September 2016

4 0 0
                                    

"Sepertinya kita perlu menyudahi segalanya."

Satu bulan berlalu dengan keadaan yang sangat tidak adil. Meski Bang Dhamar selalu menghubungi, aku tetap tidak nyaman dengan aturan yang ditetapkannya secara sepihak. Terkadang waktu ia menghubungi aku sedang terfokus kepada suatu hal, kemudian aku harus menghentikan hal tersebut demi dirinya yang kunilai seenaknya.

"Maksud Adek apa?"

"Aku tidak betah dengan keadaan seperti ini."

"Kenapa, Dek?"

"Ada ya, seorang Adik yang membutuhkan Abangnya tapi tidak bisa memanggil sebelum dipanggil. Apa aku pasien dan kau seorang dokter?"

Aku tahu bahwa aku tak mungkin mengatakan segala kesibukanku yang cukup tersita karenanya. Aku yang saat itu tengah sibuk dengan beberapa deadline, terpaksa harus menjadikan tugas kuliah seperti membayar sebuah hutang. Yang penting cepat terlunaskan tanpa peduli sumber uangnya.

"Aku tahu maksudmu. Jadi kau ingin menjauhiku?"

Tepat sekali. Aku sudah menerka jawaban ini darinya. Sudah lima tahun aku dan dia saling mengenal. Aku mafhum dengan segala tanggapannya yang kerap menyerahkan segalanya kepadaku.

"Bisa jadi."

"Aku akan menerima resiko ini jika itu kemauanmu."

Selayaknya ia tak sepasrah itu. Namun, aku sendiri bahkan tidak paham tentang apa yang seharusnya ia lakukan selain pasrah. Yang kutahu, aku ingin ia tahu bahwa aku sedang cemburu. Memang terasa sangat aneh bila akhir-akhir ini justru ia menjadi korban uring-uringanku. Aku hanya bisa diam, jutek, atau sekadar mengatakan tidak apa-apa setiap ia bertanya.

"Aku tidak bisa mengerti dengan caramu yang seperti ini."

"Sudahlah aku ingin sendiri."

Setelah sehari sejak kejadian itu, aku kembali membaca kata-katanya. Kata-kata yang kubaca dari pesan itu menyadarkan diriku. Aku memang aneh, rasa cemburu telah membakar kenyamanannya terhadapku. Aku langsung meminta maaf dan ia menjawabnya dengan baik.

"Aku memaafkanmu. Jangan terlalu kanak-kanak begitu." Aku menjadi terbawa perasaan.

Jika ia tahu, sebenarnya ada hal lain yang aku pikirkan selain rasa cemburu. Mengapa karena aku yang lama membalas pesan, terlalu sibuk, lalu ia malah menghubungi mantannya. Aku bisa apa. Harus melarang? Aku sadar aku belum menjadi siapa-siapa. Maka dari itu aku diam. Tapi semakin lama aku jadi berpikir bahwa sulit jika harus meneruskan pertemanan dengan perasaan yang tak ingin memiliki.

***

BONSAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang