Kau adalah ceritaku yang belum usai. Bukankah kau sempat mencuri kata-kataku lalu bersembunyi? Sejak itu kutinggalkan kau dengan jutaan kata-kata yang sepi. Kubiarkan kau bermain peta umpet. Kubiarkan aku tuli dan bisu-tanpa memberitahu meski kau seringkali mengatakan kau ada. Kau lilin yang nyaris padam membakar rasa sayang kepadaku. Kau tak perlu katakan apa-apa lagi sekarang. Aku masih sama seperti dulu. Aku masih gadismu yang utuh di bingkai kenangan. Kembalikan lagi kata-kataku, sayang. Aku masih ingin mengabadikanmu dalam yang cerita yang belum sempat selesai.
Hari ini adalah pertemuan kami yang tak bisa kuhitung sejak tujuh tahun berlalu. Kemarin adalah hari wisudaku, Bang Dhamar tak bisa datang karena ada urusan mendadak. Tak apa, aku mengerti atas pilihan untuk menjadi suatu prioritas dan aku bisa berempati untuk mencoba di posisinya. Tentu saja hal itu lebih penting karena aku bukan siapa-siapa.
Hari ini aku langsung mengurus legalisir ijazah untuk keperluan pendaftaran CPNS. Aku sebenarnya belum siap untuk bekerja karena masih ingin meneruskan kuliah. Aku masih merasa ilmu yang kupunya masih sedikit. Aku masih memiliki cita-cita yang telah terganti. Memang waktu mampu mengubah segalanya. Dosen yang sewaktu dulu pernah mengatakan cita-citaku yang rendah saat mengatakan ingin menjadi seorang guru bukanlah menjadi penyebab aku mengubah cita-cita dahulu. Sebab bagiku guru adalah profesi yang mulia. Hanya saja guru-guru saat ini telah terbebani dalam segi waktu untuk mempersiapkan perangkat pembelajaran dibanding dengan cara meningkatkan kualitas belajar itu sendiri. Aku pun telah mencoba menyeimbangkan persiapan kuantitas dengan kualitas belajar itu saat menjadi mahasiswa praktek lapangan kependidikan.
Aku benar-benar sibuk walau memang aku dapat menjalani semua itu dengan baik. Aku bisa menyempatkan diriku untuk melatih siswa menulis, menjadi pembawa acara, menjadi pemain drama, dan membaca puisi. Tak sama seperti guru-guru di sana yang tidak memiliki waktu untuk membimbing hal semacam itu selain pada saat jam pelajaran sekolah. Aku tentu saja memaklumi. Karena sebagai seorang guru yang sudah menikah dan memiliki anak atau bisa dikatakan keluarga kecil, tentu saja ada kewajiban lain yang musti dituntaskan ketimbang pekerjaan.
Aku memiliki prioritas untuk menjadi wanita yang berkarir pada bidang yang tidak begitu menuntut waktu, apalagi untuk mengorbankan kepentingan keluarga yang seringkali dianggap menjadi kepentingan pribadi. Bukankah keluarga adalah yang utama. Aku malah idealis berpikir bahwa setiap guru seharusnya memiliki asisten guru yang disebut guru muda untuk membantunya. Sebab peluang anak muda untuk totalitas dalam pekerjaan tentulah lebih besar sebab ia belum memiliki tanggung jawab berupa memberi waktu lebih untuk hal yang lain. Yang muda yang berkarya dan karena masih muda itulah manfaatkan waktu sebaik mungkin.
Ada beberapa kebijakan dalam dunia pendidikan yang sebenarnya dapat dikritisi seperti waktu sekolah yang begitu menyita guru dan murid padahal kedekatan dengan keluarga sangatlah penting. Di negeriku ini, slogan yang selalu ditekankan adalah kerja, kerja, dan kerja. Namun di negeriku ini juga dikatakan bahwa negeri ini adalah negeri yang kaya akan sumber daya alam dan daerah pariwisata. Lantas kapan pekerja bisa menikmati negerinya sendiri jika hari Minggu lebih pantas untuk menjadi waktu beristirahat.
Aku telah membaca beberapa kebijakan luar negeri yang waktu belajar begitu minim sehingga warganya bisa dengan mudah liburan ketika mereka mau. Belajar dari pengalaman bukankah lebih indah ketimbang mempelajari semuanya dengan buku. Sayangnya, buku di negeriku juga begitu mahal. Berbeda dengan negara lain yang memberikan subsidi untuk percetakan buku agar buku bisa terjangkau oleh seluruh warga.
Kata dosenku, aku perlu menjadi seseorang yang lebih dari guru. Beliau memberikan pesan kepadaku untuk melanjutkan studi agar bisa menjadi dosen yang mengajarkan calon-calon guru hebat agar guru-guru di negeriku berkualitas.
Aku tak tahu Sipembon. Menjadi guru atau dosen, selama niatku tidak salah, kedua hal itu sama baiknya. Meskipun kini aku menginginkan untuk menjadi seorang dosen, aku tetap tak ingin lari dari keinginanku yang lain.
Aku memiliki banyak mimpi. Menjadi seorang dosen yang memiliki rumah singgah bernama Kampung Swasembada Literasi. Swasembada yang diartikan sebagai usaha mencukupi kebutuhan sendiri yang bukan berupa beras melainkan kelas-kelas. Kebutuhan berupa bahan bacaan untuk menambah wawasan anak-anak negeri, calon pemimpin negeri. Aku ingin mewujudkan itu sebelum melanjutkan kuliah S2. Oleh karena itu, sampai saat ini aku masih menyusun perencanaan dan menunggu waktu yang tepat untuk menjadikan semuanya nyata.
Aku masih merencanakan semuanya, begitu juga untuk merencanakan diri ini menjadi seseorang yang pantas. Aku tak berkata itu kamu, meski kau ada dalam harapan.
Boneka pemberiannya hari ini, adalah boneka kelima yang kuterima. Beberapa pemberiannya yang masih kusimpan baik meski ada bagian yang rusak karena sengaja. Maaf jika ada pemberianmu yang lalu yang aku sendiri telah menyembunyikannya dan kemudian benda itu sudah berbentuk tak karuan. Jika waktu bisa dikembalikan, mungkin aku takkan bersikap anak-anak seperti itu. Terimakasih telah mengingatkan kepadaku hari ini bahwa aku perlu untuk menertawakan diriku sendiri yang terlalu terbawa perasaan sewaktu dahulu.

KAMU SEDANG MEMBACA
BONSAI
Novela Juvenil"Seandainya kau tak pernah menyisakan tanda, tentu aku takkan mencari cara untuk memaknai cinta [sekali lagi]."