Part 35

3.6K 222 32
                                    

"Where there is desire, there is gonna be a flame. Where there is a flame, someone's bound to get burned. But just because it burns, doesn't mean you're gonna die. You gotta get up and try, and try, and try."
~Try~
Pink
★★★★★★★★

"Mau apa kesini? Bukannya kemauanmu udah aku ikuti?" Ucap lelaki dengan mata lelah dari dalam rumahnya. Lelaki itu bahkan tidak mau repot-repot keluar untuk melihat langsung wajah lawan bicaranya. Ia memilih berbicara melalui interkom yang ada di sisi samping pintu kamarnya. Interkom itu menyambungkannya langsung dengan orang yang berdiri di depan rumahnya malam ini.

"Please, Resh... Gue butuh ngomong langsung."

"Soal?"

"Soal pembatalan omongan gue yang waktu itu."

Resh mengernyit heran, setahunya, kakak Sherra -yang berdiri di depan rumahnya- adalah orang berprinsip yang tidak akan pernah sekalipun menarik kata-katanya. Lantas, apa yang membuat Sam menarik ucapannya?

"Tunggu disana. I'm walking down." Resh mematikan interkom dan melangkah keluar dari kamarnya sambil mendesah kesal. Menuju ke pintu depan rumahnya mengeluarkan cukup banyak tenaga, dan Resh sedang tidak ingin mengeluarkan banyak tenaga saat ini.

Sesampainya di pintu depan, Resh menekan tombol sensor, dan pintu tersebut terbuka dengan sendirinya, menampilkan Sam yang sedang melipat tangan sambil berdecak. "Lima menit buat turun? Lo ngesot?"

"Ini juga udah cepet, seandainya kamu tau kamarku ada di lantai 4." Resh mempersilahkan Sam masuk, walaupun terakhir kali ia melakukan hal itu, Sam menolak dan malah menghajarnya tepat di depan pintu masuk.

"Mau minum apa?" Sam menjawab dengan menangkat bahu sambil berkata, "Terserah lo aja." Resh hanya mendecak dan menekan tombol di Ipad yang tersedia diatas meja, dan tak lama kemudian, meja itu terbuka, menampilkan segelas air dan secangkir teh.

"Jadi, apa yang mau kamu bicarakan?" Resh menatap Sam sambil melipat tangannya.

"Seandainya gue nggak kenal Vano, gue bakalan geli dengen gaya bicara aku-kamu lo itu." Sam mulai berbasa-basi. "Jadi, gue mau ngebatalin suruhan gue buat jauhin Sherra." Lanjut Sam.

"Hah?" Resh sekali lagi mengernyit tidak mengerti. "Apasih maksudnya? Kenapa kamu tarik perkataanmu yang jelas-jelas kamu omongin dalam keadaan sadar?"

"Karena gue nggak mikirin perasaan Sherra waktu itu."

Sam menghela nafas dan mengusap wajahnya. "Waktu itu gue cuma mikir, apa yang menurut gue baik, pasti juga baik buat adik gue. Gue nggak mikirin perasaan dia. Apalagi setelah lo dateng ke rumah gue, dn kasih tau kalau Sherra ada di rumah sakit."

Sam ingat pada saat itu dirinya benar-benar kalut. Beruntung sekali Resh bertemu dengannya, jika yang membuka pintu saat itu adalah ayahnya, Resh akan diikutsertakan dengan semua pelaku kejahatan menuju ke proses hukum.

Hanya saja, Resh bertemu Sam. Sam yang hanya akan mengadili Resh, dan memberikan hukuman 'ringan' pada Resh. Saat itu Sam memaksa Resh menjauhi Sherra dengan sejuta alasan masuk akal. Selain itu, Resh juga memberi bonus hantaman tangannya kepada Resh di beberapa tempat.

Hanya itu, dan Resh harus menurutinya. Karena sebenarnya, yang dibicarakan oleh Sam semuanya benar. Resh ingat satu hal dari ribuan kata yang dilontarkan oleh Sam di hari itu, 'jauhin adik gue, lo cuma bisa buat dia susah. Lo cuma bisa ajak dia ada masuk ke situasi berbahaya. Lo nggak akan pernah bisa buat dia bahagia'.

"Tapi aku memang bukan yang terbaik buat adikmu, buat Sherra. Aku cuma bisa buat dia susah, itu benar. Aku nggak bisa buat dia bahagia." Resh menutup mata lelahnya dan menyenderkan kepalanya ke bagian atas sofa.

"Lo salah." Ucapan Sam langsung membuat Resh membuka kembali matanya. "Apa?"

"Lo salah." Ulang Sam. "Gue juga salah."

"Gue sangka lo nggak bisa jadi yang terbaik buat Sherra, dan lo juga mikir gitu." Sam mendengus kecil, ia tidak suka mengucapkan kalimat berikutnya, tapi ia harus.

"Tapi Sherra merasa, kalo lo adalah yang terbaik buat dia. Gue nggak bisa berbuat apa-apa lagi. Selama ini gue cuma mikir adik gue satu otak sama gue. Ternyata enggak. Sekarang gue baru sadar, kalau Sherra punya hidupnya sendiri. Gue nggak perlu ngatur hidupnya lagi. Gue cukup ngawasin dia dari jauh."

"Dan kalo emang lo yang bisa bikin adik gue bahagia, gue bakalan biarin lo deketin adik gue lagi." Sam meraih tehnya yang sudah mulai dingin.

"Serius?" Ucap Resh tidak percaya. Ia kira, hubungannya dengan Sherra selamanya tidak akan berjalan lancar karena dibayangi oleh Sam.

"Tapi..." Sam meletakkan cangkirnya, lalu menatap Resh tajam, "Lo harus janji ke gue. Bukan janji buat membahagiakan Sherra -karena gue tau, lo adalah kebahagiaan Sherra saat ini- tapi janji buat melindungi Sherra dari semua hal."

Resh mengangguk, "Pasti."

Sam mendesis, "Semua hal yang gue maksud, bukan cuma orang lain, tapi juga diri lo sendiri. Lo harus kurang-kurangin niatan lo buat bikin Sherra cemburu. Adik gue itu sebenernya cengeng, sok kuat aja dia. Kalo lo deket sama cewek lain, dia bakalan cemburu. Level parahnya, nangis."

Resh tertawa, "Aku nggak ada niatan. Tapi kalau bisa jadi sedikit drama, kenapa enggak? Lucu juga, kan."

"Nggak ada drama-dramaan. Awas aja lo kalo berani bikin drama lagi." Ancam Sam serius. Resh tersenyum miring sambil mengambil gelas air, lalu meminumnya.

"Gue balik dulu, rasanya udah nggak ada yang perlu gue omongin lagi." Sam bangkit berdiri dari sofa diikuti oleh Resh yang melakukan hal sama.

Resh mengantarkan Sam menuju ke pintu depan, dan sesampainya di pintu depan, tebak apa yang ia dapatkan?

Sebuah kepalan tangan tepat menghantam pipinya. Sam yang menonjoknya tersenyum miring. "Satu lagi, itu hadiah buat lo karena nembak adik gue pake surat. Gue nggak suka." Setelah mengucapkan hal itu, Sam menuruni anak tangga kecil menuju ke halaman tempat motornya terparkir.

Sebelum naik keatas motirnya, Sam menatap Resh yang memegang pipinya sambil melemaskan rahangnya. "Kalo lo emang cowok, tembak langsung. Bukan lewat surat." Sam naik ke atas motornya dan mengenakan helm-nya.

"Tembak adik gue secepatnya. Dia... Butuh kepastian dari lo." Setelah mengucapkan hal itu, Sam meninggalkan halaman menuju pagar rumah Resh yang berada sekitar seratus meter dari halaman.

Resh perlahan menerbitkan senyumnya. Malam ini, dia bisa tidur dengan nyenyak. Ia merasa sangat lega, semua masalah akhirnya selesai disini, dan seperti yang diucapkan oleh Sam, ia pasti akan menembak Sherra secepatnya. Karena saat ini, Sherra adalah kebahagiaannya. Kebahagiaan sederhana yang tidak pernah disangkanya.

Katakanlah Resh tidak normal karena pernah menyukai sesama jenisnya. Tapi rasa cinta yang ia rasakan saat ini juga bukanlah sesuatu yang normal. Cinta adalah sesuatu yang tidak normal. Rasa cinta bisa mengombang-ambingkan perasaan kita, bisa membangun ataupun menghancurkan, bisa menyenangkan maupun menyakitkan, bisa penuh senyuman maupun air mata.

Semua perasaan dalam cinta terbit tanpa rencana. Cinta adalah sesuatu yang tidak normal, tapi itu semua adalah seni dalam kata cinta.

Our Fresh Tea
"When love is something that's not normal."
-Resh&Sherra-

The End

★★★★★★★★

Epilog tanggal 9 September di update... Tunggu yaa:))

Callista

Our Fresh TeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang