Part 29

2.3K 207 22
                                    

"Don't say you miss me when you don't call. Don't say you're hurting without the scars. Don't promise me tonight without tomorrow too. Don't say you love me unless you Roses."
~Don't Say You Love Me~
Fifth Harmony
★★★★★★★★

"Resh... Gue.. Minta maaf."

Perlahan, Sherra mulai memejamkan matanya. Tapi sebelum sempat menutup matanya, Resh berkata dengan keras. "NGGAK! Aku belum maafin kamu Sherra! Belum!"

Sherra yang mendengar itu menahan keinginan dari dalam dirinya untuk menutup mata. "Kenapa?" Lirih Sherra. Ia merasa tubuhnya ditidurkan diatas jok mobil dan Resh meletakkan kepalanya tepat diatas paha lelaki itu.

"Karena nama aku nggak akan segampang itu bersih walaupun kamu minta maaf ke aku." Balas Resh sambil membelai rambut Sherra perlahan. "Kamu harus bantu aku bersihin nama aku. Harus." Resh tersenyum saat mendapati senyum kecil di bibir Sherra. Aku nggak mau kamu ninggalin aku, Sherra. Aku harus bilang soal perasaanku ke kamu. Aku sadar kalo aku mulai sayang sama kamu. Itu alasan sebenernya.

"Buka mata kamu Sherra. Inget, Aku belum maafin kamu. Jangan berani-berani tutup mata sebelum aku maafin." Ucapan itu diulang oleh Resh entah berapa kali selama perjalanan mereka ke rumah sakit. Resh takut. Ia takut kehilangan orang yang -baru saja disadarinya- sangat berarti dalam hidupnya. Resh merasa ini semua salahnya. Kalau saja ia mempercayai Sherra, semua tidak akan jadi begini. Kalau saja ia tetap bersama Sherra malam ini, hal ini tidak akan terjadi. Kalau saja takdir tidak mempertemukannya dengan Sherra, perempuan di pangkuannya tidak perlu terluka. Kalau saja ia tidak gay... Kalau saja... Ia tidak memberitahu Sherra tentang itu.. Kalau sa---

Semua isi pikiran Resh seolah sirna saat sepasang telapak tangan kotor dan berdebu menangkup kedua sisi wajahnya. Tangan itu dengan lemah menarik wajah Resh supaya ia menunduk dan menatap sang pemilik tangan. Sherra menatap Resh tepat di manik matanya. Tatapan itu seakan mengatakan padanya, 'Don't blame on yourself, it's not your fault, jadi berhenti nyalahin diri lo sendiri.'

Lalu tak lama kemudian, tangan Sherra kembali menarik wajah Resh dengan sisa tenaga yang ia miliki. Sherra memposisikan dahi Resh tepat di bibirnya dan mengecupnya sangat pelan. Resh tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya tentu saja. Setelahnya, tangan lemah itu kembali terkulai ke sisi tubuh Sherra dan saat itu pula Resh mengangkat wajahnya. Ia mendapati Sherra tampak mengusahakan senyumnya dengan mata yang sudah tertutup.

"Sherr.... Sherr... Sherra! Dammit! Jangan tutup mata kamu! Heh, aku bilang apa tadi?! Kenapa kamu nggak nurut sih! Sherra!" Air mata Resh kembali mengalir saat melihat mata Sherra yang akan tertutup. Ia menggenggam tangan Sherra sambil terus berkata-kata. 

Sherra yang mendengar itu menggenggam balik tangan Resh dengan lemah dan kembali membuka matanya. "Aku nggak mati. Aku cuma capek." Suara Sherra sagat lirih, bahkan suaranya tidak terdengar oleh Awan yang 'menyupir' di kursi pengemudi sambil mendengar drama romantis mereka sedari tadi, suara Sherra hanya menyerupai bisikan. Lalu setelah merasa cukup dengan penjelasannya kepada Resh, Sherra kembali menutup matanya. Kali ini Resh tidak sepanik tadi. Ia menyadari satu hal, bahwa selama nadi di pergelangan tangan Sherra yang ia tempatkan digenggamannya masih berdenyut, maka Sherra hanya tidur sebentar, dan selama Sherra masih membalas genggaman tangannya, itu berarti Sherra masih hidup. Dan Sherra memang tidak boleh pergi. Tidak boleh.

★★★★★★★★

"Kondisi temannya baik-baik saja. Memang ada luka dan goresan dimana-mana, tapi hal itu bisa kami atasi dengan mudah. Faktor yang lebih berat, yang lebih berpengaruh kepada pasien, adalah stres dan trauma ringan. Kami harap kamu bisa membantu temanmu untuk pulih dari trauma ringan itu lebih cepat. Mungkin sekitar dua hari lagi saudari Sherra bisa pulang."

"Begitu ya. Makasih, Dok." Ucap Resh sambil tersenyum tipis kepada dokter dan dua orang suster di sisi kanan kirinya yang membungkuk pamit undur diri. Awan yang duduk di kursi depan ruangan Sherra hanua bisa menatap Resh yang tampak mengusap wajahnya dan mengacak rambutnya. Tepat saat itu, beberapa orang berlari kearahnya. Resh yang mendengar suara derap kaki itu langsung menoleh.

"Gimana? Udah kalian urus?" Tanya Resh kepada para lelaki yang baru saja sampai di rumah sakit. Kedua lelaki yang ditanyai itu mengangguk mantap.

"Lo tenang aja. Tadi pas lo bawa Sherra ke mobil, Aaron sama Wira udah bawa dia udah di kantor polisi. Kasusnya bakal diurus secepatnya. Rafael bangsat itu pasti kena pasal berlapis. Kekerasan terhadap perempuan sama penggunaan narkoba." Tutur Vito sambil melipat tangannya.

"Bener tuh. Gue yakin paman gue bisa mewakili Sherra di persidangan, dan itu orang bakalan dapet hukuman penjara seumur hidup." Timpal Nando yang pamannya adalah seorang pengacara.

"Gimana kalo Sherra harus dateng ke pengadilan? Orangtuanya bakalan tau dong?" Tanya Resh lagi sambil menatap Nando. Nando hanya menarik nafas dan menggelengkan kepalanya, "Gue nggak tau tentang hal itu, nanti gue bilangin ke paman gue supaya ngusahain Sherra gak perlu dateng ke pengadilan. Tapi kalo emang ada keharusan, gue gak bisa apa-apa. Lo harus bilang tentang ini ke orangtuanya."

"Tapi Resh, lo harus tetep ngomong soal ini ke orangtuanya Sherra. Karena ini sesuatu yang serius. Jangan nyembunyiin apa-apa lagi, Resh. Nantinya hal itu bisa jadi umpan buat diri lo atau orang lain lagi. Belajar dari kejadian ini." Ucap Ine yang ikut hadir bersama Nando.

"Pasti. Setelah Sherra pulang, aku bakal bilang ke orangtuanya." Ucap Resh. India yang berdiri samping Ine tertawa kecil dan berkata, "Kalau gitu bilangin juga, aku minta maaf udah bohongin mereka. Aku tadi bilang ke mereka kalau Sherra aku ajak main ke rumah grandpa aku di luar kota. Padahal kakek aku tinggal di SF semua. Hehe.."

Resh mengangguk menimpali perkataan India. "Sekerang Wira sama Aaron dimana?" Tanyanya lagi kepada Vito.

"Mereka on the way kesini. Tadi gue di LINE." Jawaban Vito membuat Resh menghembuskan nafasnya. Dia sudah merepotkan banyak orang. Resh bahkan menelepon mereka satu per satu saat menyadari bahwa otak psikopat Rafael pasti menginginkan Sherra mengalami trauma di tempat kejadian yang sama dengan kasus sebelumnya. Pikiran psikopat memang kadang tidak masuk akal, namun mudah ditebak.

"Umm.. Resh.. Lo gak mau ngeliat keadaan Sherra gitu?" Ucap Nando sambil menunjuk kearah pintu rumah sakit. Resh menatap kearah yang ditunjuk oleh Nando dan berjalan kearah itu. Resh membuka pintu itu perlahan dan masuk ke dalam ruangan Sherra.
Saat pintu dibuka, Resh langsung dapat melihat Sherra yang terlelap dalam tidurnya dengan nyaman. Resh tau, kalau Sherra pasti sangat butuh tidur saat ini. Untuk memulihkan kondisi tubuhnya.... Dan mengganti waktu tidur yang hilang karena memikirkan banyak hal belakangan ini.

Resh mendekati Sherra dengan suara kaki seminimal mungkin. Setelah sampai tepat di samping brangkar tempat Sherra terbaring, Resh mengelus kepala Sherra dan mengecup puncak kepala gadis itu perlahan.

"Get well soon, Sherra. I love you."

Setelah berkata demikian, Resh melangkah pergi keluar ruangan dengan langkah pelan, dan dengan perlahan pula -tepat saat bunyi pintu ruangan ditutup terdengar- Sherra membuka matanya.

Jangan bilang lo sayang gue, Resh. No, you don't. Lo nggak sayang gue. Rasa itu belum tentu sayang.

Kenapa gue bilang gitu?

Karena gue gak yakin lo bisa sayang sama cewek. Apalagi cewek kayak gue.

★★★★★★★★

Hai hai... Update lagi :))

Vomments yang banyak ya.. Biar aku makin semangat nulis:D

Callista

Our Fresh TeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang