"Hai Adek."
"Iya, Bang."
"Boleh tanya sukumu apa, Dek?"
"Boleh. Koto."
Saat telah dekat dengan seseorang, aku takkan ingin mengetahui yang lain. Aku tak pernah ingin tahu tentangmu sehingga aku tak perlu bertanya kembali tentang apa yang kau tanyakan kepadaku. Setelah pertanyaan yang kau ajukan melalui SMS itu, kau ternyata telah menggemparkan isi kelas IPA 1 saat itu. Kau juga telah menghacurkan hubunganku dengan teman sekelasmu, sosok yang telah menyatakan kekagumannya kepadaku dan kami telah berkomitmen untuk saling menjaga hati. Bang Fadil namanya.
"Ternyata kita kerabat jauh ya, Dek."
Pesan singkat itu masuk seusai aku mengaji ba'da Maghrib. Bang Fadil memang sering mengirimkan pesan kepadaku pada jam-jam demikian. Namun kali ini, pesan itu lain. Tanpa salam, tanpa pertanyaan sudah mengaji atau belum, dan tanpa tanda-tanda pengingat lain.
Malam itu adalah malam di luar persangkaan. Bang Fadil menjelaskan kepadaku bahwa ia mengetahui aku dan dirinya sesuku dan itu adalah sesuatu yang pantang di dalam adat kami. Sebagai orang Minang yang menjunjung tinggi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, melanjutkan sesuatu yang takkan pernah memiliki titik temu seumpama mencoba menegakkan benang yang basah. Lagi pula, saat itu kami masih masa putih abu-abu.
Aku tak bisa menanggapi apa-apa atau pun bersikukuh untuk tetap melanjutkan kisah dengan Bang Fadil karena sudah kehilangan kata-kata. Yang kuingat saat itu adalah kekesalan kepada Sipembon.
***
Tampak depan aku mungkin baik-baik saja. Namun jujur saja, untuk pelajaran dalam satu minggu ke depan aku tidak yakin bisa mencernanya dengan baik. Pikiranku dipenuhi kecemasan akan perasaan Bang Fadil. Dua orang teman perempuannya menghampirku saat jam istirahat.
"Bina, mengapa Bang Fadil tidak fokus begitu. Tadi saat belajar ia tidak memperhatikan guru dan tidak bisa menjawab pertanyaan."
"Iya, kami di kelas semuanya sudah tahu tentang kalian. Yang sabar ya, Dek Bina." Seorangnya lagi menimpali.
Aku saat itu hanya bisa diam terperanjat. Aku tak ingin membuat pagi hari itu seperti film drama. Aku tak mungkin harus memperlihatkan diriku yang ingin melongo terduduk, bahkan tersesak isak mendengarkan kabar itu. Kuputuskan untuk melemparkan senyum kepada dua seniorku itu.
"Iya, Kakak. Sabar. Makasi untuk informasinya ya, Kak."
Aku segera melarikan pandanganku menuju area sekitar kelas Bang Fadil. Tak sedikit pun kutemukan tanda-tanda ia keluar, atau barangkali sudah keluar sejak tadi. Sampai lonceng berbunyi tanda dirinya masuk pun juga tidak ada. Ada seseorang menyapaku dari jauh.
"Hai, Dek. Kenapa tidak masuk? Kan sudah bunyi lonceng."
"Gurunya belum datang, Bang."
"Cie... dari tadi liatin kelas Abang terus. Sedih karena Bang Fadil ya."
"Semua gara-gara Abang, tauk!"
Aku mendadak jutek dan segera masuk kelas karena tak betah dengan ocehan lelaki yang bernama Dhamar itu.
Dhamar adalah sebuah nama yang berarti lentera. Aku menyebut nama itu sebagai Sipembon saat ini. Kejadian yang kuceritakan tadi masih menjadi teka-teki. Kedekatan kita bermula saat sebuah tanya membuat kita harus mencari jawaban-jawaban lain.
2
Pernahkah muncul pertanyaan dari pikiranmu bahwa ketika kau ditikung oleh seseorang yang kau anggap saudara sebagai pengkhianatan atau selama ini kaulah yang telah menjaga jodohnya? Lantas apakah boleh kita berterus terang meminta kepada seseorang "maukah kau menjadi pelampiasanku?" lalu dengan seketika mereka menjalani sebuah hubungan 'pelampiasan'.

KAMU SEDANG MEMBACA
BONSAI
Teen Fiction"Seandainya kau tak pernah menyisakan tanda, tentu aku takkan mencari cara untuk memaknai cinta [sekali lagi]."