Delete Contact!
Aku sudah memutuskan untuk menghapus apa yang bisa membuatku mengetahui kabarnya namun tidak dengan nomor teleponnya-aku tak tahu bagaimana melupakan nomornya yang sudah di luar kepala. Aku tidak tahu kepintaran apa yang menyebabkan aku mudah mengenal angka-angka tentangnya. Mulai dari tanggal lahirnya, tahun lahirnya, dan nomor sepatunya. Yang jelas angka-angka itu telah memaktubkan kami dalam hitungan angka tahun untuk saling mengenal.
Seperti matematika, aku hanya paham pada segelintir rumus-rumus yang bahkan akulah yang menciptakannya sendiri. Ini adalah saat di mana kesulitan melupa hasil dari perkalian-perkalian. Mulai dari berapa kali ia berkata suka, berkata sayang, berkata cinta, berkata tak bisa kini, mencinta yang lain juga, dan berkali-kali harus menjauh. Aku bahkan tidak paham hakikat perasaan.
Aku benci. Mengapa ada orang yang memutuskan untuk tidak saling bersatu padahal sudah menemukan perasaan nyaman di antara satu sama lain.
Ia sudah berjanji tidak akan pergi tapi justru akulah yang ingin pergi. Pasti setelah ini, jika ini bukanlah terakhir kali pisah-seperti yang selama ini terjadi-ia akan menyalahkanku.
"Bukan abang yang jauhi Adek tahu nggak, justru Adek yang aneh dan ingin menjauhi abang. Buktinya adek yang menghapus kontak abang, kan?"
Lagi-lagi kami akan saling menyalahkan satu sama lain. Lagi-lagi bila ada kesempatan yang membuat kami kembali berkomunikasi dengan tidak sengaja, kami akan membuat kesepakatan untuk melupakannya.
Aku sebenarnya tidak pernah lupa Sipembon. Percayalah. Setiap apa pun peristiwa yang terjadi-meski aku lupa kapan terjadinya-setidaknya aku ingat kronologis dan sebab kejadian mengapa kami sampai harus seperti makhluk musiman yang hilang timbul.
Hitungan sudah jatuh pada minggu kedua. Ada kecemasan lain yang mulai menyelimutilu. Mantanku sudah kembali dari kampungnya. Aku takut bila ia datang membawa kebaikan lagi dan membuatku terbiasa dengan aktivitas yang mengharuskan kami bertemu di dalam organisasi. Aku masih ingat waktu Bang Dhamar mendengar ceritaku.
"Mungkin ini kesalahan Abang yang terlalu percaya bahwa Adek bisa menjaga diri Adek sendiri. Kalau tahu Adek tersakiti begitu, tentu Abang takkan pernah menjaga jarak. Abang cuma takut Adek akan sedih karena Abang." Ucapnya suatu hari.
"Jangan menyalahkan dirimu atas kejadan ini, Bang Dhamar."
Dalam hati aku berjanji untuk menjaga perasaanku sendiri. Foto yang telah dipublikasikan Bang Dhamar bersama kekasihnya menjadi alasan yang kuat untuk menjadi orang yang lebih mandiri. Ia telah bahagia. Ia telah bahagia. Aku melihat binar matanya di foto itu.
November 2016
Sejak keputusanku untuk mengakhiri kedekatan dengannya, disaat itu pula timbul rasa takut bila aku kembali tergoda dengan mantanku. Aku kembali memikirkan cara.
"Apa aku harus mencoba seperti wanita-wanita berhijab yang tak akan pernah mau bersalaman dengan laki-laki dan juga mengenakan hijab?"
Pertanyaan itu muncul ketika tengah berdiskusi dengan temanku terkait bagaimana menjadi wanita yang mandiri. Yang tak mudah tergoda oleh lelaki. Tak mudah diajak berpacaran sebelum nikah.
"Boleh juga itu. Coba saja dulu."
Temanku sepertinya begitu antusias mendengarkan ideku.
"Tapi apa aku pantas?"
"Kau muslim, kan? Bukankah seharusnya begitu?"
"Tapi ada yang bilang bahwa memperbaiki sikap dulu, baru perbaiki penampilan."
"Kata siapa? Coba saja, kau akan membuktikan bahwa penampilan akan mengubah perilakumu."
"Kau serius?"
"Insyaallah."
Meski ragu-ragu dan belum merasa pantas, aku mencoba membujuk otakku. Mengapa aku harus takut. Bukankah aku hanya perlu mengubah cara bersalaman yang telah menjadi kebiasaan di dalam organisasi yang kuikuti. Aku tak mungkin hanya menghindari salaman dari mantanku saja sehingga aku memutuskan untuk menyamai perilakuku kepada semua orang. Ya, semua lelaki tepatnya. Aku jadi ingat awal pertama perpegangan tangan dengan lawan jenis itu menjadi biasa saja, karena aku telah membuka celah dengan menjadikan bersalaman itu sebagai hal yang biasa. Padahal, sewaktu dulu saat aku masih menyukai Bang Dhamar, kami tak pernah berkontak fisik.
Mulailah kuubah kebiasaan itu. Entah bisakah dikatakan berubah ke yang lebih baik atau tidak, yang jelas dihadapan Tuhan aku hanya mengadu bahwa aku melakukan perubahan ini karena aku tak ingin merasakan getaran saat bersalaman. Jika aku benar-benar tak ingin lagi ada perasaan kepada mantanku itu, aku harus benar-benar mencegah hal-hal yang bisa membuatku intens dengannya-dari hal kecil yang menjadi celah kesalahan.
Sipembon, aku jadi teringat kau dalam lamunanku. Aku harus menghilangkan perasaan-perasaanku-yang aku sendiri tidak paham berapa banyak aku membaginya. Di dalam otakku, hatiku ada satu dan terbagi banyak untuk beberapa orang yang masih saja memperhatikan keadaanku. Di antara mereka ada yang masih mengadu meminta perhatianku-meski aku tak pernah memberikan perhatian seperti aku yang memberikan perhatian kepadamu.
Lagi-lagi semua bermula dari niat yang mungkin masih salah. Aku masih salah niat untuk menunjukkan diri bahwa aku akan berubah seolah-olah seperti seorang yang benar-benar sadar. Aku bahkan sempat ditertawakan oleh teman-temanku itu.
"Kenapa mendadak banyak pengurus yang berubah setelah disakiti ya?" kata Bambang mengejekku. Dia adalah teman satu kepengurusan. Memang bukan aku saja yang telah mengubah cara bersalaman di organisasiku itu.
"Bisa jadi. Kau tega sekali Bambang." Ucapku sambil terkekeh. Aku tak sedang ingin mendramatisir keadaan menjadi melankolis.
***
Mantanku sudah tiba di Padang. Saat ini ada rapat kepengurusan. Ia masuk dan bersalaman dengan semua pengurus dan terakhir menjulurkan tangannya kepadaku. Tak kuberikan tanganku melainkan menyatukan kedua telapak tanganku. "Eh...sudah ganti saja," sahutnya. Aku hanya tersenyum tanpa ingin menjawab perkataannya.
Sejak hari itu, aku telah berhasil menjauhkan diri darinya. Walau sesekali kadang ia juga mencoba menganggu saat aku datang dan keberadaannya tepat di tempat duduk depan sekretariat kami.
"Kalau orang lagi bicara itu, cobalah lihat orangnya." Perintahnya kepadaku.
Terpaksa aku harus mengarahkan mataku kepadanya-meskipun aku tetap mengalihkan pandangan secepatnya ke tempat yang lain.
Katanya itu yang namanya menghargai. Ya sudahlah. Ia telah berhasil membuatku harus memerhatikannya. Licik sekali menganjurkan itu kepadaku saat orang-orang ramai ada di dekatnya. Andai saja tak seramai itu, mungkin seperti biasanya aku bisa saja mengacuhkannya.
Setelah pertemuan itu, kutekadkan untuk takkan menatapnya lagi. Terlalu menjijikkan memandang seorang pengkhianat menurutku. Sebab dari masa ketakutan itu-saat dirinya masih berada di kampung-aku menemukan bukti baru bahwa sebenarnya dia memang pantas untuk diputuskan. Terlebih dari sejak awalnya dia yang masih memberi harapan kepada mantannya, sampai kepada keakrabannya dengan sekretarisnya di organisasi.
Sipembon, mungkin saat aku berbagi cerita ini. Kau lagi-lagi akan menganggap bahwa perasaanku terlalu dalam dan semua itu terlihat dari kebencianku yang begitu dalam. Jangan pernah katakan itu lagi. Aku takkan pernah menceritakan kepadamu tentang semua kekesalanku pada cinta. Mungkin yang perlu kau tahu, berkat aku mengenal dirinya, aku menjadi paham bahwa kau adalah lelaki yang baik dan sopan. Aku salah karena dahulu sempat berpikiran bahwa kau adalah lelaki yang tidak baik. Yang dilakukannya kepadaku sangat berbeda dengan apa yang kau lakukan kepadaku. Dahulu aku kerap saja menganggap laki-laki itu sama dan kumerasa dialah yang berbeda. Tapi ternyata yang berbeda itu justru dirimu. Takkan ada lelaki sejujur dirimu. Kau selalu jujur kepadaku. Kau selalu mengatakan kebenaran walau pahit. Walau kebenaran itu sering tidak sesuai harapan. Walau kadang kebenaran itu seperti antivirus yang harus selalu di-update. Agar tahu bahwa masih adakah virus cinta itu merasuk hatimu. Atau virus itu hanya ada pada hatiku?
Aku ingin berubah. Meski, awal perubahan ini dipaksakan dan dengan niat melindungi diriku dari mantanku. Aku mesti segera memperbaiki niat dan semoga saja aku betah agar tidak lagi-lagi salah menaruh perasaan.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/152958764-288-k863676.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BONSAI
Ficção Adolescente"Seandainya kau tak pernah menyisakan tanda, tentu aku takkan mencari cara untuk memaknai cinta [sekali lagi]."