Sudah lebih dari tiga kali namanya dipanggil. Namun, lelaki itu masih betah dengan posisinya saat ini. Duduk bersila di balkon kamarnya dengan gitar coklat yang sedari tadi berada dipelukannya, tanpa berniat memetikan nada indah disana.
Gitarnya hanya ia petik asal untuk mengusir kesunyian yang kadang tercipta disana. Ketika tak ada suara kendaraan lewat atau teriakan orang-orang memanggil namanya.
Tya, Alesya, dan Ibu Eda selalu bergantian menyerukan namanya dari balik pintu kamar, atau dari lantai bawah rumahnya. Berusaha agar lelaki ini mau keluar dari kamar.
Namun Adnan hanya bertingkah seolah lumpuh pendengaran.
Dan sekarang, semua panggilan itu mereda. Tak ada lagi namanya yang diserukan.
Bukan, bukan karena mereka lelah memanggil Adnan. Tapi, kedatangan seseorang yang membuat semuanya seolah melupakannya.
Ia melihat sang pemeran utama dalam acara hari ini telah sampai dirumahnya. Setelah memarkirkan mobilnya, masih dengan pakaian kantornya, ia langsung mengarahkan langkahnya ke rumahnya.
Adnan berdecih pelan. Seberapa pentingnya ia dalam keluarganya sampai-sampai seluruh atensi dirumah itu hanya untuknya.
Sampai-sampai Tya mau berusaha memanggil Adnan untuk keluar dari kamarnya. Padahal yang biasanya ia tidak peduli dengan keinginan anak sulungnya itu.
"A," sebuah suara lembut terdengar memanggilnya. Membuyarkan segala pikiran Adnan.
"Sini." Perintah Adnan tanpa menoleh ke sumber suara.
Perlahan Adnan dapat merasakan suara langkah kaki yang mendekat kearahnya, lalu nampaklah sosok Alesya yang sekarang duduk di hadapannya, bersandar pada pagar balkon.
Tangan Alesya bergerak memetik satu senar gitar di dekapan kakaknya. "Udah datang, tuh."
Adnan mengangguk. Pandangan matanya yang tadi terpusat pada seseorang yang berada di rumah seberang, kini beralih ke adiknya. Ia tersenyum simpul lalu mengusak surai hitam milik Alesya.
"Niat banget sampai disusul kesini, haha." Tukasnya, disusul kekehan yang keluar dari bibirnya.
Alesya mendelik, ia berdecak dan memutar bola matanya. "Ck, aku juga mana mau sampe bela-belain segalanya gini. Tapi karena ... ㅡah, udah lah!" Alesya bangkit dari duduknya dan berjalan keluar kamar, disusul Adnan.
● ● ●
"Kalau dua bulan kecepetan, nggak?"
Langkah kakinya terhenti di gerbang rumah. Serasa ada yang membakar emosinya ketika ia mendengar suara lelaki yang pernah menjadi panutannya itu dari dalam.
Ia memejamkan matanya, berusaha untuk tenang ketika melihat wajah orang-orang didalam nanti.
"Gavin? Sini duduk nak," sambutan hangat yang ia dapat dari tuan rumah rupanya tidak membuat hatinya luluh. Masih seperti ada kobaran api disana.
Kedua sudut bibirnya ia tarik secara paksa, menghasilkan senyuman kaku dari bibirnya. Ia sedikit membungkuk sopan lalu duduk di satu-satunya kursi yang kosong disana. Tempat yang sangat sengaja diatur.
Samping Adnan.
Tampak, lelaki disampingnya itu tampak antusias berada dalam obrolan. Sangat topeng.
"Udah ada Gavin juga, udah lengkap semua. Kita mulai aja, ya?" Ucap Tya dengan wajah senangnya. Tangannya pun bergerak menyalakan lilin berangka 40 diatas sebuah kue coklat.
KAMU SEDANG MEMBACA
AS
Teen FictionHighest Rank: #1 in SMA (091218) #26 in Fiksi Remaja #51 in Remaja (161118) Sherin suka Adnan, dan ia pun berpikir bahwa Adnan juga suka padanya. Karena perhatian Adnan yang menjurus kepada hal itu...