"Right now, I'm in a state of mind. I wanna be in, like, all the time. Ain't got no tears left to cry."
~No Tears Left To Cry~
Ariana Grande
★★★★★★★★Sherra membuka matanya perlahan ketika ia mendengar suara orang bercakap-cakap, walaupun suara percakapan itu hanya terdengar sayup-sayup di pendengarannya, tetapi tetap saja hal itu seakan memaksa Sherra untuk membuka matanya.
"Pagi Sherra... Lo udah bangun ternyata." Ucap Ine yang berada di hadapan Resh sambil menoleh kearah Sherra. Resh dan Ine sedang bercakap-cakap tepat di depan jendela kamar yang telah dibuka, menampilkan matahari pagi yang terlihat lumayan terik.
"Aku panggil dokter dulu." Ucap Resh sambil berjalan mendekati brangkar tempat Sherra berbaring dan menekan tombol panggilan. Setelahnya, Resh menatap wajah Sherra. Beberapa bekas goresan serta lebam menutupi wajah gadis itu. Hal itu kembali membuat Resh menyumpahi dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia mencelakai seseorang yang tidak bersalah? Seharusnya Sherra tidak perlu mengenalnya, agar perempuan yang sedang ditatapnya tidak mengalami kejadian buruk seperti sekarang.
"Jangan nyalahin diri lo sendiri."
Sherra mendongak dan menatap Resh dengan senyum tulus yang tersungging di bibir pucatnya. "Ini bukan salah lo. Harus gue bilang berapa kali sih, Resh? Gue nggak akan nyalahin lo, dan gue nggak pernah menyesal atas..." Sherra mengalihkan pandangannya, senyumnya sirna, dan ia terdiam sejenak.
"Atas apa, Sher?"
"Atas pertemanan kita." Sherra kembali menatap Resh sambil tersenyum tipis, dan tepat setelah Sherra mengucapkan hal itu, seorang dokter laki-laki masuk diikuti dua orang perawat yang ada dibelakangnya. Mereka masuk setelah Ine membukakan pintu untuk mereka.
"Selamat pagi... Saya cek dulu ya. Permisi.." Ucap dokter itu sambil mendekat kearah brangkar Sherra. Hal itu membuat Resh terpaksa mundur beberapa langkah dan memberi akses kepada dokter itu untuk memeriksa keadaan Sherra. Selain itu, pemeriksaan ini juga membuat Resh yang ingin menimpali perkataan Sherra perihal 'pertemanan' menjadi tertunda.
Setelah beberapa saat semuanya diam dan hanya memperhatikan sang dokter dan kedua perawatnya yang mondar-mandir di sekitar brangkar Sherra, pintu ruangan Sherra kembali diketuk oleh seseorang. Resh langsung memberi isyarat kepada Ine untuk membuka pintu, dan ternyata yang datang adalah Nando. Lelaki itu memberi isyarat bahwa ia akan mengajak Ine sarapan di kafetaria lantai bawah rumah sakit. Resh mengangguk menanggapinya, mengingat sekarang sudah pukul sembilan pagi dan Ine belum sarapan sedari tadi.
Tepat saat Nando dan Ine keluar serta menutup pintu, sang dokter berbalik kearah Resh dan memberitahu, "Kondisi pasien sudah mulai stabil. Tapi jangan memaksa dia melakukan sesuatu secara berlebihan dulu. Kalau mau jalan atau duduk, dibantu pelan-pelan. Makan sama ke kamar mandi juga tolong dibantu. Usahakan pasien mulai bergerak sedikit demi sedikit, supaya tidak kaku persendiannya. Kalau untuk lukanya, sudah tertutup dan hanya tinggal menunggu penyembuhannya."
"Gitu ya, Dok. Oke.. Makasih, Dok." Ucap Resh. Setelahnya, sang dokter dan kedua perawat pamit pergi keluar dari ruangan Sherra, dan Resh menanggapi dengan anggukan.
"Denger kata dokter kan, Sher? Kamu harus banyak jalan, biar nggak kaku. Aku bantuin ya nanti." Kata Resh kepada Sherra. "Sekarang... Kamu mau makan? Makan ya. Sarapan rumah sakit udah dateng tadi pagi. Aku suapin aja gimana? Berarti kamu duduk dulu. Biar aku bantuin ya." Resh mendekati Sherra yang masih bingung menyerap setiap perkataan yang dilontarkan oleh Resh.
Resh menaikkan bagian atas brangkar Sherra perlahan-lahan dengan tombol yang ada di samping brangkar. "Segini cukup?" Tanya Resh.
"Naikin dikit lagi."
Setelah Resh menekan tombolnya selama sedetik, Sherra mengangguk, pertanda ia sudah nyaman dengan posisi itu. "Sekarang makan ya." Resh meraih piring berisi nasi yang sudah diolah menjadi lebih lembut dari meja di samping brangkar Sherra, membuka plastik penutupnya, lalu menambahkan sup yang sudah mulai dingin dan tempe masak kecap.
"Buka mulut kamu Sher." Resh mendekatkan sendok kearah mulut Sherra. Sherra mengernyit lalu menjauhkan kepalanya. "Kebanyakan." Tolaknya.
Resh menatap sendok yang terisi penuh dan segera mengurangi isinya, lalu kembali mengarahkannya ke mulut Sherra. Kali ini Sherra menerima suapan itu, dan mengernyit kembali saat menyadari rasa makanan itu hambar menuju kearah pahit. Karena Sherra bukan orang yang bodoh, ia tidak akan berkata 'Gamau, makanannya pahit.' dengan nada manja kepada Resh. Ia hanya diam, mengunyahnya pelan, dan menerima kembali suapan demi suapan dari Resh. Saat menelan makanannya, Sherra harus sedikit menahan rasa nyeri yang muncul di bagian perutnya, entah kenapa.
Sementara itu, setelah sekitar sepuluh suapan diberikan, Resh merasa Sherra mulai enggan dengan makanan yang ia suapkan, walaupun perempuan itu tetap menerima makanan yang ia berikan, tetapi Resh tetap dapat mendapati keengganan Sherra, mungkin karena rasa sensitif Resh terhadap perasaan orang lain.
"Kenyang ya, Sher? Udah dulu kalo kenyang. Jangan dipaksain." Sherra mengangguk. Resh meletakkan piring dan mengambil gelas berisi air mineral serta tablet obat yang ada di sampingnya, lalu memberikannya kepada Sherra. "Kata dokter, ini obat pereda nyeri, disuruh minum ini biar memar di perut kamu nggak linu."
Ternyata lebam, pantesan sakit. Ucap Sherra dalam hati.
Setelah meminum obat, Sherra mengembalikan gelas kepada Resh sambil berkata, "Apa orangtua gue tau soal ini?" Resh terdiam sejenak, lalu membalas perkatsan Sherra, "Nanti malem rencananya aku mau ke rumah kamu, kasih tau tentang ini ke mama papa kamu."
Sherra menatap Resh khawatir, "Nanti mereka marah sama lo gimana? Jangan Resh. Mendingan lo nggak kasih tau mereka."
"Ya nggak bisa dong, Sher. Mau ngasih tau apa nggak, akhirnya juga bakal ketahuan. Lebam di wajah kamu nggak mungkin hilang dalam dua hari." Resh tersenyum kecil, "Jadi daripada bohongin mama papamu, trus ketahuan dan mereka bakalan marah ke kamu, mendingan jujur aja."
"Lah? Jadinya lo dong yang dimarahin?"
"Huss.. Jangan ngira-ngira dulu. Belum tentu juga mereka marah yakan? Kalaupun mereka marah, ya emang sebenernya salah aku. Jadi kamu tenang aja."
"Tapi kan...."
"Ssstt.. Apaan sih, Sher. Nggak bakal dimarahin kok. Tenang aja." Resh memotong perkataan Sherra dengan kalimat yang bahkan ia ragu akan kebenarannya. Mana mungkin orangtua tidak memarahi orang yang secara tidak langsung menyakiti anak mereka? Rasanya hampir tidak mungkin. Semua orangtua tidak akan suka anaknya disakiti kan?
"Kamu sekarang mendingan istirahat deh. Aku tungguin disini. Nanti waktu kamu bangun, kita ngobrol lagi." Sherra mengabaikan ucapan Resh dan malah balik bertanya, "Lo udah makan?"
"Udah kok tadi."
Bohong. Siapa yang bisa makan sesuap nasi saat orang yang disayangi terbaring di ranjang rumah sakit? Apalagi orang itu terluka karena kesalahannya. Tidak mungkin yakan?
Namun tampaknya Sherra tidak menyadarinya, gadis itu mengangguk dan Resh kembali berkata, "Yaudah, sekarang kamu tidur ya. Aku tungguin disini kok." Sherra mengangguk dan mulai menutup matanya karena efek obatnya ternyata juga menimbulkan rasa kantuk.
Detik-detik yang hening berlalu, Resh terdiam dengan tidak bosan memandangi wajah damai Sherra. Tangan Resh perlahan terulur untuk membelai puncak kepala Sherra. Sekali lagi lelaki itu berkata, "Maafin aku ya, Sher."
★★★★★★★★
Hai hai... Update lagi:))
Maaf ya updatenya lama, hari libur membuatku terlena dan malas ngetik #BahasaApaanIni #Pemalas
Vomments yang banyak yaa.. Biar aku makin semangat nulis:D
Callista
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Fresh Tea
Teen FictionOur Series 2, cerita kedua dari trilogi Ours. Menenangkan. Itulah definisi dari teh tawar. Aromanya mampu membuat banyak orang menjadi lebih rileks. Sama dengan Elsherra Olivia Christian. Sifatnya yang tenang adalah andalannya. Hidupnya selalu tawar...