Juni 2013
Aku tak pernah mengirimkan tanya. Bukankah kau yang kerap bertanya dengan alasan melindungi hatimu sendiri. Kau terlalu menakuti resiko walau kau sebenarnya lebih peka.
Beberapa hari setelah segala yang tersimpan terungkap, hal yang sudah terbiasa tentu akan tetap menjadi biasa saja—aku bisa saja melalui semua tanpa menjadikan hal ini sebagai beban pikiran. Bukankah setiap pertemuan adalah menjadi diri sendiri. Segala spontanitas tanpa memikirkan sebaik-baik bahasa. Dia bukanlah orang yang penuh dengan pujian, bukan orang yang bisa memilihkan bahasa paling manis, tetapi mampu membuatku tertarik dengan dirinya, dengan apa adanya dirinya. Aku begitu nyaman dengan hubungan yang selama ini tak pernah kita perhitungkan. Hanya saja mengapa kini menjadi lain. Bang Dhamar berhasil membuatku merasa bersalah.
Ia mungkin telah setahun lebih kutunggu, tiap hari yang kulalui itu dalam perasaan angan yang kosong, tapi kini ia seakan telah menyulapnya menjadi berisi. Ia ada. Ada tanpa melupakanku—aku pun begitu.
Meskipun saat ini aku belum mampu melupakan. Ia tetap bisa kembali dengan membawakan oleh-oleh sebuah perasaan ragu. Ia membagikannya kepadaku, dengan cerita-cerita tentang wanita yang sedang dekat denganya. Aku benar-benar ragu. Dicintai olehnya seakan menjadi papan pemanah. Ia pemanah yang mencintai waktu-waktu luang dan kemudian menghitung-hitung peluang. Peluang berapa kali melepaskan panah untuk bisa menuju sasaran yang tepat.
Aku hanya papan panah
Yang membiarkanmu melepaskan panah-panah
Kapan pun kau ingin mencabutnya aku siap
Sebab sekali kau gagal menuju sasaran, kau hanya butuh waktu
Aku bersabar menunggu
Kau bersabar mengusahakannya
***
Malam hari ini, kau menelponku kembali. Entah mengapa saat itu hilang keinginanku untuk bersenang-senang di telepon denganmu. Tanpa sadar terucap olehku apa yang telah menjadi sugesti.
"Aku merasa sedang dipermainkan olehmu," sahutku.
"Kalau memang begitu yang Adek rasakan, baiklah maafkan aku, aku sepertinya harus meneruskan kesetiaan. Tak ingin menyakiti dirinya dan dirimu."
Aku sudah menduga semuanya. Terlalu aneh memang. Dia yang menyatakan, dia yang mengungkapkan, kemudian dia pula yang tidak memilih. Dalam hatiku mengapa ada lelaki semacam ini. Tanpa ingin memperdebatkan, aku tidak menjadikan kejadian itu sebagai persoalan. Kurasa memang ini yang terbaik. Aku pun mengatakan sebaiknya kita memang berteman saja. Namun dia mengatakan tidak mau.
"Lalu kau mau aku melupakan dan tidak menganggapmu? Boleh juga."
Terkadang ketidakmengertian bisa membuat kita menerka-nerka kemauan.
"Kau jangan lagi menuliskan tentangku di blogmu."
"Bukannya kau tak punya blog dan anti dengan media sosial."
"Aku tetap bisa melihatnya meski tidak memiliki media sosial atau akun blog."
"Kalau begitu tidak usah lihat."
"Kau keras kepala."
Seketika dirinya mengatakan aku yang keras kepala, aku tak bisa menjadi lebih keras lagi.
"Ya sudah. Baiklah."
"Terimakasih adikku."
"Sama-sama orang aneh."
Aku merasa semakin dewasa. Aku yang bisa mengalah. Aku. Dan karena aku yang mengalah, kita kembali menjadi saudara seperti setahun silam.
9 Juni 2013
Aku pernah berkata jangan pergi sementara kakiku melangkah seperkian meter menuju kilometer tak hingga.
Aku pernah bercerita hangat tentang kisah, tentang masa-masa tak penting—hanya untuk membuat beku malam sedikit meleleh.
Lalu aku 'sempat bosan' jadi bagian kata-kata rindu. Aku ingin sendiri menikmati angin yang tak pernah singgah.
Aku ingin sekali mengubah kebiasaan yang kau suka.
Aku ingin sekali membiarkan semua berlalu, meninggalkan.
Ada yang datang, lalu pergi tanpa kembali, dan kemudian sendiri.
Barangkali cinta sebegitu tega.

KAMU SEDANG MEMBACA
BONSAI
Novela Juvenil"Seandainya kau tak pernah menyisakan tanda, tentu aku takkan mencari cara untuk memaknai cinta [sekali lagi]."