kan, kalo tetangga disini omongannya pedes-pedes? Kamu sendiri yang pernah bilang ke Mama kalo kamu ngerasa nggak enak sama tetangga karena masalah ini? Maka dari itu, kita yang ngalah. Kita bikin segalanya jadi enak." Sekuat mungkin Tya menahan suaranya agar tidak bergetar.
Suara petir diluar terdengar begitu dahsyat, seolah mewakili perasaan amarah dalam diri Adnan. "Nggak gitu ... maksudnya bukan gitu." Adnan masih berusaha mengontrol emosinya. "Kalo gini, bukan nambah baik, malahan omongan tetangga tentang hubungan kalian makin liar. Kalian kesannya menghindar, terlebih nikah diam-diam."
"Tau apa sih kamu soal masalah ini? Kenapa kamu nggak diem aja dan ikutin apa kata Mama? Mama aneh sama kamu, kenapa kamu nggak bisa contoh Gavin yang selalu nurut dan nggak banyak komen." Tya melipat kedua tangannya. "Setelah kayak gini, akhirnya Mama tahu siapa biang dari segalanya. Ternyata bukan Gavin yang selalu kamu bilang keras kepala, tapi kamu! Mungkin aja selama ini Gavin selalu diem itu karena kamu terlalu banyak komentar waktu dia berusaha jelasin."
Kerutan di dahi Adnan mulai muncul. "Sebenernya yang anak Mama siapa?! Aku atau Gavin?! Justru sekarang aku ngerasa Mama biang masalahnya, kalo aja Mama nggak mau nerima permintaan Tante Niana, mungkin semuanya nggak bakal kayak gini! Setelah Papa nggak ada hidup aku jadi sulit sama Mama!" Tukas Adnan dengan emosi yang menggebu, ia tanpa sadar menaikkan nada bicaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AS
Teen FictionHighest Rank: #1 in SMA (091218) #26 in Fiksi Remaja #51 in Remaja (161118) Sherin suka Adnan, dan ia pun berpikir bahwa Adnan juga suka padanya. Karena perhatian Adnan yang menjurus kepada hal itu...